Kepada Stafsus Milenial dan Kalangan Liberal Udik, Jangan Ajari Kami Toleransi !!


Oleh: Geisz Chalifah

Saya lahir di Jakarta dan besar di Jakarta, bertempat tinggal di Letjen Suprapto No1 Poncol Senen Jakarta Pusat.

Penting bagi saya memberikan alamat saya tinggal itu untuk menunjukkan bahwa daerah saya tinggal itu tetangga saya mayoritasnya Tionghoa.

Rumah-rumah di seputar jalan itu adalah rumah yang didepannya itu menjadi toko untuk usaha. Disebelah rumah saya adalah toko Banciang, disebelahnya lagi toko beras Yuntat, disebelahnya lagi toko alumunium.

Diseberang rumah itu, ada toko Juni, toko Juli, toko Murah, ada pula foto studio Wiwi.

Semua yang disitu menjadikan tempat tinggal sekaligus tempat usaha.

Semasa kecil sampai remaja saya bertetangga dan bermain bersama mereka para teman-teman Tionghoa yang tinggal disitu. Toko beras Yuntat, anak-anak mereka bernama Alyuk, Baong, dua nama itu yang sepantaran dengan saya dan kakak mereka yang jauh lebih dewasa bergaul dengan kakak-kakak saya.

Dulu sekali sebelum ada grosir Cipinang Toko Beras Yuntat adalah salah satu agen beras terbesar di Jakarta.

Toko Juni adalah penjual kaca, anak-anaknya bernama Ace, Afa dan Apin. Toko Juli, anaknya itu bernama Alut. Ada juga pemilik restoran Bak'mi anaknya bernama: Tekming. Tekming pandai mengebut dengan sepeda, menggenjot sepeda dengan kecepatan lalu menyalip mobil maupun motor ditengah kemacetan. Tak jarang diteriaki pengendara mobil yang kesal karena kenekatannya.

Semasa kecil kami bermain burung bersama dari masing-masing atap loteng rumah yang bersebelahan.

Menjelang remaja bila malam hari maka dirumah Ace (Toko Juni) kami kumpul bareng.
Tak jarang pula mereka berkumpul dirumah saya.

Dengan sepeda motor beramai-ramai tempat yang seringkali kami kunjungi adalah Lokasari atau dikenal pula bernama Prinsen Park.

Bila malam minggu, sepanjang jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk adalah tempat lintasan kami menguji kecepatan motor dan uji nyali di jalan itu. Tempat mangkal paling favorit adalah tukang roti bakar di Jalan Hayam Wuruk yang letaknya tak berjauhan dari Masjid Kebon Jeruk.

Minggu sore maka tempat mengadu nyali dan kecepatan adalah di depan TVRI Senayan. Kami berlomba bermain Ice Skating di gedung yang khusus dibuat untuk olah raga Ice Skates.

Kami tak mengenal istilah toleransi, tak mengenal pluralisme, tak mengenal istilah mayoritas minoritas atau apapun yang bersifat mendikotomi hubungan sosial.

Di Jakarta apa yang saya alami dalam pergaulan sehari-hari itu adalah hal yang terbiasa terjadi dengan apa adanya saja dan saya meyakini hampir di semua wilayah Jakarta kondisinya seperti itu.

Perbedaan suku dan agama menjadi hal yang lumrah dalam bertetangga dan tak pernah menjadi masalah.

Sepanjang tahun siapapun Gubernur DKI baik itu Henk Ngantung yang non muslim masyarakat Jakarta tak pernah mempermasalahkan dan kehidupan tetap berlangsung dengan normal.

Lalu datanglah Ahok dan teman-temannya, mereka berniat memenangkan Ahok dalam Pilgub 2017.
Bermula dari 2015 kampanye untuk Ahok sudah dimulai, namun narasi-narasi yang dikemukakan selalunya menyudutkan umat Islam, seperti silogisme: Lebih baik kafir tapi tidak koruptor dari pada muslim tapi korupsi.

Banyak lagi kalimat-kalimat provokatif yang semakin hari semakin mengeraskan dan memperlebar jarak, membangun segregasi sosial sedemikian rupa.

Para kalangan yang katanya intelektual dan bergabung dalam kelompok liberal udik yang entah lahir dimana, tiba-tiba mengajari kami anak Jakarta tentang toleransi dan pluralisme yang bukan saja teriakan itu terdengar aneh tapi juga norak.

Jauh sebelum mereka naik Kereta Api Senja datang ke Jakarta, kita yang lahir di kota ini, terbiasa bila Imlek tiba mendapat kiriman kue khas Imlek dari rumah tetangga, dan bila Idul Fitri tiba saya terbiasa mengantar kue atau ketupat buatan ibu saya ke rumah-rumah tetangga Tionghoa.

Terbiasa ditunggui ketika sholat Jumat didepan Masjid lalu kembali bermain sehabis bubaran sholat Jum'at, atau bergerombol didepan Gereja Ayam Pasar Baru menunggu teman yang sedang kebaktian didalamnya.

Mereka yang tak pernah mengenal Bus Merantama, Gamadi, Pelita Mas Jaya tiba-tiba datang membawa ide pluralisme norak sekedar ingin menarik suara sambil menyudutkan orang lain. Yang tentu saja lebih tau dan lebih subtansial dalam mengelola perbedaan yang memang sudah dilakoni setiap hari dan setiap saat.

Tambahan dari saya:

Bapak saya asli pribumi, ibu saya keturunan Arab, menantu saya satu orang keturunan Cina dan satu lagi dari Italia.
Cucu2 saya, satu mirip anak cina dan satu lagi bule.

Kami rukun dalam satu keluarga...
Jadi jangan ajari kami tentang toleransi.

-End-

Baca juga :