Apakah Presiden kura-kura dalam perahu?


Hari Minggu, kita bicara yang ringan saja.

Rasanya kita perlu pendapat ahli membaca bahasa tubuh. Untuk menafsirkan apa yang sebenarnya disembunyikan Presiden Jokowi saat diwawancarai Mata Najwa.

Kaki yang bergoyang. Senyum kecil saat menyimak Najwa bertanya. Gerakan menutup telapak tangan. Posisi duduk yang berubah-ubah.

Hingga menelan ludah pada kalimat berikut ini:

“Karena ini adalah sebuah (menelan ludah) program yang terbuka. Artinya semua perusahaan bisa menawarkan pelatihan lewat online di situ. Biayanya juga terbuka di situ, bisa dilihat. Tidak Rp1 juta. Rp168 (ribu) ada. Rp200 ribu juga ada. Tinggal memilih kok. Ada juga yang Rp800 ribu ada. Tergantung pelatihan yang diinginkan. Jadi tidak... (tidak diteruskan) Misalnya ada perusahaan A ikut di dalam pelatihan ini, masuk di dalam kartu prakerja ini, belum tentu juga dipilih oleh pengguna, oleh peserta prakerja. Belum tentu.”

Apakah Presiden kura-kura dalam perahu?

Pemilu berbiaya mahal tidak dimaksudkan untuk memilih tenaga pemasaran video pelatihan.

Apakah betul tidak tahu inti gugatan soal transaksi jual-beli video Rp5,6 triliun?

Kok seperti dihipnotis.

Bapak saya hanya lulusan sekolah dasar, pensiunan satpam pabrik obat. Tapi bisa menangkap inti masalah Rp5,6 triliun itu.

Peserta memang bebas memilih video pelatihan di platform. Tapi kan belinya pakai duit negara. Kalau beli pakai duit sendiri, belum tentu mau. Belum tentu laku itu video. Ngapain buang-buang duit.

Sesulit apakah menangkap logika sederhana semacam itu?

Ingat, kejayaan suatu negara salah satunya ditentukan oleh nalar pemimpinnya.

Akhirnya, sekarang, apa yang semula diniatkan sebagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, kini berubah rupa menjadi “perang dagang”.

Itulah konsekuensi logis dari absennya nalar dalam membuat kebijakan.

Yang terjadi: justru insentif Ro600 ribu/bulan selama 4 bulan dan insentif pengisian survei Rp150 ribu, yang dijadikan ‘jualan’.

“Dapatkan insentif Rp2,55 juta”.

Begitu Ruang Guru-Skill Academy beriklan di Google Ads.


Lihat. Tidak ada sedikit pun menyuarakan pentingnya kompetensi dari pelatihan.

‘Busuknya’ lagi, insentif yang seharusnya dimaknai sebagai bantuan tangan kanan yang tidak perlu diketahui tangan kiri, kini berubah arti menjadi semata mesin penggoda orang untuk memuluskan bisnis jualan video.

Seorang staf marketing masuk ke grup FB ojol dan berkata:

“Buat yang sudah lolos tapi bingung pakainya (Prakerja), nanti akan saya bantu sampai beres, supaya insentifnya cair.”


Bahkan, yang tidak termasuk platform digital mitra resmi pun ikut jualan dan memajang video untuk dibeli dengan saldo Prakerja.

Contohnya: PAKAR.

“Daftar kelas prakerja PAKAR. Dapatkan insentif Rp2,55 juta.”


Advertorial pun disebar di media massa. Intinya sama dengan di atas: bagaimana mencairkan saldo insentif. Lewat BNI.

Sepertinya itu untuk menenangkan massa. Sebelumnya pencairan insentif lewat e-wallet dengan biaya administrasi Rp2.500/penarikan sudah saya hantam di status.

Ampun, pemerintah!

Fasilitator video pun ada yang protes.

Rivan Kurniawan protes kepada Skill-Academy karena menggunakan kalimat bombastis dalam judul videonya.

“Investasi Pemula untuk Raih Keuntungan Cepat.”


Paket video berjudul itulah yang saya jadikan salah satu contoh dalam tulisan awal saya tentang kritik prakerja.

Tapi, tunggu dulu. Ada yang menarik.

Saya mencium ada praktik ijon di situ.

Protes sejumlah pembuat video itu menunjukkan bahwa sebetulnya platform seperti Ruang Guru telah membeli sejumlah video dari trainer/lembaga pelatihan. Kemudian di-bundling menjadi satu paket Prakerja.

Itu belum termasuk video yang dia produksi sendiri. Bahkan pemegang sahamnya pun ada video pelatihannya. Dijual untuk dibeli peserta Prakerja pula!

Jika 120-an video paket prakerja di Ruang Guru adalah produksi sendiri dan hasil ijon, tidak lagi relevan bicara komisi jasa dan Perjanjian Kerja Sama dengan lembaga pelatihan.

Buat apa?

Seluruh hasil penjualan akan masuk rekening perusahaan tanpa harus dialirkan lagi ke lembaga pelatihan.

Cerdik juga.

Dia sudah tahu berapa alokasi anggaran negara—mungkin—dari kasak-kusuk orang dalam. Dia produksi sendiri dan ijon dengan harga murah.

Promosi massif.

Tinggal tunggu diklik oleh pembeli (peserta Prakerja).

Saya masih yakin target penjualan sekelas Ruang Guru adalah minimal 50% dari Rp5,6 triliun: Rp2,8 triliun!

50% sisanya diperebutkan 7 platform lain.

Dari hulu hingga hilir, program beli video Rp5,6 triliun sudah kacau-balau.

Silakan Presiden Jokowi blusukan sendiri untuk membuktikan.

Salam 5,6 Triliun.

(By Agustinus Edy Kristianto)
Hari Minggu, kita bicara yang ringan saja. Rasanya kita perlu pendapat ahli membaca bahasa tubuh. Untuk menafsirkan apa...
Dikirim oleh Agustinus Edy Kristianto pada Sabtu, 25 April 2020
Baca juga :