Dulu, Widjojonomics vs Habibienomics. Sekarang, akankah muncul Jokowinomics atau Widodonomics?


[PORTAL-ISLAM.ID]  Menyambung dengan apa yang ditulis dalam status pak haji Teguh Setiawan tentang pengalaman beliau saat meliput Alm. BJ Habibie ketika memimpin negeri ini, ketika sang manusia genius (Alm. BJ Habibie) tersebut memaparkan teori ekonomi zig-zagnya.

Memang, saat BJ Habibie memimpin, selama masa Orde Baru berjalan, negeri ini telah terbiasa memakai ekonomi kapitalistik yang mengarah pada liberalisasi ekonomi, yang dikembangkan oleh begawan ekonomi keyness dalam negeri, Widjojo Nitisastro, yang kemudian konsep tersebut dikenal dengan Widjojonomics.

Konsep ini kemudian diteruskan oleh murid-murid beliau yang banyak menempati pos-pos penting dalam pemerintahan di sektor ekonomi.

Kondisi ekonomi yang pada masa transisi reformasi begitu porak-poranda di berbagai sektor, yang disebabkan oleh berbagai faktor. Antara lain, karena faktor keamanan (kerusuhan mei 1998 dan imbasnya), krisis ekonomi, krisis sosial, dan kurs rupiah terhadap dolar amerika yang merosot tajam, yang harus segera dibereskan oleh Habibie saat beliau mendapatkan mandat memegang estafet kepemimpinan dari Presiden Soeharto pasca mengundurkan diri.

Nah, disinilah kemudian BJ Habibie mengembangkan konsep ekonominya sendiri –oleh rivalnya disebut sebagai konsep ekonomi Habibienomics– yang lebih fokus pada pengembangan dan penguasaan teknologi. pada masa inilah terjadi gesekan yang kuat perubahan paradigma ekonomi, dari yang sebelumnya lebih ke kapitalistik global yang selalu dibanggakan oleh para ekonom Indonesia lulusan barkley, Amerika Serikat, kepada ekonomi berbasis teknologi ala lulusan Jerman.

Perbedaan paradigma pembangunan
antara Widjojonomics dan Habibienomics
membuat kedua kelompok ekonomi ini
jauh dari kesan akur dan kolaboratif.
Alih-alih berkerjasama dalam melakukan
pembangunan ekonomi Indonesia, kedua
kelompok ekonomi ini justru terlibat
dalam rivalitas sengit dalam usaha
memberikan pengaruh terhadap jalannya
pembangunan ekonomi Orde Baru.

Para keynessian pengusung Widjojonomics menganggap, Indonesia butuh modernisasi sistem ekonomi, dengan cara meliberalisasi sistem ekonominya, menggabungkan diri dengan kapitalis global melalui berbagai kerja sama dan utang luar negeri. Masuknya utang luar negeri sebagai investasi dengan harapan agar kemakmuran bisa dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat.

Kemakmuran yang mula-mula dikucurkan ke pada kaum elit, borjuis, penguasa, pejabat, dan para koleganya di atas, yang jumlahnya tak banyak namun menguasai porsi terbanyak pembagian kue ekonomi, yang kemudian setelah penuh akan mengalir, mengucur dan menetes ke bawah, hingga sampai tingkat terbawah, yakni rakyat kecil. Seperti layaknya cairan champagne yang dituang ke atas gelas-gelas champagne yang disusun menjulang seperti piramida di pesta-pesta dansa kaum borjuis eropa. Dengan harapan melahirkan trickle down effect.

Faktanya, jangankan kucuran ekonomi jatuh ke rakyat, tetesannya pun tak ada. Karena di tingkat atas, para kaum elit dan penguasa justru semakin memperbesar gelasnya agar cairan ekonomi yang mereka dapatkan tak sampai menetes ke bawah. Ketamakan ‘alamiah’ yang sejak awal dimiliki oleh kaum elit di tingkat atas.

Sementara, Habibienomics fokus mengembangkan ekonomi dengan merebut teknologi canggih untuk mengejar ketertinggalan teknologi dari negara maju, sebagai upaya agar bisa negara produsen berbasis teknologi untuk membangun ekonomi.

Habibienomics beranggapan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi negara yang hanya bisa memproduksi barang dengan keunggulan komparatif belaka. Namun juga sebagai negara yang mampu memproduksi barang yang memiliki keunggulan kompetitif.

Kedua konsep ekonomi tersebut pernah mewarnai pembangunan ekonomi di Indonesia, dengan tingkat keberhasilan masing-masing yang juga bisa dibanggakan.

Layak kita tunggu kiprahnya pasca kelahiran mobil Esemka kemarin dan pertumbuhan hutang luar negeri yang semakin tak terkendali di periode kedua nanti.

Penulis: Nadeem
Baca juga :