Pak Jokowi, Jujur Nih Ekonomi RI Paling Lesu di ASEAN!


[PORTAL-ISLAM.ID] Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 akan berada di bias bawah kisaran 5,0-5,4%. Itu artinya pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan berada di kisaran 5,0-5,2%.

Sementara pemerintah tahun ini menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,3%.

Menurut analisis BI, pertumbuhan ekonomi RI tengah menghadapi sejumlah hambatan.

Salah satu faktornya adalah ketidakpastian pasar keuangan dunia yang meningkat. Hal itu disebabkan oleh eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China yang menyebabkan aliran modal bergerak menjauhi negara berkembang ke negara maju.

Eskalasi perang dagang juga menyebabkan pertumbuhan ekonomi global semakin melambat. Bahkan pada April 2019, Bank Dunia (World Bank/WB) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 menjadi 3,3% dari yang semula 3,5%.

Sementara pada tahun 2020, proyeksi pertumbuhan ekonomi global versi WB tetap berada di level 3,6%.

Indonesia Memble


Salah satu masalah besar ekonomi Indonesia yang masih belum bisa diselesaikan adalah transaksi berjalan.

Bukan hanya sekedar defisit, transaksi berjalan Indonesia juga merupakan yang paling memble diantara negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Tengok saja data tahun 2017, dimana Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) sebesar US$ 16,19 miliar atau setara 1,73% Produk Domestik Bruto (PDB). Pada periode yang sama, Thailand, Malaysia, dan Vietnam mampu mencatat surplus transaksi berjalan yang masing-masing setara 10,5%, 3%, dan 2,74% dari PDB.

Dari data tersebut sudah jelas terlihat bahwa perekonomian Indonesia terindikasi menjadi yang terburuk di antara negara-negara ASEAN.

Transaksi Barang Lesu

Salah satu penyebabnya adalah komponen transaksi barang yang kurang bergairah.

Pasalnya, sebagian besar barang-barang ekspor asal Indonesia masih berbentuk barang mentah. Buktinya, berdasarkan catatan BI, porsi barang hasil manufaktur terhadap total ekspor hanya 48% saja. Artinya, lebih dari separuh atau 52% komoditas ekspor Tanah Air adalah barang mentah.

Hal tersebut berkaitan dengan porsi manufaktur Indonesia terhadap PDB yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), porsi manufaktur terhadap PDB Indonesia terus mengalami tren penurunan setidaknya dalam 5 tahun terakhir.

Dampaknya, kinerja ekspor barang Indonesia jadi yang paling kecil dibanding negara-negara ASEAN. Bayangkan saja surplus transaksi barang Indonesia tahun 2017 hanya setara 1,9% PDB. Sementara Malaysia, Thailand, dan Vietnam masing-masing bisa setara 8,7%, 7,5%, dan 5,1% dari PDB.

Transaksi Jasa Hancur Lebur

Tidak hanya transaksi barang, transaksi jasa Indonesia pun juga lesu. Sebagai informasi, salah satu komponen penting dalam transaksi jasa adalah pariwisata/perjalanan.

Tercatat pada tahun 2017, transaksi jasa Indonesia membukukan defisit sebesar US$ 7,38 miliar atau setara 0,7% PDB.

Memang, dalam hal pertukaran jasa, Indonesia bukan yang paling parah. Pasalnya defisit transaksi jasa Malaysia dan Vietnam lebih dalam, yaitu setara 1,7% PDB. Namun dibandingkan Thailand, Indonesia jauh ketinggalan.

Thailand mampu membukukan surplus transaksi jasa senilai US$ 28,86 miliar atau setara 6,3% PDB di tahun 2017. Dibanding Indonesia seperti bumi dan langit.

Salah satu kunci keberhasilan Thailand adalah jasa pariwisata yang gemilang. Bagaimana tidak, neraca transaksi jasa Thailand pada tahun 2017 sudah lebih dari US$ 40 miliar.

Indonesia? US$ 4,8 miliar saja cukup.

Padahal kalau boleh dibilang, potensi pariwisata Indonesia jauh lebih melimpah. Pemerintah juga telah mencanangkan program destinasi wisata unggulan yang dikenal sebagai '10 bali baru'. Namun tampaknya belum cukup ampuh untuk menggenjot sektor pariwisata.

Investasi Lesu dan Salah Orientasi

Belum lagi masalah di pos pendapatan. Pos pendapatan sendiri besar disumbang dari investasi asing, atau penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI).

Lagi-lagi pada pos pendapatan rapor Indonesia juga buruk. Pada tahun 2017, pos tersebut membukukan angka defisit sebesar US$ 27,63 miliar atau setara 2,7% PDB.

Itu artinya lebih banyak aliran valas yang keluar untuk membayar deviden investasi asing ketimbang yang masuk. Jelas saja, investor asing pada akhirnya akan menagih 'janji' investasi berupa deviden.

Sayangnya lagi, deviden-deviden tersebut harus dibayar pada kegiatan investasi yang tidak berorientasi pada ekspor.

Sebab, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), porsi investasi asing pada sektor-sektor yang tidak berorientasi ekspor sangat besar.

Tercatat pada tahun 2018, porsi investasi asing di sektor Utilitas (listrik, air, gas), Properti, dan Akomodasi (transportasi, pergudangan, komunikasi) hampir mencapai 30%.

Sektor-sektor tersebut pada akhirnya hanya akan dinikmati oleh masyarakat Indonesia untuk konsumsi saja. Contohnya properti. Apa iya properti ada yang di ekspor?

Alhasil besarnya investasi asing pada akhirnya tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sehat, yang dapat mengangkat derajat masyarakatnya.

Coba saja Indonesia belajar dari Vietnam perihal investasi asing, pastilah kondisinya tidak akan seperti sekarang ini.

Pasalnya, lebih dari separuh investasi asing yang masuk ke Vietnam pada tahun 2018 menyasar sektor-sektor manufaktur. Bahkan porsi investasi sektor manufaktur sepanjang Januari-Mei 2019 sudah mencapai 71%.

Dengan begitu, pertumbuhan investasi asing bisa mengangkat kinerja ekspor. Jadi tidak hanya sekedar membayar deviden investasi asing untuk konsumsi saja.

Melihat fakta-fakta tersebut, agaknya memang kondisi perekonomian Indonesia masih belum mendukung untuk menanggulangi masalah CAD. Sulit rasanya membayangkan CAD bisa dihilangkan dalam waktu dekat. Diperlukan kebijakan yang menyeluruh yang lebih struktural untuk memperbaiki kondisi ekonomi Republik Indonesia.

Sumber: CNBCIndonesia

Baca juga :