Waspada, Indonesia Mulai Disusupi Pengondisian Dua Negara Adidaya
Oleh: Marsekal Muda TNI (Purn) Prayitno Ramelan
(Pengamat intelijen, mantan Penasihat Menteri Pertahanan Bidang Intelijen 2004)
Kamis pagi (12/9/2019) saya diundang oleh Pengurus FKPPI menghadiri seminar dalam rangka HUT ke-41 FKPPI dan HUT ke-60 PEPABRI di Grand Ballroom Hotel Sultan.
Rencana awal saya diminta untuk menjadi narasumber ancaman nasional dari persepsi intelijen, tapi karena topik mirip akhirnya Pak Bob Mangindaan rekan satu tim yang manggung.
Tema syukuran PEPABRI tersebut bertajuk "Rajut Persatuan Indonesia Kokoh" dan tema FKPPI "Bersatu dan Berdaulat dlm Mempertahankan Pancasila, UUD 45 dan NKRI".
Seminar dibuka oleh Mantan Wapres Jenderal Purn Try Sutrisno. Dan sebagai moderator tokoh utama FKPPI mas Indra Bambang Utoyo (IBU). Juga tampak sebagai narsum bapak Ponco Sutowo Ketum FKPPI, Jenderal Pur Kiki Syahnakri, Ketum PPAD, Deputy Penindakan BNPT serta Jenderal Pur Agum Gumelar (Ketua Pepabri).
Berhubung inti seminar tentang kewaspadaan nasional, menarik yang disampaikan oleh Laksda Purn Robert (Bob) Mangindaan dari Lemhannas yang juga sama-sama saya di team Anstra Kemhan. Makalah yang disampaikan adalah ancaman nasional bagi bangsa Indonesia 2019-2024.
Ini bila dicermati seperti sebuah briefing intelijen halus dan terbuka tentang ancaman dari persepsi intelstrat, perlu diketahui bersama untuk menambah wawasan para anggota FKPPI.
Pak Bob menyampaikan bahwa di dunia sebagai bersaing dua kekuatan besar yaitu AS dan China (Tiongkok) dalam mengembangkan pengaruh kekuasaan (hegemoni). AS sebagai super power kini memiliki 7 instrumen yang bisa dipergunakan untuk kepentingan nasionalnya dalam memengaruhi menguasai negara lain.
Ketujuh instrumen tadi adalah militer, intelijen, diplomatik, aspek legal, informasi, finance dan ekonomi. Instrumen tersebut bisa dimainkan baik secara smart, soft maupun hard power sesuai kebutuhan. Selain AS sebagai negara super power, Presiden AS memiliki kekuatan besar, dinmana Presiden Trump menguasai dana US$70 miliar dan dapat dipergunakan untuk kepentingan AS dalam berurusan dengan negara lain.
Sementara itu di lain sisi, sang pesaing, China menerapkan strategi One Belt One Road dengan enam instrumen dalam berurusan ("menguasai") negara yang ditarget yaitu psiko-kultural, media informasi, aspek legal, finance, investasi, dan milisia.
Sejak 2007 China mengembangan strategi penguasaan dua Samudera dan sudah mulai diterapkan sejak 2015 dengan menyebarkan 33.000 kapal milisinya.
Nah, dari apa yang disampaikan Pak Bob, saya sepaham dari persepsi intelijen bahwa disadari atau tidak kini Indonesia sudah mulai tersusupi/terinfiltrasi upaya conditioning negara lain. Pada 2019 telah terjadi perubahan sosial yang menimbulkan krisis identitas, krisis integritas, dan krisis nasionalisme.
Pada 2019 ciri dari krisis berbentuk tindakan pembangkangan, seperti pertama, munculnya aksi anarkis, radikalisme dan terorisme. Kedua, terbentuknya agen jaringan hoax dan ketiga, anak bangsa jadi proxy kekuatan global, terjadinya perang sesama anak bangsa dan upaya menghancurkan negerinya sendiri.
Nah, dengan ungkapan tersebut, saya mencoba mengerucutkan, kini makin terang adanya upaya menguasai Indonesia. AS dan China masing-masing sedang berusaha merebut hati dan pemikiran orang dan pejabat Indonesia. Instrumen dari kedua negara sudah dan sedang berjalan.
Apabila diperhatikan tiap instrumen merupakan ancaman. Sebagai contoh ada yang disebut sebagai debt trap (jebakan utang China), ada teraba juga upaya memberi signal kepada Presiden Jokowi terkait kasus Papua agar tidak terlalu dan ngepro ke China.
China lebih fokus ke masalah ekonomi bisnis, dengan memengaruhi pejabat dengan instrumen investasi, cengkeramannya lebih lambat tetapi konsisten. Kalau AS memang tidak ingin Indonesia seperti Syria atau Yaman, apabila diberi signal tidak juga faham, maka proxy yang akan aktif. Cost mengganti pimpinan nasional lebih murah dan resiko lebih kecil. Itulah operasi intelijen proxy...pinjam tangan.
Jadi kesimpulannya, ancaman Nasional dari luar tidak dalam bentuk perang terbuka tapi lebih kepada upaya proxy serta cara-cara yang ditetapkan dalam masing-masing instrumen sesuai kebutuhan.
Nah, mari kita bersama, khususnya keluarga besar FKPPI, sadari bahwa ancaman luar demikian serius. Tanpa kita perhatikan dan terlebih lagi bila kita tidak tahu, wah harus siap kalau suatu saat kita "ngagoler". Salam Pancasila. (Pray)
*Sumber: Kompasiana