[PORTAL-ISLAM.ID] Meminjam logika Bambang Widjayanto yang kerap memanggil ahli dengan Sobat, ijinkan saya memanggil Prof Komaruddin Hidayat dengan Sobat. Perihal tulisannya tentang Denmark. Mengapa Denmark menjadi negara termakmur di dunia?
Prof Komaruddin Hidayat tentu semua sepakat ia ahli sebenarnya bukan kaleng kaleng. Ia sebagai intelektual pewaris ide ide mondial almarhum Nurholish Madjid.
Dan disini bukan pada kelasnya saya mengajak intelektual discourse pada sosok beliau. Saya hanya ingin mengajak sobat satu ini dan sidang pembaca yang budiman mengungkap kembali pentingnya kejujuran dan mengapa perlu belajar pada warga negara Denmark. Ada dua alasan utama.
Pertama dan utama. Sistem pendidikan nasional Denmark jawabannya yang membuat kejujuran menjadi sistem nilai budaya sehari hari.
Jika orang Jepang dan orang barat pada umumnya ketat pada on time dalam aktivitas ekonomi dan bisnisnya. Maka di Denmark bukan hanya bisnis tapi keseluruhan aktivitas dari bangun tidur dan kembali ke rumah based on time management. Penting pula dicatat, di Denmark tidak berlaku sistem raport dan patokan pada angka mengukur prestasi atau karier seseorang.
Kedua, terkait dengan yang pertama, bahwa pada kenyataannya kejujuran bisa direkayasa menjadi keniscayaan sistem nilai masyarakat. Kejujuran bisa direkayasa pada sistem pendidikan nasional yang kuat pada kebijakan kurikulumnya. Pejuang pendidikan Amerika Latin Paolo Freire bilang, kurikulum itu adalah realitas sosial masyarakatnya.
Negara harus mengikuti norma yang berlaku di masyarakat. Bukan sebaliknya. Karena negara adalah entitas politik yang absolut. Sedangkan masyarakat entitas sosial yang dinamis.
Sebagai entitas sosial yang dinamis kajian tentang masyarakat berkembang hingga muncul teori pemerintahan. Negara mengikuti sistem pemerintahan yang disepakati warga negaranya. Karena negara ada karena tiap tiap masyarakat bersepakat.
Sobat, seandainya studi kasus tentang Denmark ini dipertajam kembali. Diangkat terus, baiknya mulai melihat pada format sistem pendidikan nasionalnya. Bukan sebatas mengeluarkan uneg uneg dan atau copas dari google.
Pembahasan yang lebih ilmiah teknis paedagogis sudah pasti bukan wewenang saya. Karena saya warga negara biasa yang dhoif.
Sobat, sidang pembaca yang budiman, tanggung jawab menjadikan kejujuran sebagai aset bangsa bagi generasi penerus merombak total sistem pendidikan nasional niscaya bisa dilakukan. Rekayasa sosial dengan kebijakan yang tepat.
Ini tanggung jawab pejuang pendidikan last but not least, kepala negara yang waras dan cerdas. Sampai kapan negeri ini inflasi akal sehat membangun negeri? Membuat rekayasa sosial kejujuran dalam kebijakan kurikulum sistem pendidikan nasionalnya.
Sementara kita disini kerja keras menyelesaikan bulu kusut dari kisruh politik pemilunya yang terindikasi kuat curang dan pembacaan yang salah tentang demokrasi. Bahwa ada ajaran kecurangan bagian dalam demokrasi ini pun masalah pendidikan bangsa yang salah.
Seluruh nasib rakyat dan arah bangsa ini ke depan ada pada kejujuran sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Kita hanya bisa tebak tebak manggis.
Bagaimana dengan diskursus intelektual bahwa kejujuran memakmurkan negeri seperti Denmark? Di Indonesia jaman now diskursus kejujuran baru sebatas "Kantin Kejujuran" di salah satu institusi pesohor negeri ini.
Sebuah kantin? Wow ada penjual dan pembeli dong? Ya. Penjual yang dipersiapkan dan pembeli yang malu malu membeli dan akhirnya mencuri.
Sobat, sadarlah, bahwa sebuah pemerintahan bisa silih berganti. Namun negara harus tetap ada. Kepala negara yang waras dan cerdas memikirkan generasi bangsanya. Makanya disebut negarawan. Kita bukan lagi infasi tapi deflasi negarawan.
Kata kata bijak Mark Twain, Kita akan membela mati matian negara dan pemerintah. Selama pemerintahan itu layak dibela.
Penulis: Soemantri Hassan