NEGARA KAYA Berbeda Dengan NEGARA YANG BAIK (Baldatun Thoyyibatun)


NEGARA KAYA Berbeda Dengan NEGARA YANG BAIK (Baldatun Thoyyibatun)

Oleh: Mutawakkil Abu Ramadhan

Selama ini kita nyaris tertipu dengan mimpi kita sendiri untuk menjadi negara yang kaya, selama ini kita menonton dengan perspektif yang sangat terbatas akan fenomena kegemerlapan dan pesta pora kehidupan negara-negara yang sudah kaya, dari jalan jalan yang lebar dan mulus, mobil mewah, rumah mewah, infrastruktur wah, gedung gedung pencakar langit, orang orang yang ganteng, cantik, cerdas.

Korea Selatan adalah salah satu contoh negara sukses yang kaya, meski negeri ini menjadi kaya dengan sumber daya otak dan tidak mengandalkan sumber daya alam tetap saja kita menyaksikan kondisi sosial yang menyedihkan. Korea Selatan adalah negara produsen film film porno yang terbanyak didunia karena banyak dari anak muda yang terjebak bunga hutang finansial maupun perbankan, ribuan anak-anak muda Korea bunuh diri setiap tahun karena terlalu stress akibat obsesi yang kelewatan untuk menjadi selebriti K-POP, jaringan-jaringan gangster Korea yang berskala dunia melakukan perdagangan gelap dari Narkoba hingga human trafficking. Operasi plastik kecantikan yang canggih mencerminkan ketidakbahagian dan ketidakpuasan orang Korea.

Jepang sudah tidak asing lagi bagi kita sebagai sebuah kiblat kemajuan peradaban manusia, barang barang produksi Jepang senantiasa menemani kehidupan kita sehari-hari, produk Jepang yang sangat canggih dan berkualitas tinggi adalah buah dari hasil dari budaya kerja keras mereka. Namun siapa sangka jika budaya kerja keras di Jepang adalah titik awal dari segala gudang penderitaan? Di Jepang 61 persen dari laki laki dan 49 persen wanita menghindari perkawinan, hal ini mengakibatkan penduduk Jepang akan berkurang 30 persen dalam 30 tahun mendatang, kemajuan dan kekayaan malah membawa bangsa Jepang menuju kepunahan. Fenomena hikikimori yaitu fenomena mengisolasi diri dari kehidupan selama bertahun tahun didalam kamar sebelum memutuskan untuk bunuh diri melanda setengah juta anak muda Jepang. China dan Singapura memiliki penyakit penyakit sosial yang tidak jauh berbeda dengan Korea dan Jepang.

 Allah SWT mencontohkan sebuah negara yang ideal dalam surah Saba ayat 15:

قَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun"."

Negara yang ideal bukanlah negara yang kaya, Allah SWT sudah menyebutkan negara yang ideal dengan بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ yaitu negeri yang toyyib (baik).

DR Nablusi mengartikan negara yang baik dari surah Saba ayat 15 adalah negeri yang baik alamnya, baik udaranya, baik airnya dan berbasis penduduk yang baik akhlaqnya. Akhlaq adalah core dari sebuah sistem, semuanya bertumpu kepada akhlaq, jika akhlaq rusak maka alam dan cuaca sebuah negara akan ikut rusak, alam yang rusak disebuah negara dipicu oleh akhlaq penduduknya yang rusak. Polusi udara diakibatkan oleh regulasi enviroment yang rusak karena faktor moral hazard manusia yang buruk akhlaqnya. Belum lagi jika kita bicarakan masalah kerusakan hutan, krisis air bersih, korupsi yang semuanya disebabkan oleh moral hazard manusia. Para ulama mengatakan satu titik niat yang baik lebih besar dan berat nilainya ketimbang dari sebuah kumpulan materi yang sebesar gunung.

Dari ayat yang sama disebutkan firman Allah SWT كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ, arti dari ayat ini adalah "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya". Inilah sumber dari prinsip akhlaq, rezeki dari Allah SWT yang terbaik adalah rezeki yang berkah, terminologi berkah menurut DR Nablusi adalah    الخير من الله من غير انقطاع yang artinya rezeki (kebaikan) dari Allah yang tidak pernah terputus. Istilah الخير /Kebaikan diambil para ulama dari surah Hud ayat 84 yang dalam konteks sebuah negara sebagai sebuah kondisi tersedianya bahan-bahan pokok baik konsumsi maupun produksi dan harga yang murah bagi rakyatnya, khalifah Umar bin Khattab selalu menanyakan pertanyaan ini kepada para gubernurnya : كيف الأسعار عندكم ؟ (Bagaimana situasi harga-harga ditempat kalian?).

Di zaman kekuasan Islam, para khalifah selalu memperjuangkan harga-harga yang semurah mungkin agar perputaran uang bisa berputar deras dikalangan rakyat, karena jika harga mahal maka perputaran uang akan dikuasai oleh orang orang superkaya. Saat perputaran uang dikuasai oleh kalangan super kaya negara akan dibelah menjadi dua kubu yang berjauhan martabat dan status sosialnya, disiniah mengapa sebuah negara tidak pernah terteram dan damai karena adanya pembelahan sosial yang dalam yang seperti dialami oleh bangsa indonesia saat ini.

Dalam konteks kekinian, negara yang baik adalah sebuah negara yang dibentuk untuk mengkondisikan rakyatnya agar patuh dan takut kepada Allah SWT. Apapun bentuk, sistem dan ideologinya sebuah negara, selama instrumen instrumen pembentuk ketaqwaan didalam masyarakat diberikan ruang kebebasan bergerak dan tidak mengintervensi ajaran dan keyakinan, maka negara akan terbawa kearah yang relatif baik. Sebaliknya, sekaya kayanya dan sekuat kuatnya sebuah negara jika instrumen ketaatan kepada Allah SWT lemah atau tidak ada sama sekali maka keburukan keburukan akan melanda negara itu baik secara politik, ekonomi dan sosial. Terutama akan terjadi kesenjangan ekonomi, kehancuran moral dan ketidakadilan sosial.

Harga-harga yang selalu dimurahkan oleh para khalifah bisa diartikan dalam konteks kekinian sebagai usaha pemerataan ekonomi untuk menguatkan daya beli rakyat, bukan hanya daya beli kalangan super kaya. Zaman ini kita terlalu sering didengarkan oleh berita orang kaya membeli pesawat termahal, kapal termahal, pencakar langit termahal, lukisan termahal, perhiasan termahal, pemain bola termahal. Maka, seorang bapak yang kalangan biasa biasa saja yang kesulitan membiayai keluarganya nyaris tidak mendapatkan spot yang kuat dari media dan pejabat, padahal para khalifah akan jauh lebih takut kepada bapak yang kesulitan ekonomi ketimbang pemain bola yang mahal. Pemerataan ekonomi tidak hanya dikendalikan oleh sistem ekonomi saja, sistem akhlaq sangat diperlukan untuk mengendalikan akhlaq bangsa untuk menghindari perilaku greed (serakah) , corrupt (koruptif) dan moral hazard lainnya.

Sebaik-baik dan seadil-adilnya sebuah sistem negara kesejahteraan modern (welfare state) kita tetap saja menemukan fenomena fenomena depresi didalam masyarakatnya. Sebut saja seperti Norwegia, Swedia dan Finlandia, ketiga negara itu hidup dalam kondisi makmur dan memiliki struktur keadilan sosial yang solid, tapi tetap saja dari masyarakatnya banyak yang bunuh diri, hampir 40 ribu dari penduduk negara-negara itu bunuh diri setiap tahunnya, band band rock pemuja setan tumbuh subur khususnya di Norwegia yang merefleksikan adanya pemberontakan sosial terhadap kemapanan yang ada.

Kita bosan mendengar jargon kampanye yang selalu mengatakan bahwa Indonesia harus maju seperti Singapura, China, Jepang dan lain-lainnya. Indonesia tidak butuh panutan-panutan yang cacat moral seperti China, Singapura, Jepang atau Saudi Arabia sekalipun. Cukup kita pelajari episentrum dari kesalahan–kesalahan negara kaya yang umumnya berkutat dengan masalah pemberian ekslusif Allah SWT yaitu iman, iman dalah akhlaq dan agama. Sampai-sampai Arab Saudi yang muslim dan ultra kaya, kini tertatih-tatih dalam masalah geo-ekonomi dan geo-politik yang akut akibat masalah akhlaq yang tidak terurus secara baik sehingga membawa petaka kepada bangsa bangsa miskin seperti Mesir, Jordania, Suriah,Yaman, Palestina dan terakhir yang baru saja terjadi perang kota di Tripoli Ibukota Libya dimana salahsatu pihak yang berperang dibiayai oleh Saudi.

Prabowo-Sandi mengajak kita kepada pembentukan akhlaq sebagai panglima, lalu terbentuklah ekonomi yang berakhlaq, Prabowo-Sandi melawan segala usaha pembangunan ekonomi yang ultra materialistik, menjauhi dan memalsukan pemberian eksklusif Allah SWT yang selama ini membuat kita menjadi “terkutuk” dengan ketidakadilan sosial, harga harga yang meroket, layanan-layanan umum yang semakin mahal dan tidak berkualitas, dan yang paling krusial adalah untuk melawan dominasi asing dalam berbagai sektor kehidupan bangsa yang kian nyata dan menganga.**

Baca juga :