KEBANGKITAN ISLAM INDONESIA


KEBANGKITAN ISLAM INDONESIA

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
(Sabang Merauke Circle)

"Tq abangku yang hebat. Teruskan suarakan perubahan". Itu pesan Sandiaga Uno ketika membalas WA saya terkait lebaran. Di masa lalu pesan perjuangan seperti itu biasanya hanya datang dari aktivis senior.

Saya tidak pernah pula membayangkan Sandiaga Uno berucap soal perubahan jika merujuk siapa dia 20-an tahun lalu. Dia dan seorang sahabatnya, mantan menteri perdagangan era SBY, via saya, meminta bertemu dengan staf khusus kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) di hotel Dharnawangsa, lalu mereka ketemu membahas bagaimana peluang mereka masuk dalam bisnis akuisisi perusahaan yang ditangani BPPN. Saya mendengarkan mereka cuma bicara uang dan uang.

Saat ini Sandiaga menjadi ikon, bukan sebagai lelaki tampan dengan uang triliunan. Namun, dia telah menjadi ikon perjuangan dengan narasi baru, yakni demokrasi, keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Sandi juga berhasil membangun kelompok sosial baru yang disebut kelompok emak-emak, sebuah "invention" dalam khazanah ilmu sosial, dimana perubahan sosial dan gerakan ibu-ibu menjadi tema baru. Khususnya ibu-ibu muslimah.

Vedi Hadiz dalam "Populisme Islam" (edisi Indonesia, 2019) coba menguraikan bagaimana politik identitas Islam saat ini bisa merangkul multi level/kelas kelompok sosial, baik kelas menengah perkotaan, kaum borjuasi kecil dan kaum miskin kota. Vedi Hadiz, yang coba mengkaji dengan pendekatan sosial-historis dan politik-ekonomi, melihat fenomena ini, yang disebutnya Populisme Islam Baru. Konvergensi ummat Islam dalam sebuah identitas yang sama terjadi karena ketersisihan yang lama dalam peristiwa modernisasi dan pembangunan yang memarjinalkan mereka, maupun sebagiannya terhambat dalam mobilisasi vertikal di batas tertentu.

Vedi Hadiz yang menyelesaikan buku berbasis riset di Indonesia, Mesir dan Turki ini melihat kebangkitan Islam di Indonesia gagal dalam ukuran pencapaian menguasai negara atau aset-aset ekonomi, jika dibanding Turki, khususnya.

Permusuhan lama Islam dengan negara dan borjuasi Cina penguasa ekonomi sejak jaman penjajahan Belanda (di mana etnis Cina mendapatkan privilege), menurut Hadiz, menghalangi orang-orang Islam dalam mobilisasi vertikal. Namun, dalam hal ini, tampaknya Hadiz belum memasukkan fenomena Sandiaga Uno, gerakan-gerakan "212" yang melibatkan jutaan kaum menengah perkotaan dan fenomena Anies Baswedan "menguasai" Jakarta. Fenomena terakhir ini terjadi setelah riset Hadiz, 2016.

Dalam pendekatan sosio-historis dan politik-ekonomi, Hadiz melihat keberadaan populisme Islam lama ala Serikat Islam, Darul Islam sebagai cikal bakal Populisme Islam Baru yang ada saat ini.

John Judis, dalam "The Populist Explotion", 2016, melihat basis kekuatan populisme era Trump, berakar kuat pada "middle American radicalism" yang dimulai era George Wallace (1960 an) dan Ronald Reagan, 1980, yakni fenomena migrasi kaum pekerja kulit putih ke partai Republik.

Hancurnya Nasionalisme dan Komunisme

Setara Institut, yang didirikan kelompok nasionalis, telah merilis temuannya, tentang adanya ancaman kebangkitan Islam di kampus-kampus negeri ternama, beberapa hari lalu. Dalam pendekatan keamanan, lembaga-lembaga seperti Setara Institute hanya meneliti Islam dan ancaman bahayanya. Mereka gagal menangkap fenomena yang sebenarnya, sebagaimana pendekatan yang ditempuh Hadiz dalam perspektif sosio-historis dan politik-ekonomi dibahas diatas.

Namun, temuan Setara ini menjelaskan bahwa benar adanya Islam telah menjadi pusat narasi yang meliputi kaum miskin perkotaan maupun kaum elit pendidikan kita.

Sebaliknya, narasi yang dibangun kelompok-kelompok kiri, khususnya kaum Komunis, saat ini telah kehilangam gairah di kalangan miskin kota maupun kampus. Pada tahun 70an, 80an, dan 90an, simbol tokoh Komunis seperti Che Guevara dan pikiran-pikiran Antonio Gramsci, misalnya, menjadi motor penggerak gerakan kampus dan miskin kota, juga gerakan petani. Meskipun pada masa itu Suharto dan tentaranya memberangus semua yang berbau kiri.

Selain kelompok kiri dan Komunis, kalangan Nasionalis juga kehilangan gairah sehingga gagal menjadi harapan massa rakyat. Kehilangan gairah itu saat ini secara nyata, salah satu misalnya belakangan ini, Jokowi yang mewakili kelompok nasionalis bukannya mengutamakan tema nasionalisme maskapai dalam negeri, yang mengikuti jejak Sukarno, tapi malah mengundang asing menguasasi pasar maskapai dalam negeri. Sehingga besarnya pengelompokan "kaum nasionalis" bukan seperti di masa lalu, yang berhimpun dalam sebuah narasi besar perjuangan mereka.

Sebuah ideologi besar hanya akan mampu bertahan maupun berkembang jika ideologi tersebut memberikan harapan pada isu-isu keadilan sosial (shared prosperity), mengutamakan kedaulatan rakyat dan kesempatan kerja bagi rakyat miskin.

Islam, saat ini, menjadi satu-satunya fakta sosial yang digandrungi kelompok-kelompok sosial sebagai alat pembebasan, baik sebagai identitas terkait eksistensi dan kepercayaan diri, maupun jalan untuk menerima sistem solidaritas sosial.

Gerakan Islam vs Oligarki

Direktur dari salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia telah menemui saya sebanyak 3 kali, ketika beberapa waktu lalu terjadi perang wacana antara Amien Rais vs Luhut Panjaitan terkait sertifikasi tanah vs. Landreform. Amien menuduh bahwa rezim Jokowi telah berbohong soal rencana Landreform (reformasi agraria), karena sertifikasi lahan bukanlah landreform. Landreform harusnya mengambil tanah-tanah konglomerat perkebunan, hutan dan tambang untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Diantara perang wacana ini, direktur tadi, yang juga teman saya se angkatan di ITB, mewakili pemiliknya, ingin mendiskusikan keterlibatan perusahaannya dalam Landreform yang sesungguhnya.

Dalam konteks tulisan ini, menariknya direktur tersebut sudah mempunyai konsep detail yang akan ditawarkan, namun mereka bingung kepada siapa sesungguhnya "deal" reformasi ini dilakukan. Lalu saya menanyakan kenapa mereka tidak menyelesaikan hal itu kepada rezim yang berkuasa? Jawabnya, mereka justru mencemaskan masa depan usaha mereka pada "gerakan 212".

Fenomena ini merupakan fenomena serupa ketika Anies Baswedan, yang kemenangannya di Jakarta atas "restu" Imam Gerakan 212, mencemaskan taipan properti tentang dominasi bisnis mereka di Jakarta saat ini, khususnya terkait Reklamasi Jakarta.

Dilihat dari sisi ini, sesungguhnya pandangan Hadiz bahwa gerakan Islam di Indonesia kurang berhasil dibandingkan di Turki dan Mesir, tidak sepenuhnya benar. Sebab, posisi kekuatan Islam di Indonesia saat ini justru berhasil memaksa oligarki pemilik modal merundingkan kesejahteraan bersama bangsa kita, sebuah kegagalan dari kaum kiri, komunis, sosialis dan nasionalis.

Meskipun pertarungan ini terus berlangsung, namun konsolidasi umat Islam terus mampu mengimbangi konsolidasi dan serangan kaum pemilik modal, baik secara langsung, maupun melalui institusi negara.

Tantangan Kedepan

Melihat fenomena sosial yang ada 5 tahun terakhir ini, khususnya hingga pilpres, dua kekuatan besar bangsa kita hanya terletak pada kebangkitan ummat Islam, yang mengusung tema keadilan sosial di satu sisi, dan kekuatan kapitalis lokal, khususnya konglomerat China, yang mengusung tema kelangsungan dominasi. Pihak ketiga biasanya mengambil posisi melengkapi dua kekuatan besar yang ada.

Pihak Islam telah melakukan konsolidasi massa besar besaran selama pilpres, sebaliknya kekuatan kapitalis mencengkram dalam via negara. Dan kelihatannya kekuatan ini berimbang.

Pada tahun awal-awal kemerdekaan kita, situasi sangat mirip, pihak Islam (dulu NU didalamnya) berhadapan dengan kekuatan nasionalis. Berbagai figur negarawan mencoba mencari jalan tengah bagi keberlangsungan Indonesia. Pada situasi sekarang, belum muncul figur-figur yang berpikir bukan "zero sum game", yang dominan adalah figur-figur "The winner take all", yang haus kekuasaan, sehingga "road map" Indonesia di masa lalu kelihatannya akan menjadi jalan buntu, yang berkepanjangan.

Dengan demikian masih sulit memprediksi arah politik Indonesia ke depan.

Penutup

Kebangkitan Islam di Indonesia merupakan fakta sosial. Melakukan pendekatan keamanan dimanapun di dunia tidak ada yang berhasil. Untuk membangun Indonesia yang beragam, diperlukan narasi besar tentang keadilan sosial dan "better place for all" bukan hanya dari kalangan Islam, melainkan juga dari kalangan nasionalis dan kiri.

Tantangan buat gerakan Islam adalah bagaimana cita cita keadilan sosial dan politik identitas bisa memiliki co-existensi dengan kaum pemilik modal. Di Amerika di masa lalu, kekuatan Republik dan Demokrat mempunyai kesepakatan tentang "New Deal Policy" atau di masa Obama pada "Health Care Reform", atau di eropa abad 20, kaum pemilik modal dan sosialis berkompromi dalam " Welfare State". Namun, tantangan ini juga merupakan tantangan yang harus disadari kaum oligarki modal dan sekutunya.

Namun, meminjam pendekatan Hadiz, sosio-historis dan politik-ekonomi gerakan Islam di Indonesia adalah gerakan yang sifatnya historis. Dalam istilahnya, Populisme Islam Baru, kekuatan ini merangkul multi level dan multi kelas. Menurut berbagai fenomena massifnya kekuatan massa Islam, ditambah figur-figur berkelas internasional seperti Sandiaga Uno dan Anies Baswedan, perjuangan dan kebangkitan Islam di Indonesia kelihatannya akan terus membesar. Khususnya, karena stigmatisasi kekerasan gerakan Islam (teroris, Isis, kalifah, dll), akan kontradiksi dengan adanya Sandiaga Uno dan Anies Baswedan, yang dibesarkan juga dalam kultur Amerika.

Dalam matinya narasi kaum nasionalis dan kiri, sudah saatnya kebangkitan Islam ini direspon positif bangsa kita untuk menempatkan narasi keadilan sosial dan identitas atau kebudayaan dalam tempat yang sangat terhormat. Khususnya, karena itu bagian dari "sosio-historis" asli, bukan impor.[fb]
Baca juga :