PADA BIRU ITU...


PADA BIRU ITU...

Oleh: Ziya Soraya

Laut yang tenang, udara yang berarak, dan camar yang terbang di langit Februari. Diantara desis suara mesin kapal penumpang yang samar, enam lelaki berbaju biru langit yang cerah, bersandar di tepi geladak. Mereka saling melemparkan tawa. Udara dingin tak mampu menembus kehangatan yang sejak tadi hadir.

"Anis", kata lelaki yang lebih tua berkaca itu berbicara kepada kawannya. "Gulung lengan bajumu. Kita sedang santai".

"Bukannya gulung lengan baju, sekarang jadi simbol kerja?", kata lelaki yang lebih muda yang bernama Anis. Terkekeh pelan.

Semua yang mendengar, tertawa. Mereka memang sedang mencoba baju yang sama. Baju baru. Biru langit. Niat mereka siang ini, hanya ingin memakainya. Berada di negeri asing, jauh dari tanah air, berkumpul di sebuah perjalanan diatas kapal yang mengitari sebuah Selat, hanya untuk mengenakan baju yang sama. Biru langit.

Lalu mengabadikannya. Seperti mengundang pikiran kita terbang. Pada sebuah tempat, suatu waktu, di lintasan ingatan. Atau banyak tempat dan banyak waktu di satu lintasan.

Dan biru langit itu menerbangkan saya pada langit Eropa yang terang dan percakapan empat mata, saya dan Sarah El Hairay, hampir dua tahun lalu. Kami berjumpa pada waktu yang telah ditentukan. Di kafe Cote Plage yang tenang di seberang Taman Kota Square Jean Baptiste Daviais. Sebuah taman kota yang indah di kota distrik Nantes, Perancis.

Sarah adalah wanita mandiri. Lahir dan besar di Romorantin-Lanthenay, sebuah komune di Loir-et-Cher di pusat Perancis. Komune itu adalah divisi administrasi dan masuk dalam kategori kota kecil. Sarah lahir di situ. Tapi kemudian ia melanjutkan kuliah di Universite de Nantes. Jurusan Hukum. Hampir 300 kilometer dari kampung halamannya. Lalu setelah kuliahnya selesai, ia bekerja di sebuah perusahaan di bidang marketing dan pelan-pelan, ia merintis usaha.

Sarah tipe wanita muda khas Eropa. Wajahnya sepertinya blasteran. Mungkin ayah atau ibunya dari Turki. Mungkin juga dari Suriah. Bisa juga dari Palestina, tanah seribu konflik berbilang zaman. Sarah lahir dan besar di Perancis. Usianya baru 27 tahun. Rambutnya yang ikal dan hitam dipotong pendek. Mungkin agar supaya ringkas. Tak perlu banyak dandan.

Berkaos warna biru muda bertuliskan inisial 'EM', dia menemui saya. Di bibirnya ada sapuan tipis warna merah muda. Kontras dengan wajahnya yang sedikit cokelat mirip kulit Asia. Celana jeansnya digulung lancip. Khas anak-anak muda sebayanya. 'Pinrolling' istilahnya. Yang bermakna menggulung lancip. Juga dikenal dengan nama 'french rolling', menegaskan asal negara tren ini pertama kali lahir.

Saya memesan kopi dan Sarah memesan cokelat. Sarah seperti berbinar melihat kain hijab saya berterbangan ditiup angin. Mulutnya tertawa lebar. Seperti mau mangatakan 'berubah'. Atau 'tidak seperti yang dulu'. Saya tertawa menanggapinya. Setelah saling mencium pipi, kami pun duduk. Sarah menyilangkan kakinya dan bersandar di kursi. Kami sengaja memilih tempat duduk di luar kafe. Cote Plage memang menyediakan 'outdoor seating'. Ada tempat ngopi di luar ruangan. Udara Perancis sedang bersahabat. Kami menikmatinya

"Bagaimana perjalanan dari Indonesia?", katanya membuka percakapan. Sarah belum pernah ke Indonesia.

Kami hanya kenal karena enam tahun lalu, kami ikut dalam International Summer School di University of Sussex. Sebulan bersama Sarah, saya jadi sahabat karibnya dan kami saling berkirim kabar lewat email dan Blackberry. Sekarang semua serba mudah. Beberapa tahun lalu, Sarah bilang, dia akan mencoba bekerja di perusahaan dan membangun usaha yang juga concern di bidang sosial. Nyaman di hati, katanya.

"Yah, lumayan capek. Bagaimana kampanyemu?", sambil saya arahkan lirikan dan pandangan saya ke tulisan 'EM' di baju Sarah.

Iya, Sarah memutuskan terjun ke politik beberapa bulan ini. Dan karena itu, saya ingin buru-buru berjumpa dengannya. Bertahun-tahun lalu, saya membayangkan seorang Sarah bisa menjadi advokat atau pembela hak-hak minoritas dan imigran. Sesuatu yang sangat dibutuhkan Perancis. Tapi rupanya, Sarah mengambil jalan berbeda.

Dia bekerja di perusahaan lalu akhirnya membangun bisnis yang juga masih bersentuhan dengan dunia sosial. Dan kini melanjutkannya dengan politik. Lebih terkaget lagi, saat mendengar dia bergabung dengan Emmanuel Macron membesarkan La Republicue En Marche. Atau En Marche saja. Atau EM. Padahal EM adalah partai muda. Baru berumur beberapa bulan. Banyak tantangannya.

"Ziya my dear, Perancis sedang bergerak menuju perubahan. Saya yakin bahwa politik masih dapat membuat perbedaan dan meningkatkan kehidupan semua orang. Saya yakin dan terlibat dengan Emmanuel Macron. Bersamanya saya belajar banyak hal. Saya membawa program yang seimbang dengan janji-janji untuk menempatkan nilai-nilai Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan di jantung publik".

"Tapi kenapa kau berubah drastis, Sarah. Apakah kau percaya politik. Apa yang akan kau lakukan disana?", kata saya sambil tersenyum menyambut kopi dan cokelat kami yang baru saja dia Tarakan pelayan. "Merci", kata saya sambil tersenyum.

"Ziya. Cita-cita saya masih sama seperti dulu. Saya mendukung renovasi kehidupan Prancis. Dan saya percaya pada kelahiran En Marche. Politik perlu untuk menyelesaikan kesenjangan kanan-kiri. Komitmen saya di masa lalu sejak mahasiswa, presiden asosiasi, serikat pekerja, dan pengusaha tak pernah berubah untuk rakyat. Di En Marche, kami memikirkan untuk mengakhiri spiral pengangguran dan penurunan ekonomi sambil menjamin model perlindungan sosial kami".

"Saya percaya padamu Sarah. Tapi seberapa kuat mimpimu itu bisa terwujud?", kata saya sambil memandang lekat wajahnya.

Sarah terdiam sesaat.

Emmanuel Macron adalah satu-satunya calon Presiden yang mengusulkan dan berbagi visi Eropa yang positif dan ambisius: masa depan Eropa. Dan karena itu, Sarah turun tangan bersama puluhan ribu anak muda sebaya, bergerak memenangkan Macron dan En Marche. Dalam kepala Sarah, ada bayang-bayang wajah jutaan anak muda Perancis yang memancarkan harapan. Ada gairah dan kebangkitan baru yang belum pernah terjadi sejak berpuluh tahun lalu. Mimpi tentang kesejahteraan.

Ada wajah-wajah pengungsi dari tanah konflik yang datang berduyun ke jantung Eropa, dalam kelaparan dan berdesakan diatas kapal yang perlu diselamatkan.

***

Kapal penumpang itu berjalan melintasi jembatan. Keenam orang itu melihatnya. Mereka kembali mengabadikannya.

Batu-batu berwarna cokelat keputihan berdiri gagah menyusunnya. Batu-batu adalah saksi sejarah yang jujur. Dia setia melihat jatuh bangunnya sebuah bangsa. Dia melihat tangis ratapan kehancuran. Dia melihat tawa riang kemenangan.

Seperti mengingatkan kita pada sebuah terik di simpang Habib Bourguiba Avenue. Tentang ribuan anak-anak muda yang memasang sticker bendera negara di pipinya di awal Mei tahun kemarin. Tentang wajah-wajah ceria yang merayakan kemenangan dan menitipkan harapan pada sebuah partai berwarna biru langit dan navy bergambar merpati yang mereka sebut Ennahda. Lahir kembali. Partai Islam moderat yang sunni dan mengkampanyekan demokrasi.

Sebagian dari anak-anak muda itu masih bangga mengenakan kaos berwarna biru bergambar burung merpati sambil melangkah beriring menuju kafe-kafe yang berjajar tak jauh dari Cathedral of Saint Vincent de Paul. Meminum teh mint bergelas-gelas atau menyuap pelan-pelan sup Couscous Alusy ke mulut.

Gadis-gadis muda khas Afrika yang anggun saling bergerombol membentuk lingkaran kecil. Rambut hitam atau cokelatnya yang tergerai, tak mampu menyembunyikan kecantikan eksotiknya. Wajah-wajah mempesona yang melengkapi Tunis yang indah. Seperti jejer bangunan di bukit landai Sidi Bouzid yang berwarna biru dan putih. Berabad menghiasi pantai Mediterania. Dimana kita bisa memandang biru laut dan rona senja. Juga masa depan.

Di pelabuhan biru matamu, lautan terbuka seperti jendela.
Burung-burung datang dari jauh, mencari pulau-pulau yang tiada dalam peta.

Di pelabuhan biru matamu, aku menyusur pantai bagai anak kecil.
Menghirupembuskan aroma garam dan memulangkan burung-burung yang kelelahan ke sarang.

Begitu kata Nizar Qabbani pada "Puisi Tentang Laut". Yang bercerita tentang cinta, pencarian, dan rumah harapan. Yang ia tulis di tepi laut yang indah, sebelum negeri kelahirannya yang bernama Suriah porak-poranda oleh perang.

Gadis-gadis di kafe itu percaya pada pidato kemenangan Ennahda yang dibacakan oleh pemimpin kharismatiknya, Rasheed Ghannouchi,  setelah perhitungan suara. "Kami akan melanjutkan revolusi yang bertujuan untuk membuat Tunisia sebagai negara yang merdeka, mandiri, membangun dan makmur, dengan jaminan hak Tuhan, Nabi, wanita, lelaki, agama dan non-agama, karena Tunisia untuk semua''.

Ghannouchi juga menjamin demokrasi dan sekulerisasi. Juga akan mengambil kebijakan progresif menjamin hak-hak perempuan. Sesuatu yang menjadi impian mereka selama ini.

Dulu, Januari 2011, enam tahun lalu. Saat mereka masih pelajar sekolah, mereka menyaksikan angin perubahan berhembus di langit Tunis. Berawal dari kota indah di tepi Mediterania; Sidi Bouzid. 300 kilometer selatan kota Tunis. Gadis-gadis muda itu mengingat nama Mohamed Bouazizi, seorang pedagang berusia 26 tahun yang berjualan sayur dan buah.

Tapi, kemudian gerobaknya disita dan ia melakukan protes. Petugas kota yang korup, kejam dan tanpa kompromi menolak semua protesnya. 17 Desember pukul 11.30 pagi, ditengah deraan rasa jengkel yang luar biasa karena menghadapi kelakuan petugas pemerintah, ia menyiram tubuhnya dengan cairan yang mudah terbakar dan membakar dirinya sendiri. Rakyat satu kota marah seketika mendengar insiden itu. Media sosial mengabarkan dan api di tubuhnya menjalar lewat jejaring percakapan dan media sosial.

Bouazizi adalah wajah Tunisia yang sesungguhnya. Negara itu sedang didera pengangguran yang tinggi, inflasi, mahal ya makanan, korupsi, kurangnya kebebasan politik seperti kebebasan berbicara dan kondisi kehidupan yang buruk. Bouazizi adalah api yang menyalakan keberanian warga. Tiga pekan lebih rakyat Tunisia melakukan demonstrasi, mogok, dan menduduki kantor-kantor pemerintahan, Zine El Abidine Ben Ali akhirnya jatuh pada Januari 2011.

Kekuasaan berpuluh tahun lamanya, kadang tumbang disebabkan hal-hal sederhana. Dan Tunisia menjadi inspirasi Arab untuk berubah. Musim semi Arab menjalar menyebarkan benih-benih bunga. Ia tumbuh merambat di dinding-dinding keangkuhan. Perlahan tapi pasti, kekuasaan yang zalim pasti tumbang.

Sebelum pergi dari kafe, gadis-gadis muda itu menyerahkan bendera partai berwarna biru langit bergambar burung merpati. Masih ada harapan di negeri ini. Meninggalkan senyum, gadis-gadis itu pergi. Mungkin menonton bioskop. Mungkin mengelilingi kota. Mungkin juga mengabarkan kekasihnya untuk berjumpa kembali di perayaan kemenangan di simpang Habib Bourguiba Avenue. Batu-batu menjadi saksi kokohnya demokrasi.

***

Saya masih bersandar di dinding batu sebuah hotel. Menyaksikan puluhan ribu anak-anak muda dari kampus di sekitar Istanbul memadai Taksim Square. Membawa lilin dan menyalakan mode senter di gawai mereka, mereka Menyanyikan berulang-ulang lagu Kebangsaan mereka. Alat penerangan ala kadarnya berubah menjadi cahaya raksasa yang menguatkan Erdogan.

Pertengahan Juli dua tahun lalu. Sebuah upaya kudeta dilakukan di Turki. Upaya ini konon direncanakan oleh sebuah faksi di tubuh Angkatan Bersenjata Turki. Semalam, Gedung Parlemen dibom. Istana Presiden di Ankara dibom. Kediaman Erdogan di Marmaris diserang. Dan sebagian petugas keamanan tewas dalam kontak senjata.

Hanya berjarak tak kurang dari sehari, upaya kudeta ini gagal. Dan disinilah saya. Menyaksikan rakyat yang tumpah rumah mengabarkan bintang dan bulan. Bendera Kebangsaan Turki. Mengelu-elukan Erdogan dan Angkatan Bersenjata yang setia. Menjaga kehormatan bangsa dan pemerintah yang sah. Pidato Erdogan diputar di Youtube. Hari ini saya menonton. Lebih dari dua kali.

Dua gadis muda mengacungkan dua jari telunjuk dan tengah sambil meloncat dan melewati saya. Saya tertawa dan mengacungkan jari yang sama. Dua jari itu bisa bermakna 'victory' atau kemenangan. Bisa juga 'peace' atau damai. Rakyat memang tengah memenangkan. Kontra revolusi menang dengan damai. Berkat persatuan, kesetiaan dan kepercayaan mereka pada perubahan yang ditawarkan Erdogan.

Erdogan mengajarkan, bahwa Islam dan nasionalisme bisa berjalan. Islam tak sekedar simbol, tapi ia kata kerja. Menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran, mengejar ketertinggalan capaian teknologi dari Eropa, menyelesaikan masalah sosial dan masa depan kaum millenial. Juga mengembangkan wisata agar Turki tetap menjadi pusat destinasi dunia. Menyelesaikan masalah keamanan kawasan.

Setelah kemenangan partainya, memang tugas terberat adalah mewujudkan janji-janji. Menepis mereka yang sinis bahwa Islam politik bisa menyelesaikan masalah negara. Menepis mereka yang tak percaya bahwa nasionalisme dan Islam bisa berdampingan dan saling menguatkan.

Saya masih mendengar lagu-lagu tenar di Turki dinyanyikan di Taksim, ketika WA saya berdering. Rupanya mamah menelepon dari Bandung.

"Assalamu alaikum. Teteh dimana?", cemas mamah tak bisa disembunyikan dalam nada suaranya.

"Waalaikumsalam. Ini lagi di Taksim mah, lihat demonstrasi".

"Aduh, jangan dekat-dekat atuh, Teh. Pulang ke rumah jangan malam ya. Jaga diri. Jauh dari orangtua, Teh" kata Mamah.

"Iya mah, ini sebentar lagi juga pulang kok. Mamah tenang aja. Sudah ya mah".

Di Bandung sana, Mamah mematikan telepon. Saya menghela napas. Mengeratkan kembali syal biru langit yang saya kenakan. Dan memasukkan tangan ke saku mengusir dingin.

Berjalan pelan, saya menjauh dari lapangan. Pulang ke rumah.

Pertarungan politik memang seperti itu. Ada yang selalu ingin merebut mimpi peradaban kita. Menghempaskan seluruh cita-cita kita. Menghancurkan apa yang sudah kita capai. Kadang, musuh pertama justru kawan kita sendiri. Ada kawan yang dulu bersama, tapi kemudian menentang kita karena ia tak percaya diri menapaki mimpi dan masa depan. Ada kawan yang dulu beriring bersama kita. Tapi kemudian memilih mengerdil dalam ruangan sempit karena trauma masa lalu yang susah ia hapus dari kepalanya.

Yang harus kita lakukan, terus berjalan. Membangun tempat ideal. Dimana semua orang bisa memberi sumbangan pada perjuangan. Mewujudkan sebuah rumah yang indah bagi semua orang.

"Kau punya kemenanganmu, kami punya sendiri. Meski di rumah kami hanya bisa terlihat yang tak kentara: misteri kami.

Kemenangan itu milik kami: tahta yang diusung dengan kaki-kaki lecet oleh jalanan yang mengarah ke setiap rumah tapi bukan rumah kami!

Jiwa harus mengenali diri sendiri dalam jiwanya, atau mati di sini".

Puisi yang indah karya Mahmoud Darwish berjudul "Kami Berjalan Menuju ke Sebuah Rumah" itu melayang-layang di kepala saya. Seperti mengingatkan tentang sesuatu.

Mahmoud Darwish sudah meninggal delapan tahun lalu. Ia lahir di al-Birwa. Sebuah tempat yang merupakan bagian dari Galilea. Salah satu tempat padat di Palestina. Kini tempat lahirnya sudah hancur. Lenyap. Di serbu tentara Israel. Menjauhi perang, Darwish hidup dalam pengasingan di Beirut dan Perancis. Ia lama berdiam di Paris. Seperti penduduk Palestina lainnya, ia juga membenci perang. Ia rindu kemerdekaan.

Mungkin kalau Darwis masih hidup dan menyaksikan bagaimana Erdogan membela Palestina sekarang, Darwis akan menangis dan menuliskan selembar puisi.

Saya berjalan menurun jalan yang landai menuju ke arah Selat Bosporus. Mencari trem menuju rumah.

Kapal di Selat itu melaju pelan, sedikit bergoyang. Seperti mengayun diantara kenangan masa lalu dan mimpi masa depan.

Anis dan kawan-kawannya tertawa. Ada kerjap bintang harapan di sudut matanya.

~5 Februari 2019~


Baca juga :