KH Thaifur Ali Wafa dan Pengetahuan Istikharah


KH Thaifur Ali Wafa dan Pengetahuan Istikharah

Oleh: Hambali Rasidi
(Magister Filsafat Islam di UIN Sunan Ampel, Surabaya)

Keputusan KH Thaifur Ali Wafa, sang Mursyid Tarekat asal Ambunten, Sumenep, Madura untuk mendukung Capres-Cawapres Prabowo Sandiaga di Pilpres 2019 perlu difahami lewat perspektif sufisme. Kenapa? Keputusan Kiai Thaifur berdasar petunjuk Allah Swt melalui sarana shalat istikharah. Petunjuk Allah Swt itu diketahui Kiai Thaifur melalui ayat Al-Qur’an, surat At-Taubah: 26.

(Baca: HASIL ISTIKHARAH KYAI SEPUH MADURA PILPRES 2019 DUKUNG PRABOWO-SANDI)

Dari sini kita bisa faham bagaimana tradisi sufisme yang berkembang di pesantren Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Wajar, jika para kiai pesantren dulu selalu menjadi jujukan masyarakat dalam hal apa saja. Karena masyarakat percaya bahwa para kiai pesantren itu memiliki pengetahuan basyirah (mata hati) yang tak dimiliki kebanyakan orang awam.

Kiai Thaifur merupakan putra bungsu KH Ali Wafa, Ambunten. Kiai Ali Wafa seorang mursyid tarekat yang tersohor karena sikap ‘alim dan zuhudnya. Kiai Ali Wafa seorang Mursyid Kamil Tarekat Naqsyabandiyah pertama di Sumenep. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat muktabarah, yang sanadnya hingga Rasulullah Saw.

Kiai Ali Wafa merupakan putra dari Kiai Muqawwa. Ibu Kiai Thaifur adalah Nyai Hj Nur Dinatul Ahdiyah, putri Kiai Imam dari Desa Karay, Ganding, Sumenep.

Selain menjadi mursyid tarekat, Kiai Thaifur juga populer sebagai penulis sejumlah kitab. Karyanya banyak dikaji di pesantren Timur Tengah dan Afrika. Salah satu kitab tafsir yang populer adalah, Firdaus an-Naim sebanyak 6 jilid.

Kiai Thaifur dikenal sosok ‘alim dan bersahaja. Keseharian beliau selalu jadi jujukan banyak orang karena dinilai memiliki ketajaman spiritual. Setiap keputusan yang diambil selalu berdasar isyarah ilahiyah.

Isyarah Ilahiyah merupakan petunjuk Allah swt yang hadir dalam berbagai bentuk. Dalam konteks Filsafat Islam ada istilah Epistemologi Islam. Sebuah metode pengetahuan yang diolah melalui metode Bayani, Burhani dan Irfani.

Epistemologi Islam tentu beda dengan Epistemologi Barat yang mencari pengetahuan lewat empirisme, rasionalisme, fenomenologi, intuisionisme, dialektis. Pengetahuan yang diperoleh lewat Epistemologi Barat dinilai oleh pemikir muslim hanya sebuah ilusi. Bukan kebenaran yang haq.

Epistemologi Islam lahir untuk memperoleh pengetahuan yang haq. Bukan pengetahuan yang berdasar empirisme dan olah rasio manusia. Dikatakan pengetahuan haq adalah pengetahuan yang bersumber dari petunjuk ilahi (isyarah Ilahiyah).

Sejarah hadirnya Epistemologi Islam berawal dari sang Imam Al-Ghazali yang gundah setelah Ahmad, adiknya, melihat darah saat Al-Ghazali jadi Imam Shalat. Kegundahan bathin Al-Ghazali dicurahkan lewat buku autobiografinya yang berjudul al-Munqidz min al-Dhalal (penyelamat dari kesesatan).

Isi al-Munqdiz telah melahirkan inspirasi yang menelorkan teori-teori pengetahuan dan diadopsi para intelektual Muslim dan pemikir Barat, beberapa ratus tahun sesudah zamannya. Seperti Filsuf Barat, Rene Descartes (1650 M), pencetus teori rasionalisme yang tanpa sadar mengekor pemikiran al-Ghazali di Bab I dalam kitab al-Munqidz. Di bab pertama itu, al-Ghazali mengaku tidak memiliki pengetahuan yang meyakinkan, kecuali pengetahuan hasil pengamatan inderawi dan olahan rasio.

Setelah kegundahan itu, Al-Ghazali mencari kebenaran hakiki melalui olah qalb, ruh dan as-sirr. Lewat karya Misykat al-Anwar (relung cahaya), al-Ghazali menjelaskan bagaimana pengetahuan yang haq beliau peroleh.

Dalam Misykat, al-Ghazali ingin menguraikan apa yang disebut sebagai filsafat cahaya. Al-Ghazali menjelaskan kebenaran sejati itu hanya di dapat dalam Nur Ilahi.

Menurut al-Ghazali, selain indera (mata), keberadaan benda-benda sangat ditentukan oleh cahaya. Tanpa cahaya, maka benda-benda itu tidak ada. Cahayalah yang menyebabkan semua penampakan terjadi. Cahayalah yang memanifestasikan benda-benda ada di sekitar kita.

Al-Ghazali seperti menawarkan metode kebuntuan para Filsuf Yunani dalam meraih kebenaran. Termasuk para Filsuf Barat modern yang juga mengalami kebuntuan soal objek kebenaran pengetahuan. Imanuel Kant lewat konsep numena atau das ding un sich (ada pada dirinya) juga tidak mampu menjangkau subjek. Subjek hanya melihat sebuah fenomena atau penampakan.

Edmund Husserl dan Martin Heidegger sekata menganjurkan penampakan eksistensial. Objek disuruh berbicara atas namanya sendiri. Padahal, jauh sebelum Filsuf modern itu lahir, al-Ghazali sudah merumuskan konsep cahaya. Penampakan objek pada subjek berwujud sebab unsur lain, yaitu cahaya. Seperti yang tertuang dalam al-Quran surat an Nur ayat 35 – 38.

“Allah (memberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar….”

Pemikiran Al-Ghazali yang wafat 1111 M, tentang pengetahuan nur ilahi sebagai sumber pengetahuan yang haq dijabarkan secara rinci oleh Syech Suhrawardi (w. 1197 M) dengan Filsafat Isyraqiyah (illumination). Buah pemikiran Syech Suhrawardi ini dikenal oleh kalangan pemikir Islam sebagai pencetus Epistemologi Islam. Beliau mensintesiskan pendekatan Burhani dan Irfani. Teori ini menegaskan bahwa Allah swt adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada, termasuk pengetahuan.

Pendekatan Burhani dan Irfani untuk meraih pengetahuan hakiki hanya bisa diperoleh lewat olah qalb, ruh dan as-sirr. Metode ini hanya ditemukan di dunia para salik (pejalan), sufisme.

Menurut Suhrawardi, tingkat intensitas penampakan cahaya tergantung pada tingkat kedekatan subjek dengan Cahaya Segala Cahaya (Nur al-Anwar) yang merupakan sumber segala cahaya. Semakin dekat subjek dengan sumber segala cahaya yang paling sempurna, berarti semakin sempurna cahaya tersebut, begitu pula sebaliknya.

Dalam Misykat al-Anwar, al-Ghazali melakukan metode tamsil (perumpamaan). “Wilayah cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument pengetahuan,” begitulah kaum Sufi mentamsil Nur Ilahi.

Bagaimana dengan cara memperoleh pengetahuan lewat shalat istikharah? Dalam Islam, memohon petunjuk Allah Swt bisa lewat shalat sunnah istikharah. Hasil dari shalat istikharah ini berupa gambaran sesuai kapasitas yang diperoleh. Metode Bayani hasil istikharah Kiai Taifur berupa teks ayat Al-Qur’an sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran lebih lanjut secara eksetorik bukan rasio.

Nah…di atas petunjuk Bayani ini, para ulama ada yang menggunakan metode Burhani dan Irfani. Sebuah metode olah qalb, ruh dan as-sirr. Hasil olahan itu beliau bisa terapkan any time dan where time. Pengetahuan atau petunjuk Allah swt tersebut datang tiba-tiba tanpa mengenal waktu dan tempat. Jika diibaratkan zam now, metode Burhani dan Irfani itu seperti aplikasi android. Layar sentuh..istilah populernya, dunia dalam genggaman.

Wallahu ‘alam.

Sumber: http://matamaduranews.com/kh-thaifur-ali-wafa-dan-pengetahuan-istikharah/

Baca juga :