Jokowi Penentu Kesuksesan Prabowo


[PORTAL-ISLAM.ID]  Prabowo Subianto, pria dengan jejak ketentaraan gemilang ini, berkali-kali masuk ke gelanggangg pilpres. Sekali sebagai calon wakil presiden dan dua kali sebagai calon presiden. Dua kali menjadi rival tangguh Jokowi, dan sebanyak itu pula Prabowo, pria hebat ini menemukan akhir yang menyakitkan, setidaknya untuk para supporternya.

Kekalahan terakhir, teridentifikasi sebagai kekalahan paling menyakitkan. Itu karena berbagai soal pada pemilu 2019 ini betul-betul sulit dinalar dengan akal sehat. Begitu banyak petugas pemungutan suara yang menemui akhir hidupnya, mati di hari-hari pencatatan perolehan suara, adalah satu soal pahit. Dan soal pahit lainnya adalah jumlahnya yang sulit dimengerti.

Anehnya semua berlalu dengan langgam menyepelekan. Tanpa penjelasan, apalagi memadai, semuanya terkubur dalam keangkuhan rendahan.
Betul di luar kematian masal itu, semua fakta busuk lain dalam pemilu telah terbantah secara legal. Betul itu. Tetapi tetap saja bantahan hukum itu tak bisa menguburkan black box pemilu itu sebagai pemilu memilukan sejauh ini. Memukul akal sehat, memukul dan menggelamkan harkat dan marabat manusia menjadi sebutan yang tepat untuk pemilu itu.

Tak Bermakna

Tetapi fakta itu hampir pasti bukan satu-satunya fakta disekitar pemerintahan baru membuat Prabowo terlihat jelas sebagai sosok yang paling menyita perhatian. Timbul bersama rakyat ditengah kabinet Jokowi, setelah sebelumnya menjadi rifal tangguhnya, dengan segala pertimbangan yang tidak seorang pun dapat mengetahui deteilnya, memang menarik.  Ada yang tak habis pikir, ada juga yang bisa memahami.

Apalagi Prabowo timbul di Kementerian Pertahanan, yang bernilai strategis secara konstitusi. Apalagi pancaran antusias dan penghormatan otentik aparatur di Kementerian Pertahanan atas Prabowo terlihat begitu telanjang.  Pada prosesi tidak biasa “mengagumkan” serah terima jabatan di kementerian ini, semuanya terlihat.

Mau apa? Begitulah politik riil. Untuk alasan apapun politik rill adalah pekerjaan para elit. Suka atau tidak, ya begitu. Dan itu bukan perkara Indonesia. Ini perkara biasa dalam politik riil di manapun didunia ini. Sedari dahulu kala, jejak-jejak sejarah politik menunjukan politik selalu digerakan oleh pertimbangan-pertimbangan yang lebih sering tak terlihat daripada yang sering terlihat. Jangan terkecoh dengan yang terlihat. Kenalilah hal yang tak terlihat.

Prabowo lebih tahu urusan pertahanan daripada saya, begitu inti kata-kata Jokowi seusai melantik Prabowo. Tetapi dilihat dari sudut konstitusi, setulus apapun kata itu terlihat, kata-kata itu tak memiliki makna konstitusional. Mengapa? Secara konstitusional Prabowo tidak bisa menentukan sendiri apa yang mau dikerjakan. Prabowo harus, dengan semua kemampuan terbaik dan ketulusan hebatnya terhadap bangsa ini, mendapat otorisasi dari Presiden. Ini imperative.

Apa yang dimaui Jokowi, Presiden yang mengangkat Prabowo membantu dirinya melaksanakan urusan pemerintahan yang dipegangnya, dibidang ini? Itu point konstitusionalnya. Direktif Presiden adalah panduan konstitusional untuk Pak Prabowo. Tidak lain dan tidak lebih dari itu.

Sejelas apapun ilmuan politik mengidentifikasi kata-kata itu sebagai benteng  Jowowi kelak, misalnya ketika postur politik dan teknis pertahanan tidak cukup baik, tetap menjadi tanggung jawab konstitusional Jokowi. Apalagi Jokowi berkali-kali mengatakan menteri tak boleh memiliki visi sendiri. Semuanya harus berdasarkan visi Presiden.

Presiden

Presiden, siapapun orangnya dalam sistem presidensial bukan primus interpares. Presiden bukan orang yang terkemuka, utama  di antara yang setara dalam kabinet itu. Presiden, yang terambil dari kata precedere dalam bahasa latin  adalah pemimpin, untuk apa yang kelak ketika dirumuskan oleh pembuat konstitusi Amerika tahun 1787 sebagai Chief of executive. Itu sebabnya, presiden sering disematkan sebutan, misalnya Chief of Executive Politics, Chief of Negosiator, Chief of Law Offcier,  Chief of Ambasador, dan lainnya. 

Presiden adalah jabatan tunggal, jabatan yang kewenangan-kewenangannya tak  terbagi, dan tak bisa dibagi. Sifat jabatan itu membawa konsekuensi, misalnya  siapa yang diminta dan diangkat membantu dirinya, sepenuhnya tanggung jawab dirinya. Kapabel, kompeten atau tidak, terserah presiden. Walau memang harus diakui politik dan kenyataan demokrasi sering meminta presiden harus menghidupkan kearifannya, dengan tidak menggunakan kewenangannya itu semaunya sendiri.

Semuanya tergantung visi dan kebijakan presiden, bukan menteri, sehebat apapun menteri itu. Orang boleh saja builang rel goverenment adanya di Kementerian. Tak salah. Tapi itru Cuma separuhnya saja. Kekuatan pertahanan laut Amerika, misalnya suka atau tidak, harus dipertalikan dengan kecemerlangan kebijakan yang melampaui zaman oleh Thomas Jefferson.

Darinya keluar kebijakan membangun armada laut yang hebat bekerja. Kebijakan itu dirangsang oleh pengalamannya sebagai duta besar Amerika untuk Inggris. Dalam kapasitasnya sebagai duta, dirinya pernah berurusan dengan Turki Usmaniah. Mereka membicarakan hambatan keamanan yang dialami kapal-kapal Amerika dalam pelayaran perdagangan kedua negara.

Amerika beruntung. Pada waktunya mereka memiliki William Mckinley (1897-1901) sebagai presiden. McKinley adalah Presiden yang mengubah, membawa Amerika menjadi pemimpin dunia menggantikan Inggris. Ragam kebijakannya yang mengubah Amerika dilukiskan oleh Henry Adams, seorang peneliti dengan sebutan “McKinlysian.” Ia menggambarkannya dengan that is “the system of combination, consolidation, trusts, realized at home, and realizable abroad.”

Bukan Trump, tetapi Presiden Mckinley yang pertama menggunakan senjata tarif dalam memproteksi industri dalam negeri mereka. Mckinley, bukan Trump yang pertama, mengintroduksi gagasan proteksionis ke dalam UU. UU itu dikenal dengan Dengely Tarrif. Soal UU tarif ini, kata McKinley kepada seorang Senator, menjadi senjata utama lain membuat, membawa Amerika menjadi produsen utama di dunia.

Presiden, ya presiden untuk semua urusan bangsa dan negara dibidang eksekutif. Tidak bisa, dengan alasan apapun, presiden menyatakan itu bukan urusannya, atau jangan tanya saya. Tidak bisa. Tidak ada dalam ilmu tata negara pemerintahan sebuah negara bersistem presidensial disebut pemerintah, misalnya nama seorang menteri. Pemerintahan presidensial selalu dinamakan sesuai nama presiden.

Di Amerika misalnya dinamakan pemerintahan atau administrasi Jefferson, McKinley, Franklin Delano Rosevelt atau saat ini Donald Trump. Di Indonesia namanya, misalnya pemerintahan Soeharto, pemerintahan Mega, pemerintahan SBY dan pemerintahan Jokowi. Tidak bisa disebut pemerintahan Prabowo atau siapa yang lainnya. Praktis nama presiden diambil dan disematkan pada pemerintahannya.

Prabowo memang punya jejak ketentaraan yang gemilang, dan mungkin saja  kegemilangan itu tersaji kembali di kementerian ini. Tetapi apapun yang dicapainya tidak dapat digunakan sebagai dasar menyebutkan pemerintahan Jokowi menjadi pemerintahan  Prabowo. Tidak, untuk dan dengan alasan apapun.

Presiden Jokowi, entah basa-basi atau tidak telah secara resmi mengakui kehebatan Prabowo. Itu jelas modal besar. Tetapi modal besar itu akan terus menjadi modal, tak berbuah apapun, bila Presiden tidak mendefenisikan visinya, memberi direction dan otoritas pada deteilnya kepada Prabowo. Direction Presiden Jokowi  adalah kuncinya. Begitulah sistem presidensial bekerja.

Jakarta, 26 Oktober 2019

Penulis: Margarito Kamis
Baca juga :