Runtuhnya Moral Politik Kaum Santri


[PORTAL-ISLAM.ID]  Muktamar NU ke-27 di Asembagus Situbondo 1984 berlangsung di tengah konflik yang melanda NU yang merupakan imbas dari konflik yang terjadi di tubuh PPP menjelang Pemilu 1982, terutama terkait dengan Daftar Calon Tetap (DCT) DPR RI PPP yang banyak merugikan politisi-politisi dari kiai-kiai sepuh dan sebaliknya justru menguntungkan politisi-politisi muda NU.

Dampak dari DCT itu luar biasa. KH. Idham Cholid yang saat itu menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU sekaligus Presiden Partai (PPP, jabatan simbolik) menyatakan mengundurkan diri sebagai Ketua Tanfidziyah. Pernyataan pengunduran diri ini dibuat di atas kertas dan dilakukan di hadapan kiai-kiai sepuh yang dipimpin KH. As'ad Syamsul Arifin yang secara khusus mendatangi kediaman Kiai Idham. Mengetahui pengunduran diri ini, para pendukung Kiai Idham tidak terima dan berhasil memaksa Kiai Idham untuk mencabut pernyataan pengunduran dirinya.

Dampak pengunduran diri ini, NU terbelah menjadi dua kubu, yaitu Kubu Cipete (merujuk pada tempat kediaman Kiai Idham) yang identik dengan kubu politisi dan Kubu Situbondo (merujuk pada kediaman Kiai As'ad) yang identik dengan kubu khittah.

Muktamar Situbondo menghasilkan duet kepemimpinan KH. Achmad Siddiq (Rais Am) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur, Ketua Tandidziyah). Terpilihnya “duet maut” ini tidak mudah. Pemilihan Rais Am harus memakai mekanisme Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA). Kiai As’ad sebagai tuan rumah Muktamar diberikan mandat oleh muktamirin untuk memilih enam anggota AHWA (merujuk pada mekanisme suksesi saat terpilihnya Khalifah Usman bin Affan), yaitu KH Ali Maksum, KH Syansuri Badawi, KH Masykur, KH Ali Hasan Ahmad, KH Romli, dan KH Roffi Mahfudz.

Keputusan ini diterima muktamirin, meskipun tentu ada yang tak puas terutama dari kubu Cipete, tetapi tidak sampai membelah dan memecah NU.

Meskipun akhirnya terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah, namun terpilihnya Gus Dur tidak mudah. Ada penentangan dari beberapa muktamirin, termasuk KH. Machrus Ali, pengasuh Pesantren Lirboyo. Penolakan terutama terkait dengan kenylenehan Gus Dur, termasuk posisi Gus Dur sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta.

Namun penolakan terhadap Gus Dur selesai saat KH. Achmad Sidiq bercerita bahwa dirinya bermimpi melihat KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), berdiri di atas mimbar. Kiai Achmad mentakwilkan mimpi tersebut kalau Kiai Wahid yang juga putra KH. Hasyim Asy'ari merestui Gus Dur. Spontan Kiai Machrus dan muktamirin lainnya berubah sikap menjadi mendukung Gus Dur tanpa syarat. Gus Dur terpilih karena moral kaum santri yang memegang teguh ketaatan dan hormat pada kiainya dengan prinsip sami’na wa atha’na (mendengar dan taat).

Saat Muktamar Yogyakarta, 1989, di kala Kiai As’ad mengambil sikap mufaraqah terhadap kepemimpinan Gus Dur, tak ada kiai lain yang mengikutinya. Kenapa? Karena prinsip sami’na wa atha’na pada gurunya masih cukup kuat. Dalam tradisi NU, Gus Dur yang merupakan cucu Kiai Hasyim termasuk pusering dunyo nahdliyin. Tak ada yang berani melawan Gus Dur. Melawan Gus Dur sama dengan melawan Kiai Hasyim. Ini bangunan moral yang cukup kuat di kalangan kaum santri.

Ketika berlangsung Muktamar Cipasung 1994, rezim Soeharto dengan kekuatan penuh mencoba melengserkan Gus Dur dengan memasang Abu Hasan, orang yang masuk NU karena jasa Gus Dur, sebagai calon boneka untuk jabatan Ketua Tanfidziyah. Menyadari Gus Dur dalam ancaman, maka sebagian besar muktamirin merapat ke Gus Dur. Merapat untuk membela cucu Kiai Hasyim. Akhirnya Gus Dur berhasil memenangkan pertarungan dalam perebutan jabatan Ketua Tanfidziyah, meskipun dengan suara tipis. Padahal saat itu di tubuh NU sudah banyak yang tidak sejalan dengan Gus Dur, terutama dengan segala kontroversinya.

Sampai dengan Muktamar Cipasung terlihat bangunan moral politik kaum santri masih cukup kokoh. Namun selepas Orde Baru tumbang, terlebih ketika iklim politik era Reformasi yang sejak 2004 berlangsung secara liberal, kokohnya moral politik santri mulai meleleh. Tak terbayangkan, dengan intervensi dan bantuan rezim SBY, Gus Dur berhasil “ditumbangkan” oleh keponakannya, Muhaimin Iskandar. Padahal Muhaimin adalah anak muda yang diorbitkan oleh Gus Dur.

Masih ingat dengan Djan Farid, mantan Ketua Tanfidziyah PWNU Jakarta dan Ketua Umum PPP yang dalam tayangan langsung di TVONE dua kali gagal melafadzkan amar makruf nahi munkar. Kalimat yang semestinya begitu mudah diucapkan oleh seorang muslim, namun seorang Djan Farid gagal melafadzkannya, dengan mengucapkannya amar makruf nahi “mankur”.

Kalau membaca dengan pendekatan tradisi moral kaum santri, saya kira kegagalan Djan Farid melafadzkan amar makruf nahi munkar sulit dipahami semata sebagai bentuk keseleo lidah, tapi mesti dipahami sebagai bentuk “teguran keras” Sang Pemilik Kekuasaan atas sikap politiknya yang membiarkan dan bahkan ikut terlibat dalam upaya adu domba dan perpecahan politik yang terjadi di tubuh PPP. Belum lagi sikap politiknya pada saat Pilkada Jakarta 2017 yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang telah melecehkan dan menista Islam.

Pembiaran atas perpecahan di tubuh PPP dan dukungannya terhadap Ahok, selain telah merendahkan marwah PPP sebagai partai Islam, juga sekaligus meruntuhkan moral politik santri. Saya tidak bisa membayangkan hukuman apa yang akan diterima oleh Djan Farid bila sikap yang dipertontonkannya dilakukan ketika kiai-kiai sepuh seperti KH. Bisri Syamsuri, KH. Machrus Ali, KH. Yusuf Hasyim, dan KH. Ilyas Ruchiyat masih hidup?

Dulu, ketika mendapati gaya hidup Zubchan ZE., Ketua I PBNU, yang dinilai telah melenceng dari nilai-nilai Islam, Kiai Bisri sebagai Rais Am langsung memecatnya. Apalagi dengan sikap dan perilaku politik yang dipertontonkan oleh Djan Farid, mungkin tindakannya akan jauh lebih keras.

Detik-detik terakhir menjelang berakhirnya waktu pendaftaran pasangan capres dan cawapres, publik dikejutkan dengan munculnya nama KH. Ma'ruf Amin, yang saat itu menjabat jabatan paling terhormat di NU sebagai Rais Am dan juga Ketua Umum MUI Pusat.

Kalau melihat perkembangan detik demi detik jelang berakhirnya pendaftaran capres dan cawapres, memunculkan nama kiai sepuh dengan jabatan tertinggi di NU seperti Kiai Ma'ruf sebagai cawapres, rasanya semakin memperkuat telah runtuhnya moral politik kaum santri. Apalagi ketika memunculkan nama Kiai Ma'ruf sambil menafikan ke-NU-an Moh. Mahfud MD. Bagaimana mungkin Mahfud MD yang orang Madura dinafikan ke-NU-an. Agama sebagian besar orang Madura itu bukan Islam, tapi NU.

Pencalonan Kiai Ma'ruf sebagai cawapres Jokowi terbukti sangat tidak signifikan dalam mengangkat elektabilitas pasangan Jokowi-Kiai Ma’ruf. Partai-partai pendukung pasangan Jokowi-Kiai Ma'ruf, terlebih PKB dan PPP pasti tahu akan hal ini. Terlalu banyak Nahdliyin, baik yang secara politik berafiliasi ke PKB dan PPP atau partai lainnya yang tidak mau memilih pasangan Jokowi-Kiai Ma'ruf. Begitu pun di kalangan “kiai kampung” terlalu banyak yang tidak mau mendukung dan memilih pasangan Jokowi-Kiai Ma’ruf. Alasannya karena mereka melihat bahwa Kiai Ma'ruf yang dari sisi usia termasuk sudah cukup udzur hanya diperalat oleh segelintir politisi NU, terutama dari PKB dan PPP. Kebanyakan Nahdliyin dan “kiai kampung” justru merasa kasihan dengan pencalonan Kiai Ma’ruf.

Beberapa hari lalu publik kembali disuguhi tontotan yang menyedihkan, ketika ada kiai sepuh, KH. Maimun Zubair berdoa dengan ketulusannya justru mendapat koreksi dari Ketua Umum PPP Romahurmuziy, seorang yang sebenarnya masih tergolong dzurriyah NU. Bahkan ketika koreksi doa dianggap belum cukup,
Romahurmuziy pun mengajak Presiden Jokowi masuk ke kamar Mbah Maimun untuk membuat vlogging, tentu vlogging yang menegaskan pernyataan dukungan Mbah Maimun kepada Jokowi.

Sebagai orang yang pernah nyantri dalam tradisi NU, saya melihat bahwa sikap tersebut rasanya sudah masuk kategori sebagai shuul adab dari seorang santri kepada kiai sepuh. Jangankan memprotes, mengoreksi pernyataan kiai, apalagi pernyataan (konteks kasus yang terjadi adalah "memprotes sekaligus mengoreksi doa) kiai sepuh seperti Mbah Maimun, jelas sesuatu yang tabu dalam tradisi kaum santri. Sikap yang dipertontonkan Romihurmuziy sekaligus menegaskan semakin runtuhnya moral politik kaum santri. Sekian.

Kereta Tegal Bahari, 3/2/2019

Penulis: Ma'mun Murod Al-Barbasy
Baca juga :