NAMAKU KHABIB


[PORTAL-ISLAM.ID] Namaku Khabib Abdulmanapovich Nurmagomedov. Anak dari seorang veteran bernama Abdul Manap Nurmagomedov. Aku bukanlah orang Rusia seperti yang kalian kenal. Aku adalah Avars, generasi yang terlahir dari para pengembara di Kaukasus. 

Lalu Takdir menaruhku di tanah Dagestan, wilayah jalur sutra yang menjadi perebutan berbagai suku, kelompok, dan bangsa hingga rezim tanpa Tuhan.

Ya, revolusi komunis Bolshevik telah menancapkan kendalinya agar kami menjadi wilayah otonom Soviet di bawah naungan federasi Rusia. Pada akhirnya orang-orang Dagestan harus menerima bahwa wilayahnya adalah bagian dari Rusia bagian selatan.

Islam telah menjejak di tanah Dagestan sejak abad ke-5. Banyak ulama dan pejuang Islam yang dilahirkan di tanah ini. Salah satunya adalah Imam Shamil, pejuang kebanggaan kami yang gagah melawan kekaisaran Rusia bersama masyarakat Checnya di abad ke-19.

Wilayahku rentan terhadap berbagai konflik. Selain konflik yang terjadi antara Rusia dan Dagestan, konflik antar suku juga pernah terjadi. Berebut tentang “Siapa yang paling pribumi” diantara kami, meski pada akhirnya masyarakat kami kembali bersatu di bawah panji Islam.

Sejak dulu, labelisasi teroris pun kerap dilekatkan. Membuat para penguasa republik semena-mena menempatkan operasi anti teroris dimana-dimana.

Berpuluh bilangan sudah ketegangan terjadi. Rumah-rumah dibakar, senjata diletuskan, bom diledakkan, penduduk sipil dibunuh. Semua serangan itu hanya berdasar asumsi fiktif terorisme yang sesungguhnya sama sekali tidak ada di wilayah  kami.

Ibu-ibu kami tidak pernah melahirkan teroris dan penjahat ke Dagestan, tapi mereka terus menuduh tanah kami sebagai sarang para teroris.

Maka itu, semua ayah Dagestan mewajibkan anak lelakinya memperkuat diri dengan belajar pertarungan. Tentu saja, karena kami ingin melindungi keluarga, istri, anak, juga kampung halaman sendiri dari perebutan atau perundungan yang suatu saat mungkin menimpa kami.

Gulat dipilih sebagai olah raga favorit dan kebanggaan semua pemuda Avars. Sampai-sampai orang menamai bela diri itu sebagai produk ekspor tradisional Dagestan.

Aku ingat, saat kecil, ayah menghadirkan teman bermain untukku. Selain sepupuku, dia satu-satunya lawan gulat yang membuatku menjadi sangat kuat.

Seekor beruang. Ya seekor beruang cokelat.

Kau tak percaya?

Akupun pada awalnya demikian. Kufikir berbahaya sekali jika manusia kecil sepertiku harus bejibaku dengan makhluk berkuku tajam dan bergigi runcing seperti itu.

Lalu aku bertanya pada ayah lewat sorot mata ingin tahu, yang segera dijawabnya dengan ucapan penuh ketegasan.

“Mahluk itu bukan bonekamu. Dia datang untuk membuatmu semakin kuat.”

Aku ingin memprotes ayah, tapi kuurungkan. Sekalipun keraguan masih tersisa di hati. Bagaimana jika aku terluka, sedangkan umurku baru tujuh dan aku anak-anak yang bertenaga anak-anak.

“Nak, manusia itu punya ini dan ini.” Ayah menggerakan telunjuknya ke arah kepala lalu turun menunjuk bagian dada.

“Jangan hanya mengandalkan insting seperti hewan. Maka pakailah hati dan fikiranmu untuk membuatmu menang.” Ucapnya menegarkan.


Belakangan, aku mengakui keputusan ayah memang tepat. Setelah berbagai kemenangan teraih, aku merasakan jiwaku kian menguat, yakin, dan tak mudah goyah. Karakterku terasah tajam, keberanian semakin menebal, dan keraguan enyah sama sekali.

“Bukan karena kau meraih banyak medali dan gelar juara maka kau menjadi terhormat. Bela diri yang kau pelajari adalah benar-benar untuk membela dirimu dan kehormatanmu.”

Aku menyimak betul kata-kata ayah. Kelak jika kehormatanku terancam, maka kalimat yang ayah rajah di hatiku akan kutikamkan pada siapa saja yang berani melecehkannya.

***

“Siapa pegulat favoritmu?” tanya Ayah suatu ketika.

Dengan bangga aku menyodorkan selembar foto bersama seorang pegulat hebat dunia, asal Irlandia, “Mc Gregor.” Ucapku tersenyum tipis.

Rasa kagum itu tidak hanya kuberitahukan pada ayah, bahkan di lini masa Twitter, aku sengaja mengupload foto tersebut sebagai ungkapan keberuntungan bisa bersanding dengannya.

Hingga suatu ketika, setelah berbagai kemenangan bela diri kuraih; Sambo, Judo, Kickboxing, dan Gulat, Allah SWT memberiku kesempatan untuk benar-benar bersanding dengan Mc Gregor. Bukan sebatas bersanding sebagai fans dengan idolanya, tetapi rekan sparing dalam satu Ring.

Tentu saja bagiku itu mengejutkan.

Keraguan sempat menelikung hati, apakah aku bisa.

Sekalipun mengidolakan, namun ada satu hal yang kubenci dari lelaki bertato itu, yaitu mulut besarnya.

Benar saja! Saat tiba masa aku dijadwalkan bertanding dengan Gregor, semakin banyak ulah yang ditujukannya padaku dan seluruh tim.

Seminggu sebelum pertandingan, bus yang kami tumpangi diserang Gregor dan kawanannya. Batu berlesatan memecah kaca. Banyak yang terluka, hingga dua rekanku mengalami kritis.

Emosi? Jelas saja. Kami diancam, diteror, dilukai secara fisik. Ingin rasanya segera kubalaskan perangai buruknya lewat bogem keras tepat ke wajahnya yang sombong.

Namun saat semua terasa merisaukan, ayah menghubungiku. Menasihati agar tetap tenang dan fokus menghadapi pertandingan.

“Cukup bagimu Allah,” suara di sebrang sana terdengar melalui lubang-lubang kecil mikropon telepon kabel, sungguh terasa meneduhkan batin.

***

“Mau Wishky?”

Aku hampir tak mendengar riuhnya manusia yang menghadiri press confrence selain tawa bajingan yang membahana di depanku.

“Aku tidak minum.” Emosiku masih terkendali.

“Kamu tidak pernah merasakan bagaimana melayangnya menikmati minuman ini hai teroris terbelakang.”

Deg!

Julukan itu! Julukan yang kerap dilekatkan dengan daerah kelahiranku semasa aku tumbuh.

Hasbiyalllah.. Hasbiyallah. 

Aku memekik pertolongan sekuat mungkin pada Allah SWT dalam hati agar setan tidak mengerumuni telingaku dengan hasutan dendam yang membuatku bereaksi melawannya.

***

Pertandingan mengundang teriakan-teriakan manusia.

Semua orang menjagokan Gregor. Tak ada yang percaya, jika seorang pemuda dari daerah pegunungan sepertiku, bisa melumpuhkan sang "Notorious". Sang jagoan tak terkalahkan.

Pandangan sebelah mata dan mengecilkan tertangkap pengamatanku sepanjang aku berjalan memasuki arena pertandingan T-Mobile. Kucamkan dalam hati, "Kau bukan sekedar seorang pegulat! Kaulah The Eagle! Kau pemenang sesungguhnya!"

Dan Kun Fayakun.

Allah mendengar setiap bisikan doaku.

Aku merasa sangat kuat. Sampai-sampai berhasil melilitkan cekikan pada Gregor, yang membuatnya sengap, membungkam.

Wasit menghitung mundur. Hingga bilangan dua dia masih bergeming. Mengerucut menjadi satu, dan dia tetap diam.

Allahu Akbar aku menang!


Tapi sekali lagi, kemenanganku harus terpapar polusi caci maki, yang disemburkan dari mulut bajingan lain. Dillon Danish. Rekan Gregor yang terdengar meneriakan penghinaan pada ayahku, juga pada agamaku!

“Hai Teroris! Tikus Muslim!”

Dadaku menderu amarah. Kata-kata ayah tentang kehormatan, dan membela diri demi kehormatan berterbangan memutari isi kepala. Ini mungkin saat yang tepat!

Aku berbalik, menyalangkan mata ke arah tribun. Bergerak dengan hati diterbangi bola api liar yang ingin segera kulemparkan menuju suara penghina, dan..

Ring berhasil kulompati.

Braak!

Aku menendangnya, meninju mukanya, mencengkram mulutnya.

Semua manusia berteriak. Hanya saja teriakan kali ini berbeda, bukan teriakan semangat yang diserukan supporter untuk para jagoan. Tapi teriakan kaget dan kepanikan. Sisa-sisa penonton di barisan bangku depanpun berlari menghindar.

Apakah aku terpancing? TIDAK!

Bukan karena aku terpancing lalu aku melawan.

Bahkan, seperti yang kubilang, seminggu sebelum pertandingan pihak lawan melakukan hal yang lebih memuakan dan tercela; mengancam nyawa, melukai banyak kawan.

Tapi aku tak sudi mendengar agamaku dilecehkan. Aku tak terima ayahku dihina. Aku harus bertindak. Demi kehormatan. Demi harga diri seperti yang pernah ayah katakan. Agar tak ada bajingan-bajingan bermulut besar lainnya yang dengan semena-mena membusungkan dada dan menghina agamaku sekenyang lidah mereka.

Ampuni aku Allah.. Ampuni Aku Allah..

Semoga aku termasuk orang yang menolong agama Allah, sebagaimana aku percaya Allah pun akan selalu menolong dan meneguhkan kedudukanku di dunia. (QS Muhammad ayat 7)


Baca juga :