5.000 Pelajar RI Terjerat 'Kerja Paksa' di China dan Taiwan


[PORTAL-ISLAM.ID] Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania menyebutkan sebanyak 5.000 pelajar RI di China dan Taiwan terjerat praktik kuliah kerja yang tak proporsional, salah satunya jam kerja yang melebihi seharusnya.

Jumlah itu didapat dari investigasi satgas yang dibentuk PPI Kawasan Asia-Oseania, beranggotakan perwakilan mahasiswa Indonesia di China, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang.

Badan itu telah mencari informasi dan melakukan verifikasi terhadap para mahasiswa yang menjalani program selama empat bulan sejak Februari 2019.

"Satgas telah menemukan praktik ini di Taiwan serta Tiongkok. Temuan ini cukup mengejutkan kami karena di saat antusiasme kuliah ke luar negeri begitu tinggi, ada pihak yang tidak bertanggung jawab dan menyesatkan calon mahasiwa," kata Nikko Ali Akbar, anggota Satgas Anti Kerja Paksa dari Tiongkok, dalam Simposium Kawasan Asia-Oseania 2019 di Tianjin, Sabtu (18/5/2019).

Dalam pernyataan yang diterima CNNIndonesia.com, PPI Kawasan Asia-Oseania mengatakan eksploitasi mahasiswa ini berawal dari sebuah agen di Surabaya yang membuka perekrutan dan menargetkan siswa lulusan SMA dalam praktiknya.

Tim satgas PPI itu tak mengungkap nama agen tersebut dan nama universitas yang menerima ribuan pelajar RI ini.

Namun, tim satgas mengaku banyak calon mahasiswa yang terbius agen tersebut lantaran diiming-imingi kuliah sembari kerja. Agen disebut berperan membantu calon mahasiswa mengurusi seluruh keperluan kuliah seperti kepengurusan dokumen.

Para calon mahasiswa lalu terbang menuju salah satu kota di selatan China dengan status visa 'study working'. Di Negeri Ginseng, ada pihak yang menjemput para siswa dan mengantarkan mereka ke sebuah kampus.

"Para calon mahasiswa lalu diminta untuk menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu, mereka dibawa ke sebuah pabrik," bunyi pernyataan PPI Kawasan Asia-Oseania.

Selama menjalani program kuliah kerja, para mahasiswa disebut diminta bekerja selama lima hari dan dua hari kuliah selama seminggu. Tak hanya itu, para mahasiswa juga diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00 dini hari.

Menurut informasi yang didapat satgas, para siswa akan dikenakan potongan gaji jika tidak bisa bekerja atau absen setiap harinya. Perihal pendapatan, para mahasiswa disebut mendapat gaji sebesar 500-1.000 yuan atau Rp1-2 juta.

Jumlah tersebut didapat mahasiswa setelah dipotong biaya kuliah sebesar 700 yuan atau Rp1,4 juta.

"Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan mendapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik," kata PPI Kawasan Asia-Oseania.

Lebih lanjut, tim satgas PPI Kawasan Asia-Oseania melihat sistem perekrutan mahasiswa tidak bertanggung jawab ini berlangsung terorganisir. Sebab, sejumlah agen pendidikan dan perekrutan mahasiswa aktif mempromosikan skema program kuliah kerja di luar negeri.

Untuk itu, PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak pemerintah Indonesia untuk meninjau langsung universitas-universitas di China dan Taiwan tempat para pelajar RI tersebut mengenyam pendidikan.

"Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program, karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya."

Pada awal 2019, kasus serupa juga mencuat di Taiwan. Sebanyak 300 pelajar RI di salah satu universitas Taiwan diduga menjadi korban eksploitasi akibat skema program kuliah-magang tersebut.

Dugaan tersebut muncul setelah salah satu anggota parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang (KMT), Ko Chih-en, mengungkap hasil investigasinya. Dia menyebut ratusan mahasiswa RI itu terdaftar di Universitas Hsing Wu, distrik Linkou, Taipei.

Para mahasiswa Indonesia itu dilaporkan dipekerjakan di sebuah pabrik lensa kontak di Hsinchu. Mereka bekerja dari pukul 07.30 sampai 19.30 waktu setempat. Mereka harus berdiri selama 10 jam dan membungkus setidaknya 30 ribu bungkus lensa kontak, dengan waktu istirahat hanya dua jam.

Taiwan membantah tudingan tersebut dan berjanji akan mengevaluasi skema kuliah-magang yang diakui baru diterapkan pemerintah pada 2017 lalu ini. (CNNIndonesia)

Baca juga :