Drama Satu Babak di MRT, Black Saturday The 13th
Oleh : Hersubeno Arief
Sabtu 13 Juli 2019 akan dikenang sebagai hari kelabu bagi pendukung paslon 02, khususnya emak-emak militan. Hari Patah Hati Nasional yang akan diingat sampai bertahun-tahun kemudian.
Tidak perlu kaget bila ada emak-emak yang menghindari MRT, khususnya stasiun MRT di Lebak Bulus, Jakarta Selatan sampai beberapa bulan, bahkan beberapa tahun ke depan. Pamali. Bikin sial!
Adegan (scene) Prabowo sedang duduk bercengkerama, mojok berdua Jokowi di atas MRT sambil ketawa ketiwi, bikin mereka sakit hati. Sebuah mimpi buruk, Jangan sampai datang lagi.
Tidak perlu terkejut bila setiap hari Sabtu bertepatan dengan tanggal 13 bakal dianggap sebagai hari sial. Sama seperti tahayul di negara-negara Barat. Percaya pada mitos “Friday The 13th.” Angka 13 akan semakin identik sebagai angka sial.
Bagi mereka kesediaan Prabowo bertemu Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus adalah peristiwa yang benar-benar tidak pernah dibayangkan, tapi terjadi. Sebuah pengkhianatan level dewa.
“Diancam cerai suami saja rasanya gak sesakit ini,” ujar seorang emak-emak aktivis militan #RelawanGantiPresiden di Palembang, Sumatera Selatan.
Bagi emak-emak, Pilpres 2019 adalah momentum sangat bersejarah. Inilah untuk pertamakalinya sepanjang sejarah sejak kemedekaan RI, perempuan mengambil peran sangat besar, bahkan terbesar dalam sebuah proses politik. Tidak heran kalau urusannya jadi bawa perasaan (baper).
Sejak setahun terakhir para emak-emak inilah sesungguhnya yang menjadi tulang punggung perjuangan Prabowo-Sandi. Mereka rela mempertaruhkan segalanya. Waktu, tenaga, pikiran, bahkan dana mereka berikan.
Ada yang kemana-mana menggendong anaknya sambil mengikuti rapat-rapat para relawan. Membahas strategi pemenangan dan pengumpulan dana sampai larut malam, sementara anak-anak balita mereka tertidur di gendongan, di lantai, atau di dalam mobil.
Menggalang para pendukung, menyisihkan sebagian uang belanja untuk mendukung kampanye terbuka yang digelar Prabowo-Sandi, sampai perang di sosial media. Semua dijabani. Hujan panas, tak menyurutkan semangat mereka.
Mereka berdiri di garda terdepan dalam berbagai aksi, berhadapan dengan aparat keamanan, dan saking semangatnya ada yang harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Ibarat sebuah kompetisi sepakbola, para emak-emak inilah yang menghidupkan suasana sebuah pertandingan. Mereka menerapkan strategi total football. Berperan sebagai defender, play maker, striker, sampai supporter.
Semua itu bukan tanpa risiko. Banyak yang mengorbankan kehidupan pribadi, termasuk hubungan dengan anak-anak, apalagi dengan suami.
Bagi suami yang cukup pengertian, banyak yang setia menunggu, bahkan kemudian ikut berjuang bersama-sama. Semuanya demi sebuah perubahan. Kehidupan yang lebih baik.
Emak-emak, para ibu-ibu rumah tangga inilah yang merasakan langsung kehidupan bertambah berat di masa pemerintahan Jokowi. Harga-harga melambung, listrik naik, kebutuhan hidup meningkat, uang belanja yang diberikan suami tak mencukupi.
Para ustad, guru ngaji idola mereka tiba-tiba dipersekusi karena kritis terhadap situasi. Mereka merasakan semua itu secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka berharap adanya sebuah perubahan. Amanah ini dengan sepenuh hati mereka titipkan kepada Prabowo-Sandi. Apalagi kedua tokoh ini berjanji memperjuangkan aspirasi mereka, sampai titik darah penghabisan. Siapa yang tidak kepincut, coba?
Emak-emak yang memberikan hati, waktu, tenaga, pikiran, dana, dan harapan sepenuh hati, tapi tiba-tiba dikhianati.
Wajar kalau kemarahan mereka meluap di media sosial. Prabowo figur yang dulu mereka sangat puja, menjadi figur yang paling disalahkan.
Mereka secara beramai-ramai melemparkan kekesalan dan kemarahan kepada Prabowo dan para pendukungnya seperti jemaah haji melempar setan (jumroh) di Mina. Menolak dan mengusir setan yang mencoba merayu dan menyesatkan.
Ada jamarat Ula, Wustho, dan Aqobah. Simbol setan kecil, sedang dan besar. Semua rata kebagian lemparan batu kerikil. Tak Ada yang luput.
Jumlahnya tidak hanya tujuh batu kerikil seperti dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail. Ratusan, bahkan ribuan. Seakan tidak ada habisnya.
Kemarahan juga ditujukan kepada siapapun yang membela Prabowo. Di beberapa platform pertemanan medsos, banyak yang di-remove dan di-unfriend hanya karena tetap membela Prabowo.
Dalam jangka panjang luka hati ini sangat sulit untuk diobati. Jokowi sukses menjinakkan Prabowo, tadi tidak jutaan hati para pendukungnya.
Mereka akan terus bergerak, seperti arus air mencari muara menuju samudera kebebasan.
Di laut, arus air yang menyatu dari berbagai muara ini bisa menjadi gelombang. Sebuah gelombang perlawanan rakyat yang sangat besar.
The power of emak-emak inilah sesungguhnya yang harus lebih diwaspadai oleh Jokowi. Kekuatan riil yang seharusnya menjadi prioritas utama untuk diajak rekonsiliasi. Diajak bicara, ditampung dan didengar aspirasinya.
Tampung dan laksanakan semua aspirasi dan tuntutan mereka yang sesuai koridor konstitusi. Perbaiki ekonomi, tingkatkan daya beli. Satukan kelompok-kelompok masyarakat yang terpecah. Hanya dengan cara begitu rekonsiliasi secara natural akan terjadi.
Mereka bukanlah orang yang sulit diajak bicara. Asal tahu cara memperlakukannya. end.