Para Gerilyawan Digital di Negeri Demokrasi by Hersubeno Arief


[PORTAL-ISLAM.ID]   —Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.— Article 19 The Universal Declaration of Human Right

Bila mengacu pada deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM), rezim pemerintahan Jokowi bisa terancam sanksi dari lembaga internasional karena telah melakukan pelanggaran serius.

Pembatasan akses terhadap sejumlah aplikasi media sosial WhatsApp, Instagram, dan Facebook oleh pemerintah jelas bertentangan dengan bunyi artikel ke-19 Deklarasi HAM sedunia.

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini termasuk kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas”.

Sejak Rabu (22/5) bersamaan aksi unjukrasa besar-besaran di Gedung Bawaslu, Jakarta, pemerintah mulai membatasi penerimaan video dan foto pada sejumlah platform sosial media.

Pembatasan itu seperti dikatakan Menkominfo Rudiantara dilakukan untuk sementara waktu. Tidak jelas sampai kapan.

Alasannya untuk membatasi penyebaran konten hoax, alias kabar bohong. Rudiantara menyarankan, untuk mendapatkan informasi, masyarakat kembali ke media mainstream.

Dampaknya langsung terasa. Para pengguna media sosial kesulitan mengirim pesan melalui WA, dan mengunggah informasi melalui facebook dan IG.

Namun hanya beberapa waktu berselang para netizen sudah menemukan jalan keluarnya. Para pengguna ponsel berbasis android segera menggunakan VPN ( Virtual Private Network ).

Koneksi antar-jaringan bersifat pribadi yang tersedia di aplikasi Google Play Store itu laris manis. Infonya menyebar dengan cepat dari tangan ke tangan.

Tak lama kemudian koneksi internet para pengguna Android lancar jaya. Berbagai video, foto, dan info dengan cepat mengalir kembali seperti air bah.

Mereka bisa langsung mendapatkan informasi, video dan foto-foto aktual aktivitas para pengunjukrasa dari seputar kawasan Bawaslu. Kerusuhan di sekitar Slipi, dan Petamburan, Jakarta Barat yang lokasinya berjarak beberapa kilometer dari gedung Bawaslu di Jalan Thamrin juga bisa diakses dengan cepat. Begitu juga info unjukrasa di berbagai daerah lain seperti Madura, Pontianak, Medan dll.

Selain menggunakan VPN, para aktivis dunia maya juga banyak yang bermigrasi ke aplikasi percakapan dan pengiriman pesan Telegram.

Group-group percakapan, markas para gerilyawan di dunia maya, banyak dipindahkan dari WA ke Telegram.

Aplikasi asal Rusia ini dinilai relatif lebih aman dan belum terjamah pemerintah. Target pemerintah membatasi info di media sosial gagal total.

Ironi demokrasi

Pembatasan berbagai akses informasi yang dilakukan pemerintah merupakan sebuah ironi dalam negara demokrasi.

Sebagai politisi sipil dan terpilih melalui jalur demokrasi, Jokowi memilih jalur anti demokrasi untuk mempertahankan jabatannya. Pembatasan informasi adalah bentuk nyata rezim demokrasi di Indonesia telah bermetamorfosa menjadi rezim tirani.

Maraknya berbagai penyebaran video, foto, dan info melalui jalur medsos, selain sebuah keniscayaan karena kemajuan teknologi, juga disebabkan oleh kooptasi media arus utama oleh pemerintah.

Sudah lama publik meninggalkan media arus utama sebagai rujukan informasi. Publik sangat kecewa dengan sikap media yang tidak lagi independen. Mereka hanya memberitakan informasi satu arah yang berasal dari pemerintah.

Seruan untuk tidak membaca media mainstream dan tidak menonton televisi bergema di medsos. Publik semakin kecewa ketika menyadari TV One, satu-satunya media yang relatif tidak bisa dikooptasi, akhirnya harus menyerah juga.

Seiring berhentinya tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) kebijakan redaksi TV One berubah drastis. Gayanya tak berbeda dengan media-media lain yang lebih dulu dikooptasi dan ditundukkan pemerintah.

Dalam aksi di Bawaslu selama dua hari berturut-turut (21-22/5) TV One masih menyiarkan secara langsung. Namun nara sumber di studio yang ditampilkan pernyataannya sangat memihak pemerintah.

Seorang tukang bajaj yang mangkal tak jauh dari kawasan Bawaslu bahkan bisa dengan fasih menceramahi penumpangnya untuk tak lagi menonton televisi. Dia mewanti-wanti televisi telah menjadi media penyebaran kabar bohong dari pemerintah.

Redaksi TV One tampaknya harus pandai-pandai “bermain” tarik ulur di tengah tekanan rezim penguasa. Entah sampai kapan.

Dalam dunia penyiaran dikenal sebuah istilah “rezim remote control ”. Seorang penonton sangat independen dan menentukan keberlangsungan sebuah program tayangan. Mereka tinggal pencet remote control maka selesailah nasib sebuah tayangan. Begitu pula nasib sebuah stasiun televisi.

Rezim Jokowi tampaknya tidak menyadari, jalan keras membatasi informasi, dalam jangka panjang akan merugikan mereka sendiri. Medsos menjadi media alternatif kelompok-kelompok perlawanan. Sesuai dengan karakternya medsos sangat bebas dan sulit dikontrol.

Informasi mengalir deras bersama limbah negatif di dalamnya. Tak bisa lagi dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Munculnya ketidakpercayaan publik atas apapun informasi yang bersumber dari pemerintah sangat berbahaya. Alih-alih berhasil memerangi hoax, kebijakan pemerintah mengkooptasi media justru malah menyuburkan hoax itu sendiri.

Media arus utama seakan menjadi makanan dan minuman beracun. Dijauhi dan ditolak publik.

Media mainstream, terutama televisi secara perlahan akan mati suri ditinggalkan publik. Pemerintah tak lagi mempunyai saluran resmi untuk berkomunikasi dengan rakyatnya. Saluran itu sudah mereka sumbat dan matikan sendiri. Yang terjadi adalah chaos dan anarki informasi.

Kini pemerintah harus menghadapi perlawanan dari para gerilyawan-gerilyawan digital. Perlawanan yang tidak mudah dipatahkan. Mereka akan selalu menemukan jalan lain ketika sebuah saluran informasi disumbat. end

Penulis: Hersubeno Arief
Baca juga :