Mengapa Jokowi dan Prabowo Sama-Sama Galau?


Oleh: Hersubeno Arief
(Jurnalis senior, konsultan media)

Pilpres kali ini barangkali bisa disebut sebagai pemilu paling aneh. Baik incumbent maupun para penantangnya sama-sama galau, tak cukup pede untuk maju.

Sebagai incumbent dan didukung banyak partai, Jokowi masih bingung dan galau harus memilih siapa yang menjadi pasangannya. Jokowi juga masih dengan seksama mengamati, dan harap-harap cemas, siapa yang akan jadi lawannya. Tetap Prabowo, atau muncul figur alternatif?

Jokowi pasti sangat menghendaki, bahkan bila perlu terus mendorong agar Prabowo yang maju menjadi penantangnya. Kalkulasinya lebih mudah, dan sudah terukur.

Saat Prabowo didukung koalisi yang sangat kuat dalam barisan Koalisi Merah Putih—Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PPP—pada Pilpres 2014 bisa dikalahkan, apalagi sekarang. Baru PKS yang confirm mendukung Prabowo. Jadi Jokowi pasti sangat pede.

Sebaliknya Prabowo sebagai penantang, juga masih bingung dan galau, mau maju atau tidak. Kalau harus maju, siapa pasangan yang bersedia digandengnya? Apakah ada donatur yang bersedia mensuportnya, menilik elektabilitasnya yang rendah, serta sejumlah persoalan lainnya.

Sejumlah nama yang disebut sebagai calon alternatif seperti Gatot Nurmantyo dan Anies Baswedan terkunci, belum ada kendaraan yang tersedia. Di luar poros Jokowi dan Prabowo tinggal Demokrat, PKB, dan PAN yang bisa membentuk poros baru. Itupun kata Ketua Umum PPP Romahurmuzy, dua diantaranya akan segera bergabung dengan Jokowi. Padahal bila mencermati sejumlah survei dan mood public yang menginginkan presiden baru, peluang mereka untuk mengalahkan Jokowi sangat besar.

Hasil survei, dan presidential threshold (20% kursi, 25% suara nasional) menjadi penyebabnya.

Sebagai incumbent, elektabiltas Jokowi tak beranjak naik. Angkanya berkisar antara 35-40%. Sudah menjadi semacam rumus baku, angka yang aman bagi seorang incumbent agar terpilih lagi, harus di atas 60%. Di bawah 50% sudah lampu kuning. Bila sampai menyentuh angka 30%, lampu merah akan menyala. Nah Jokowi berada diantara itu. Kuning mengarah merah.

Sebaliknya sebagai penantang Prabowo juga menghadapi kondisi yang sama, bahkan lebih parah. Elektabilitasnya stagnan dan cenderung turun. Hasil sigi yang dilansir berbagai lembaga survei menunjukkan elektabilitas Prabowo tertinggi hanya mencapai angka 25%.

Itulah sebabnya mengapa Hashim adik kandung Prabowo mengatakan keputusan maju tidaknya Prabowo tergantung tiga faktor. Gerindra memenangkan 17 Pilkada, kesehatan Prabowo, dan yang paling krusial soal logistik. Ketiga syarat itu tampaknya bakal sulit terpenuhi. Belakangan Prabowo malah menyebut-nyebut soal tersedianya tiket atau tidak?

Pernyataan Prabowo ini sungguh aneh, menyiratkan sedang terjadi dinamika di internal partner koalisi PKS. Partai dakwah itu mesin politiknya sangat diandalkan oleh Prabowo. Dalam Pilpres 2014, maupun sejumlah Pilkada, terutama Pilkada DKI 2017 yang mengantar pasangan Anies-Sandi menjadi gubernur DKI, Prabowo bisa menyaksikan bagaimana mesin politik PKS bekerja secara militan.

Masalahnya PKS saat ini sedang dilanda konflik internal, akibat pemecatan Fahri Hamzah dan penyingkiran sejumlah pengurus wilayah yang ditengarai menjadi pendukung mantan Presiden PKS Anis Matta.

Siapa yang akan menjadi tulang punggung mesin politik Prabowo, jika dia memutuskan untuk tetap maju? Dalam Pilpres 2014 figur Anis Matta dan Fahri Hamzah menjadi pemain kunci. Mereka telah menunjukkan kepiawaiannya dengan berhasil menguasai komposisi pimpinan MPR dan DPR, kendati kalah dalam Pilpres.

PKS mendapat posisi Wakil Ketua DPR yang ditempati oleh Fahri Hamzah dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid. Padahal dari sisi perolehan suara nasional, seharusnya PKS tak memperoleh jatah kursi pimpinan. Dari 10 partai yang berlaga, PKS berada di urutan ke-7.

Terancam ditinggalkan

Inilah sebuah anomali politik. Incumbent dan penantang sama-sama galau. Pemilih juga galau. Mereka bingung harus memilih siapa. Tidak mau lagi Jokowi sebagaimana tercermin dari gerakan #2019GantiPresiden, tapi juga tidak menginginkan Prabowo.

Biasanya bila seorang incumbent elektabilitas turun, maka yang mendapat keuntungan adalah sang penantang. Itu sudah menjadi semacam aksioma. Demikian pula sebaliknya. Pada kasus Jokowi dan Prabowo, dua-duanya tidak mendapatkan keuntungan apapun dari kelemahan lawan.

Situasi Jokowi diperparah oleh persepsi publik berkaitan dengan dua hal yang sangat fundamental, yakni kompetensi dan ideologi. Persepsi tentang kompetensi ini secara lugas terwakili dengan pernyataan Amien Rais, “ngibul.” Sebuah kata yang harus diakui, tak enak didengar.

Dari sisi ideologi terbangun sebuah persepsi yang sangat kuat bahwa Jokowi memusuhi umat Islam. Jokowi sebagaimana tercermin dari berbagai aktivitasnya, sudah mati-matian berusaha mendekati umat. Dia sangat aktif mengunjungi pesantren dan berbagai kantong umat seperti Jabar dan Jatim.

Belum lama berselang Jokowi juga mengundang sejumlah orang yang disebut sebagai ulama Jabar datang ke istana. Mereka sempat foto bersama di depan tangga Istana Merdeka seperti pose para menteri kabinet. Pola serupa tampaknya akan berlanjut dengan mengundang ulama dari berbagai daerah.

Dalam berbagai kegiatannya Jokowi bahkan sering melibatkan Ketua MUI yang juga Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin. Sebuah foto Jokowi dan Ma’ruf Amin berada dalam pesawat kepresidenan juga tersebar di medsos untuk menunjukkan kedekatan mereka.

Sejauh ini upaya tersebut tampaknya tidak terlalu berhasil. Siapapun yang mendekat ke Jokowi dipersepsi secara buruk oleh umat, dan terancam ditinggalkan. Contoh nyata dari sikap tersebut adalah diabaikannya seruan Ma’ruf Amin agar memaafkan Sukmawati.

Akibat kontroversi puisinya yang dinilai menghina umat Islam, Sukma menemui Ma’ruf Amin dan mencium tangannya, Kamis (5/4). Hanya berselang sehari kemudian, ribuan umat Islam dari berbagai daerah berunjukrasa ke Bareskrim Polri menuntut kasus hukum Sukma diteruskan. Mereka menggelar aksi setelah salat Jumat di masjid Istiqlal. Gelombang aksi ini akan terus berlanjut sampai Sukma diproses hukum.

Psikologi umat yang terluka ini akan menjadi dilema yang sangat berat bagi Jokowi. Kalau toh dia memutuskan untuk mengambil cawapres dari kalangan umat, katakanlah Habib Rizieq Shihab sekalipun, maka dia juga akan terancam diabaikan dan ditinggalkan.

Para politisi, petinggi partai mempunyai logika sendiri dalam memilih capres/cawapres, begitu pula halnya dengan rakyat pemilih yang seharusnya menjadi penentu. Bila hal itu diabaikan, sekalipun terbentuk sebuah pemerintahan baru, namun basis legitimasinya rendah. Sebuah pemerintahan tanpa mandat penuh dari rakyat. end

07/04/18

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/mengapa-jokowi-dan-prabowo-sama-sama-galau/

Baca juga :