Ja'far Umar Thalib (1961-2019)


Ja'far Umar Thalib (1961-2019)

Dulu ia terkagum pada gerakan Ikhwanul Muslimin. Bahkan pernah sebagai pengajar tafsir Fi Zhilal al-Quran karya pemikir penting Ikhwan, Sayyid Quthb. Persuaan dengan pemikiran para alim pendakwa manhaj Salaf membuatnya berubah 180 derajat: menjadi penentang dakwah Ikhwan.

Kurun paruh awal 90-an, namanya menjadi garda depan dakwah model Ahlul Hadits abad pertengahan. Dengan cirinya yang tanpa tedeng aling-aling menilai-mendakwa keislaman kalangan lain. Kadang dalam bahasa yang bagi orang Indonesia tergolong "amat keras" bahan cenderung "kasar" juga tak beradab. Tentu saja, si empu lisan memiliki hujjah kenapa model dakwahnya begitu.

Salafy, majalah yang dipimpinnya menjulang sebagai mercusuar penyiaran dakwah ala manhajnya. Kali pertama terbit pada 1995. Menyusul As-Sunnah di Surakarta yang dikomandoi Abu Nida. Keduanya semula berkawan sampai kemudian era tahdzir muncul.

Faksi Salafy yang disebutnya At-Turots acap ia kritik, atau mungkin terkesan diserang. Mubahalah pun jadi kosakata berikutnya guna penuhi satu jawaban atas tanya: Siapa paling sesuai manhaj Ahlus-Sunnah?

Di faksi yang disebut Surury muncul Syarif Fuadz Hazaa', yang menyebut ia "panjang lidah, buruk akhlaknya". Murid-murid ia, yang berpusat di Degolan (utara kampus UII Jalan Kaliurang), sontak tak terima. Anak didiknya di Madinah pun seturut. Mubahalah pun terucap pada sekitar Juli 1996. Memang, masa itu, jangankan Ikhwan, HT, Jamaah Tabligh, ataupun NU, pendakwah yang tersangka akrab dengan harakah atau hizb kena celanya.

Konflik Ambon 1999 yang banyak memakan korban muslimin di sana mengetuk pemahamannya. Sebuah organisasi dibentuknya. Nama resminya Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jamaah (FKAWJ). Nama awam tahu dan akrab, juga media, tak lain: Laskar Jihad. Di bawah komando ia, usai direstui fatwa sang Syeikh gurunya, Laskar Jihad jadi fenomena baru. Banyak kalangan sekuler belingsutan. Pun aparat negara yang menyaksikan sepak terjang Laskar Jihad.

Meski ia menolak demonstrasi, di lapangan Laskar Jihad sendiri pernah mendemo Presiden Abdurrahman Wahid. Ia nasihati langsung sang Presiden agar adil dalam soal Ambon (Maluku); nasihat yang berujung pengusiran dirinya dari Istana Negara.

Dalam perjalanannya, Laskar Jihad tak terhindarkan untuk berinteraksi dengan kalangan lain, di antaranya para Ikhwani yang semula dimusuhinya. Konflik sepertinya bagian lampau, dan persatuan untuk menahan serangan pihak ekstrem agama lain di Maluku menghajatkan persatuan. Belum lagi soal lobi politik perlu bantuan saudara seiman yang ada di pemerintahan berdasarkan demokrasi.

Dan waktu bergulir cepat. Selepas Laskar Jihad ia bekukan, putaran dakwahnya tak melulu dengan kalangan di habitatnya. Ia bahkan seperti terlampau "cair" meski lisan tajamnya kadang "kambuh" bila menyikapi kalangan faksi lain. Terutama saat aparat atau media mengundangnya untuk mengomentari kalangan yang disangka teroris, atau dalam bahasanya: Khawarij.

Berada dalam interaksi kalangan lain, ia berangsur seperti melupakan pandangan keislamannya. Ia seakan tak lagi manhaji menurut dakwah Salafy. Yang sempat gaduh di kalangan mereka adalah tatkala ia hadir dan duduk dalam zikir bersama dengan Ustadz Arifin Ilham (almarhum). Imbasnya, ia pun ditinggalkan anak didik dan koleganya. Muhammad Umar As-Sewed contohnya. Partner ia ini hingga hari ini masih hadirkan model lisan era 90-an. Bahkan bukannya surut, justru makin akut kalau dilihat dari segi "konsistensi" dan perluasan peniru di jamaah majelisnya.

Waktu terus berputar. Ia pun terlupakan oleh para penimba ilmu salafy, atau sekarang menyebut diri: pencinta sunnah. Anak-anak era media sosial sepertinya tak rugi tidak mengenalnya. Atau sekadar melintas di ingatan kala namanya disebut. Ia sudah bagian dari masa lalu tampaknya. Sudah "dijauhi" dalam praktik tahdzir oleh sesama pencinta sunnah, yang bahkan tak sedikit mantan anak didik juga kawan berjuangnya era majalah Salafy eksis.

Pada 2015, dari informasi lewat salah satu istrinya (tentu dengan jalur istri saya karena kami waktu itu sesama wali santri di sekolah yang sama), saya mendapat informasi ia kini berniat membina dakwah di sebuah pulau penting di timur Indonesia. Syahdan, di sana pendekatan dakwahnya tak serupai para pendakwa kajian sunnah di seputaran Jawa yang acap hadirkan sikap miris di hati awam. Lisan tajam dan pena keras yang dulu disandangnya menuju pendulum kearifan.

Ada peran dan kiprah penting ia di medan barunya dalam mempersatukan anasir umat. Itu saja ternyata masih ada yang tak suka. Untung yang membencinya di sana umat agama lain. Tepatnya segelintir orang yang fobia dengan simbol tertentu yang dilabel garis keras. Tapi ini kadang tak menghentikan kritik kerasnya pada sesama dai yang ia anggap "keliru". Boleh jadi ia memang berposisi benar sebagaimana yang diyakininya. Bisa juga sebaliknya.

Yang jelas kita tak perlu repot menyimak kiprahnya di tengah pembenturan dai-dai lintas manhaj pengajian. Sebab, Allah memanggilnya di 24 Dzulhijjah 1440. Saat fajar baru Muharram tinggal sepekan.

Semoga Allah menerima amal baiknya, terutama inspirasinya untuk menjadi yang lantang dalam aksi jihad. Jihad yang dalam makna sejujurnya, tanpa harus berbusa-busa meneriakkan harga mati ini dan itu sebagai tameng lemahnya diri akibat al-wahn, cinta dunia.

25 Agustus 2019

By Yusuf Maulana [fb]

Baca juga :