[PORTAL-ISLAM.ID] Gelar Profesor Kehormatan ditimbang untuk diberikan kepada Puan Maharani. Rektor UNDIP sendiri yang mengemukakan. Tentu komentar negatif banyak bermunculan. Semua bisa membaca bahwa prestasi atau jasa Puan belum teruji. Apalagi dalam kategori akademik.
UNDIP sebagai Universitas yang juga terkemuka di Indonesia nampaknya tak pantas untuk memberi gelar tersebut. Kualifikasi penerima gelar belum memadai. Hanya satu yang menonjol darinya bahwa ia adalah politisi puteri Megawati.
Rupanya pertimbangan dominan bukan akademik tapi politik. Pertimbangan akses dan jaringan politik untuk institusi atau mungkin personal. Komentar yang muncul antara lain "sebentar lagi pa Rektor jadi Menteri atau Dirjen nih...". Nah jika saja pemberian gelar berdasar prestasi dan "tegen prestatie" politik, maka ini adalah penggerogotan nilai pada sebuah lembaga akademik. Lebih jauhnya dapat disebut bahwa politik telah memerosotkan kualitas institusi pendidikan. UNDIP terpapar radikalisme, terpapar oleh fikiran radikal sang Rektor. Radikalisme bukan berbasis ideologi tetapi kepentingan atau pragmatisme.
Ada tiga masalah yang merugikan dengan pemberian gelar Guru Besar Kehormatan tersebut, yaitu :
Pertama merugikan UNDIP yang akan menjadi sorotan publik. Pencemoohan terjadi.
Kedua, merugikan korps Guru Besar UNDIP karena bagaimana dirasakan beratnya untuk mencapai jenjang tertinggi akademik tersebut. Lalu disetarakan dengan Puan. Meski (hanya) kehormatan tapi gelar itu bisa dipakai berbagai keperluan.
Ketiga, bagi Puan Maharani sendiri. Betapa berat beban psikologis yang disandangnya. Ia mesti berstandar fikir, berkarya, dan berpenampilan sebagaimana seharusnya seorang Guru Besar.
Jika benar gelar tersebut diberikan tanpa prestasi akademik Puan yang cukup dan jasa yang nyaris tak terasa, maka peristiwa tragis telah menimpa dunia akademik. Politik telah memerosotkan wibawa pendidikan tinggi. Kemerosotan itu memalukan dan aurat-aurat menjadi sangat terbuka.
Selamatkan UNDIP.
26 Juli 2019 (*)
Penulis: M Rizal Fadillah