[PORTAL-ISLAM.ID] Kotak pandora itu bernama BPJS Kesehatan. Sebagaimana guci hadiah pemberian dewa dalam mitologi Yunani atas pernikahan Pandora dan Epimetheus, yang dilarang untuk dibuka serta menyimpan misteri. Itulah kotak Pandora.
Keingintahuan Pandora menciptakan malapetaka, guci hadiah itu pun kemudian dibuka. Konsekuensinya, segala rasa sakit, penderitaan dan wabah penyakit yang terperangkap di dalamnya berhamburan keluar. Penyesalan pun muncul.
Tapi ada hal yang tersisa terletak di dasar guci, tidak keluar dengan bebas. Apa yang tertinggal itu adalah harapan. Masih ada peluang dan kesempatan untuk mendapatkan hal-hal baik, dari semua keburukan yang bertebaran setelah kotak Pandora terbuka.
Analogi kotak Pandora menjadi perumpamaan yang tepat dalam mengilustrasikan keberadaan BPJS Kesehatan saat ini. Sebagai sebuah program kerja nasional, banyak persoalan timbul bersamaan dengan membengkaknya defisit anggaran.
Kompleksitas masalah terjadi. Mulai dari masalah kisruh pelayanan, kualitas layanan minimal, tunggakan pembayaran premi, hingga keterlambatan pencairan klaim muncul sebagai problem aktual.
Sementara itu, ada pula makna kebermanfaatan atas keberadaan program tersebut. Akses kesehatan bagi masyarakat terbawah menjadi sebuah kenyataan. Disitulah harapan tersemat. Tentang jaminan dan perlindungan bagi seluruh warga negara.
Simalakama atas Pandora
Program BPJS Kesehatan, adalah gagasan ideal tentang makna kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada tujuan akhirnya yakni kehidupan makmur dan sejahtera. Dengan begitu, konsep keadilan ditempatkan sesuai pada posisinya.
Mekanisme keadilan prosedural yang berlaku sama untuk semua lapisan, perlu memastikan hadirnya keadilan distributif yang memberikan keberpihakan bagi kelompok sosial terbawah.
Selama ini BPJS Kesehatan selaku institusi melaksanakan program tersebut melihat keberadaan dirinya dalam kepentingan terselenggaranya aktivitas program. Logikanya menjadi sangat kuantitatif.
Problem defisit kemudian didekati melalui manajemen operasional. Solusinya naik premi dan efisiensi klaim. Strategi injak kaki dan cekik leher ini, terbilang aman dalam menjadi strategi jitu guna melumpuhkan defisit sebagai persoalan.
Namun menimbulkan masalah serius bagi para pihak terkait. Bagi publik akan terjadi kenaikan nilai premi. Sedangkan bagi operator pemberi layanan, terkendala atas rendahnya tarif nilai klaim dari layanan BPJS Kesehatan, berhadapan dengan peningkatan biaya kerja per tahun.
Situasi pelik industri kesehatan di bidang perumahsakitan, tergambar jelas pada Buku Putih PERSI, Refleksi Perjalanan 5 Tahun Era Jaminan Kesehatan Nasional, setebal 120 halaman. Peta persoalan dan rekomendasi tindakan telah dituangkan.
Faktanya, jaminan perlindungan kesehatan secara menyeluruh, tidak akan pernah mampu untuk dipenuhi. Dibutuhkan kapasitas super besar dalam mereservasi seluruh ketidakpastian di sektor kesehatan.
Akankah Harapan Tersisa?
Rencana premi baru di 2020, sebagaimana yang telah banyak dibicarakan perlu diartikan sebagai bentuk solusi ad hoc. Sifatnya temporal. Tidak bisa dihindari karena melebarnya defisit. Premi terkumpul harus mampu memenuhi klaim pembayaran.
Tetapi harus ada kepastian untuk dapat memastikan program jaminan perlindungan bagi kesehatan masyarakat ini tetap mampu bertahan.
BPJS Kesehatan menguak fakta sebagaimana kotak Pandora. Persoalan penyakit katastropik yang memakan biaya kesehatan besar, menjadi sebuah ancaman atas kondisi kesehatan bangsa.
Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa problematika kesehatan selama ini layaknya fenomena gunung es, yang tampak kecil di permukaan, tetapi memiliki struktur sangat luar biasa besar di bawah permukaan.
Lebih jauh lagi, hal tersebut berdampak pada peningkatan anggaran kesehatan. Perilaku ekonomi pada sektor kesehatan pun terbuka. Sesuai Suparmono dkk, Keuangan berbasis Perilaku, di tingkat mikro, ada masalah mental budgeting dalam konsumsi belanja kesehatan yang bersifat emotional pain-biaya penderitaan, dibandingkan emotional joy.
Dengan begitu, secara behavioral, kita secara psikologis akan berusaha menghindari biaya-biaya yang muncul pain, meski hal itu berkaitan dengan kemampuan hidup. Sementara itu, tendensi belanja untuk kesenangan -joy menjadi lebih tinggi.
Prinsip yang sama terlihat pula pada perilaku level makro, pemangku kuasa cenderung untuk menomorduakan pilihan penganggaran biaya kesehatan dibandingkan infrastruktur fisik sebagai prioritas pembangunan. Bisa jadi berkaitan dengan balutan kepentingan politik pemilihan.
Terlihat dari lambatnya proses bailout defisit BPJS Kesehatan. Padahal sebagai bentuk tanggung jawab kekuasaan seharusnya menjadi pihak terakhir yang akan mengakseptasi kondisi kegagalan bayar -the last resort atas kondisi defisit anggaran tersebut.
Disitu makna kekuasaan hadir bagi kepentingan publik. Jika kemudian mengambil kajian Banerjee, Duflo, Kremer sebagai penerima Nobel Ekonomi 2019, yang menempatkan studi tentang Indonesia dalam kasus pemberantasan tingkat kemiskinan.
Penelitian tersebut beroleh kesimpulan penting, bahwa pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan pembenahan melalui dua sektor fundamental, yakni pendidikan dan kesehatan. Subsidi bagi yang lapisan sosial terbawah, secara efektif mendongkrak keberhasilan pembangunan.
Disitu letak tantangan terbesarnya, mendapatkan informasi serta validasi data bagi target sasaran subsidi yang tepat guna. Kekuasaan adalah tentang pengelolaan masalah, mengambil keputusan sekaligus merumuskan kebijakan yang mencerminkan keadilan sosial bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat!
Kita perlu menunggu gebrakan baru di periode kedua.
Penulis: Yudhi Hertanto