Mendagri dan Kapolri Disebut 'Mengangkangi' Undang-Undang, Ini Alasannya


[PORTAL-ISLAM.ID]  Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian bisa dianggap mengangkangi undang-undang jika menempatkan perwira aktif Polri sebagai pelaksana tugas (Plt) gubernur.

Demikian disampaikan pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin, Sabtu20, 27 Januari 2018.

Dikatakan Said, undang-undang memang membuka ruang bagi anggota kepolisian dan TNI untuk menduduki jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) tetapi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN (UU ASN) membatasi jabatan mana saja yang boleh diisi oleh mereka.

"Jadi tidak semua jabatan ASN, seperti jabatan Administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi yang diperuntukkan bagi pegawai ASN bisa diisi oleh anggota Polri atau prajurit TNI. Ada ketentuan hukum yang mengaturnya," tegas dia.

Merujuk Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU ASN, dijelaskan Said, diatur bahwa anggota Polri atau prajurit TNI hanya diperbolehkan mengisi jabatan ASN tertentu, yakni jabatan yang ada pada
instansi pusat. Tidak termasuk jabatan pada instansi daerah.

"Apa itu instansi pusat? Instansi pusat adalah kementerian, lembaga nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. Pada pos-pos inilah anggota Polri dan prajurit TNI boleh ditempatkan," katanya.

Bahkan, kata dia, penempatan anggota polisi dan prajurit TNI pada instansi pusat tidak bisa dilakukan sesuka hati Mendagri. Ada asas kepatutan yang juga harus diperhatikan.

"Contoh, apakah tepat jika anggota Polri dan prajurit TNI ditempatkan di lembaga nonstruktural seperti di Sekretariat Jenderal KPU atau Bawaslu, misalnya? Itu kan saya kira juga kurang tepat," beber Said.

"Jadi kalau pada instansi pusat saja ada rambu-rambu etika yang harus diperhatikan oleh Mendagri, apalagi jika mereka ditempatkan pada instansi daerah yang ditutup pintunya oleh UU ASN," sambung dia.

Said juga mempersoalkan alasan pernah ada perwira TNI yang ditunjuk sebagai penjabat gubernur. Dia menekankan hal itu harus dilihat dulu kondisinya. Pertama, bisa saja status perwira itu sudah tidak aktif lagi alias sudah purnawirawan.

Atau, bisa saja dia masih berstatus sebagai perwira aktif, tetapi dia ditunjuk sebagai penjabat gubernur tidak langsung dari organ induknya di lembaga Polri/TNI, melainkan karena posisinya saat itu sudah ditempatkan di lingkungan Sekretariat Jenderal Kemendagri.

Karenanya Said dengan tegas menentang keras kebijakan Mendagri yang menunjuk dua pati Polri sebagai penjabat gubernur.

"Ini tidak bisa dibenarkan. Kalau dipaksakan, ini sama saja dengan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dalam format baru, sedangkan penghapusan dwi-fungsi Polri/TNI adalah amanat reformasi yang harus dipertahankan," demikian Said.

Penunjukkan dua pati Polri sebagai plt gubernur di Provinsi Jabar dan Sumut berkaitan dengan gubernur definitif yang akan cuti karena mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) 2018. Mendagri Tjahjo Kumulo sudah memutuskan dua nama pati yang akan ditugaskan tapi sampai saat ini masih menunggu keluarnya keputusan presiden.

Dua pati tersebut adalah Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal M. Iriawan dan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Martuani Sormin. Iriawan rencananya ditunjuk sebagai plt Gubernur Jabar menggantikan Ahmad Heryawan. Sedangkan Martuani bakal ditunjuk sebagai pelaksana tugas Gubernur Sumut menggantikan Tengku Erry Nuradi.
Baca juga :