PKS, EKSPOR GANJA, Dan Dilema Kebijakan ALEG EKSTERNAL


PKS, EKSPOR GANJA, Dan Dilema Kebijakan ALEG EKSTERNAL

Kasus usulan dari Anggota DPR RI PKS asal Aceh ini bisa jadi cermin bagi Gelora ataupun partai lain.

Kita menyadari bahwa Partai adalah kumpulan manusia dengan pikiran, latarbelakang, pendidikan, dll yang berbeda beda. Tapi bagi sebuah partai yang mempunyai format "Hampir Homogen" dengan jargon Tsiqoh dan Taat, ini sudah menjadi sebuah paradoks. Kita tau di PKS ada jenjang-jenjang yang harus dilalui yang ujung-ujungnya menyamakan visi dan misi, sampaii disini belum ada masalah. Tetapi ketika realita dilapangan ternyata berbeda dengan idealisme yang ada, khususnya politik, disini baru terjadi benturan-benturan.

Salahsatu kebijakan yang paradoksal adalah mengambil Kader Eksternal (itu istilahnya hehe). Kebijakan ini adalah benturan antara Kebutuhan Lapangan dan Idealisme yang rigid. Yang akhirnya dimenangkan oleh Kebutuhan Lapangan yang ujung-ujungnya adalah suara, alias pragmatism. Mereka yang sudah keluar dari PKS, selama ini di-opinikan sebagai pihak yang selalu Pragmatis, tetapi anehnya apa yang mereka tuduhkan, sekarang tetap dipakai oleh mereka yang menuduh itu termasuk kebijakan mengambil pihak Eksternal jadi Aleg. Itu jelas pragmatisme.

Sama dengan tuduhan bahwa Anis Matta dkk adalah pejuang alphard pejuang rolex.... eeh ternyata yang sekarang menuduh ternyata juga pakai alphard dll. Jadi dari sini kita bisa bedakan antara kritik yang murni karena ingin adanya perbaikan dengan kritik karena masalah hati (ghil) ataupun belum kebagian.

Yang kedua adalah jika kebijakan pengambilan pihak eksternal sudah diputuskan maka seharusnya partai harus siap dengan segala konsekuensi yang ada. Termasuk segala macam perbedaan yang terjadi kedepan termasuk akan adanya split dengan arah partai. Karena pihak eksternal tentunya adalah pihak yang belum bisa di-homogen-kan oleh partai. Padahal jika pengurus PKS sekarang konsisten dengan jargonnya yaitu tidak pragmatis, mestinya tidak menggunakan pihak-pihak eksternal sebagai Aleg. Yang ujung-ujungnya adalah menisbikan kerja-kerja Kaderisasi.

Nah jika akhirnya sudah terjadi split seperti kasus Rafli (aleg PKS dari eksternal yang mengusulkan ekspor ganja). Maka tidaklah ADIL jika pihak partai menyalahkan Rafli dengan idenya meskipun dengan embel-embel Rafli adalah pihak eksternal. Ingat jika mengambil pihak eksternal sudah menjadi kebijakan maka partaipun seharusnya juga siap dengan resiko dan konsekuensi yang ada baik plus dan minusnya. Karena faktor terkuat dari kebijakan ini adalah suara. Jangan hanya mau ambil suaranya saja untuk partai tapi ketika ada 'cacatnya' (seperti ide ekspor ganja) partai cuci tangan, alias hanya mau enaknya saja.

Akhirmya dari semua peristiwa-peristiwa yang terjadi dan paradoks-paradoks yang ada, seperti opini "dakwah tidak butuh anda, tapi andalah yang butuh dakwah" sampai disini tidak ada yang salah, tetapi jika kemudian partai dinisbatkan sebagai dakwah itu sendiri, maka disitu muncul paradoks. Dakwah memang tidak butuh orang (suara) tetapi partai butuh orang (suara).

Kami sebenarnya mau saja memunculkan paradoks-paradoks yang bertebaran, tetapi akan lebih panjang lagi bahasannya.

Untuk Gelora, kejadian ini harus dijadikan cermin kedepan. Apalagi Gelora adalah partai terbuka yang menampung bukan hanya aktivis Islam tapi juga yang lainnya, yang tentunya kedepan pasti akan banyak muncul split dengan arah partai. Bisa jadi bukan hanya usul ekspor ganja tapi ada juga yang usul ekspor babi... hehehe.

Konklusi: Harus ada ijtihad yang serius terkait format Gelora kedepan. Baik itu manhaj dan aplikasinya.

Wallahu'alam.

(By Asdeddy Syam)

Baca juga :