AKHIRNYA PRABOWO-PUN MENANGIS


AKHIRNYA PRABOWO-PUN MENANGIS

“Om, ada pasukan nasi bungkusnya gak?”

“Berapa gaji jadi pengurus atau simpatisannya, Om?”

Ya, aku hanya tertawa ngakak saja saat membaca pesan dalam grup whatsapp teman-teman penulis ini. Memang dunia politik di Indonesia sudah terlanjur berkesan dan dikesankan sebagai ladang menghambur-hamburkan atau mengorek-ngorek pendapatan. Atau lebih parahnya, akhir-akhir ini—ada sebuah partai yang sebagai wujud legal dari sebuah gerakan politik menjadi ajang jarahan uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri.

Tidak bisa memungkiri memang, seperti halnya sebuah perusahaan—partai politik juga butuh modal dana untuk pergerakannya. Setidaknya untuk biaya akte pendirian partai atau menyewa tempat untuk kantornya. Namun, apakah selalu uang yang menjadi tolak ukur keberhasilan gerakan seperti halnya sebuah korporasi?

Ada cerita menarik saat suatu kesempatan berbincang lagi dengan Prabowo Subianto. Waktu itu beliau bercerita betapa mahalnya dana yang harus dikucurkan untuk mengikuti konvensi capres sebuah partai. Untuk sekedar mengumpulkan peserta yang akan menyampaikan gagasannya, para undangan harus diberi uang transport, penginapan dan segala akomodasi.

Bayangkan berapa yang harus dikumpulkan untuk mengundang perwakilan anggota partai tersebut untuk perwakilan pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadyanya. Itu baru sekali pertemuan. Bagaimana jika puluhan atau ratusan kali dalam konvensinya?

“Ya jadi mendingan membuat partai sendiri, mas” jelas Prabowo.

Nah, kalau melihat hitung-hitungan matematis memang begitu lebih masuk akal. Namun ada kejadian yang menarik saat aku menerima undangan untuk mengikuti upacara detik-detik Proklamasi 17 Agustus ini di kantor DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Parta Gerindra.

Saat sebelum masuk ke area DPP, sempat mempir disalah satu warung untuk membeli minuman teh dalam botol. Saat itu aku berkenalan dengan salah satu peserta upacara juga, terlihat dari kemeja putih dan celana krem coklat yang menjadi dress code peserta upacara.

“Mas, dapat uang transport gak ikut ke upacara?” tanyanya mengejutkan.

“Enggak mas, hanya dapat undangan saja. Emang kenapa?” tanyaku keheranan.

“Hehehe, kirain kami saja.” Jawabnya sambil terkekeh.

Aku sempat kebingungan dengan arah pembicaraannya, namun usut demi usut. Ia pun bercerita bahwa di ranting kepengurusan partai tempatnya bergabung sudah bertahun-tahun tidak ada uang operasional untuk para pengurus. Hal yang kadang membuatnya bertanya-tanya, apakah semua pengurus juga begitu.

“Lah, kalau memang tidak digaji—kenapa juga tetap hadir ke upacara ini, bang?” tanyaku gantian penasaran.

“Soalnya saya pengen dengar pidato Prabowo langsung, mas. Jarang saya dapat kesempatan mewakili pengurus ke acara yang terbatas ini” jelasnya sambil tersenyum girang.

Jujur saja, saya sempat merasa — abang itu hanya sekedar menghibur diri saja. Namun ternyata su’udzon saya salah. Saya melihat dari kejauhan beliau begitu hikmat dan berdiri mendengarkan pidato Prabowo di mimbar saat usai upacara.

Bahkan sempat kuperhatikan, ia tidak sempat mengambil nasi begana yang disediakan panitia upacara untuk para undangan. Rencana nambah nasi pun kubatalkan, rasanya sungkan saja. Padahal sebenarnya, saat itu aku benar-benar lapar karena lupa sarapan.

Dalam kesempatan lain bertemu Prabowo di kediamannya di kaki Bukit Hambalang, sempat kutanyakan perihal gaji pengurus ini. Sempat terfikir ada korupsi dari DPP yang tidak membagikan uang operasional ke DPC atau turunannya.

“Oh, tidak. Tidak begitu, mas Srondol. Memang sudah tiga tahun ini DPP tidak mengucurkan dana ke bawah.” Jelas Prabowo lugas.

Aku hanya bisa melongo saja. Aku fikir, Partai Gerindra yang kini di Facebook sudah mencapai 9 juta anggota, lebih besar dari Democrats Party-nya Barack Obama serta dukungan 3,3 juta di pages FB Prabowo, besar karena dana dari Ketua Dewan Pembinannya yang assetnya trilyunan tersebut. Aset yang didapatkan dari bisnis eksplorasi ladang minyak di Kazakta, Yordania dan beberapa negara luar negeri lainnya.

Statistik yang boleh jadi, jika pemilu dilakukan secara virtual via Internet—partai ini langsung menjadi pemenangnya.

“Ada kejadian menarik saat kami ke Sumatera, Mas” kata Prabowo lagi.

“Apa itu, pak?” tanyaku penasaran.

“Saat itu kami berkunjung untuk bertemu para kader disana. Saat itu, lokasi yang sangat terpencil membuat kami pesimis akan peserta yang bakal hadir. Tapi ternyata tidak. Ramai sekali disana…” lanjut Prabowo menjelaskan.

“Trus, pak?”

“Ya saya tanya, ada yang dua jam perjalanan untuk kesini? Mereka menjawab ada. Hingga pertanyaan empat jam, delapan jam hingga empas belas jam”

“Ada gak, pak?” tanyaku penasaran.

“Ada, mas. Dan saya tidak bisa membendung airmata saya. Saya nangis, mas.” Jelasnya sambil berkaca-kaca.

“Bapak sempat speechless berberapa menit, mas. Pidatonya mundur. Hehehe…” sela salah satu staffnya sambil terkekeh.

“…..” aku hanya bisa terbengong saja.

“Lalu saya tanyakan kepada yang perjalanan daratnya paling lama itu. Kalian dapat ongkos darimana? E, mereka jawab kalau mereka diongkosin dari iuran pengurus dan simpatisan lainnya. Lalu saya tanya lagi, kenapa kalian mau jauh-jauh dan melelahkan hadir di acara ini?”

“Apa jawaban mereka, pak? Apa pak?” tanyaku mulai tidak sabar.

“Mereka bilang, mereka ingin mendengarkan pidato langsung dari saya. Mereka pengen tahu gagasan ini secara langsung, bukan fotokopian materi yang biasa mereka dapatkan dari pengurus” jelasnya

“Dan bapak nangis lagi, mas” sela staff nya yang paling muda ini sambil kembali terkekeh…

“Ya iyalah, mana juga bisa saya menahan haru” jawab Prabowo ke staffnya yang memang terkenal rada usil ini.

Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka. Kukira hanya pada zaman Bung Karno saja sebuah partai sampai iuran untuk bisa menghadirkan atau hadir untuk bertemu pemimpinnya ke daerahnya. Ya, hanya sekedar mendengarkan pidato dan gagasannya secara langsung tanpa melalui jembatan media baik televisi, radio, koran bahkan materi fotokopian.

Aku bisa membayangkan atmosfir apa yang terjadi di sana. Sebuah antusiasime tanpa iming-iming uang gaji. Sekaligus mulai berfikir dan menunggu hasil pemilu besok, apakah memang sebuah politik “gagasan” bisa mengalahkan politik “uang”?

Hal yang ujung-ujungnya pun harus menbuatku banyak-banyak bersyukur. Tidak seperti orang lain yang mesti susah payah dan iuran hanya untuk bertemu Prabowo, aku disini diberi kemudahan untuk bertemu. Paling hanya susah saat mesti blusukan menembus kawasan hutan Bukit Hambalang yang sempit,berkelok-kelok dan gelap itu.

Nah, sekarang - mari kita buktikan bahwa politik "gagasan" Prabowo mampu mengalahkan uang tanpa seri milik cukong. Indonesia milik kita bukan mereka, KITA - RAKYAT INDONESIA. Mari bersatu berjuang untuk indonesia lebih baik, tidak berat kok bergeraklah dibidang kita masing-masing atau setidaknya #SHARE #BAGIKAN artikel ini untuk memotivasi kawan kita seperjuangan lainnya. Salam Indonesia Raya!

(By Hazmi Srondol)


Baca juga :