Menginterupsi Sejarah


[PORTAL-ISLAM.ID]  SEJARAH: totalitas pengalaman kolektif kita sebagai bangsa, juga berbagai bangsa lain, mencelikkan kita ikhwal perubahan–perubahan yang memberi harapan dan jalan keluar untuk mengakhiri nestapa, membangun ulang tatanan, mengurai karut marut, senatiasa dimulai dari keberanian menginterupsi sejarah.

Interupsi itu dipicu oleh gagasan, tindakan, peristiwa, atau apapun, yang menginspirasi dan menggerakkan banyak orang untuk memotong atau membelokkan jalannya sejarah. Proses itu bisa melenggang damai, konstitusional atau, kelam mengerikan.

Sepanjang peradabannya, manusia disibukkan oleh urusan menginterupsi sejarah:

Dua butir bom atom yang dijatuhkan Amerika di Nagasaki dan Hirosima (terbukti mujarab menghentikan perang Asia Timur Raya. Meskipun, perang tak lantas hilang dari muka bumi).

Geming Jun: buku puitis karya Zou Rong, (meledak dahsyat seperti bom, mengguncang dan menggerakkan rakyat untuk menggulingkan penguasa terakhir wangsa Manchu yang telah berkuasa lebih dari seperempat millenium).

Referendum yang membelah Cekoslovakia menjadi dua titik pada atlas dunia: Republik Ceko dan Slovakia. (Terbayang betapa sedih dan remuk hati Havel, tokoh pembebasan Rakyat Cekoslovakia dari cengkeraman rejim sosialis-komunis. Presiden pertama sekaligus terakhir yang dipilih secara demokratis, menyaksikan negerinya terbelah). Sejenis dengan itu: Timor Timur.

Gerakan hidup lurus dan bersih yang diteladankan Gandhi. Ditemukannya mesin cetak, The Glorious Revolution (tindakan lembut dan penuh kasih ketika melucuti kekuasaan Raja Inggris). Dihancurkannya bangsa-bangsa yang melampaui batas sebagaimana dikisahkan dalam kitab suci.

Hukuman mati yang digelar menyerupai pertunjukan umum untuk mengatasi korupsi yang merajalela di China beberapa waktu lalu. Dan, tentu saja: revolusi di berbagai tempat.
Itulah, sekedar contoh interupsi sejarah.

Sialnya, menginterupsi sejarah lebih sering harus dilakukan melalui jalur berbahaya. Ongkosnya: nyawa manusia. Dan, selalu saja ada sejumlah manusia yang sanggup membayar lunas.

Mereka bukan korban, bukan tumbal. Tapi, syarat yang harus dipenuhi. Syukurlah Chomsky menjelaskan: Umat manusia menyimpan keberanian yang acap kali sulit dibayangkan. Dari manakah keberanian itu? Salah satunya muncul dari keyakinan atas gagasan dasar tentang Tuhan: Kebenaran dan Keadilan.

Nah, siapakah mereka, yang sanggup membayar lunas itu? Orang-orang yang secara sadar melakukan semacam yang dipikirkan Bregson: mentransendensikan maut. Dengan begitu, mereka memaknai kematian sebagai tindak aktif. Mereka tidak termakan, melainkan meng-iya-kan dengan sepenuh hati ujaran yang menggetarkan: hidup mulia atau mati syahid.

Memang, tak ada kemuliaan dalam kehidupan yang disesaki keculasan, pengkhianatan, penipuan. Falsus in uno, falsus in omnibus: menipu dalam satu hal, pasti juga akan menipu dalam banyak hal. Begitu nasihat orang Romawi.

Lalu, interupsi sejarah macam apakah yang dibutuhkan untuk mengatasi karut marut praksis demokrasi saat ini? Perkara ini lumayan sensitif, lebih pelik dan, boleh jadi lebih berbahaya ketimbang ’98, walaupun opsinya mirip: People Power. Sebab, tak tersedia pilihan lain yang lebih rileks.

Kiranya, Tuhan memang berkenan memberikan kepada bangsa ini, sebuah jalan yang hanya sesekali dibuka untuk umum: siapa saja yang tergerak untuk bergabung menegakkan kebenaran dan keadilan, seraya mendamba jalan bebas hambatan untuk kembali kepadaNya.

Tak ada yang aneh! Mereka hanya (demi kepentingan bangsa yang akan diawetkan dalam sejarah, juga pledoi dihari akhir nanti), berikhtiar mendifinisikan kata nyawa: naskah kontrak kerjasama manusia dengan Tuhan. Klausul pokok dalam naskah itu: Tegakkan kebenaran dan keadilan.

Pada titik itu, dar…der…dor… tak lagi menakutkan.

Penulis: Ludiro Prajoko
Baca juga :