Belajar dari Kasus Jo dan Ge: Lawakan yang Membawa Petaka


[PORTAL-ISLAM.ID]   Beberapa hari belakangan ini, lini masa media sosial para aktivis kembali dihebohkan dengan video aksi komika Stand Up Comedy yang diduga mengadung unsur SARA. Joshua dan Ge Pamungkas, dua komika sekaligus Actor Film Nasional ini sekarang resmi dilaporkan oleh Forum Umat Islam Bersatu ke Bareskrim Polri . Pasalnya, dalam panggung yang berbeda, dua komika ini membawakan materi lawakan yang dituding menyudutkan agama Islam.

Peristiwa semacam ini sebenarnya bukanlah yang pertama kali terjadi dalam dunia Stand up Comedy. Jauh sebelum kasus komika ini, di tahun 2004, komika yang mengatasnamakan dirinya Ustaz Ambia Dahlan sudah dinilai bermasalah. Saat itu ia menjadi peserta ajang Stand Up Comedy di sebuah stasiun TV swasta. Dirinya menyebut-nyebut soal shalat di panggung Stand Up Comedy.

Lalu pada tahun 2016, komika yang biasa dipanggil Uus juga dituding bermasalah karena menyinggung cewek-cewek berhijab yang menangis saat nonton konser Kpop. Bahkan bukan hanya terjadi sekali saja. Ia juga pernah dianggap melecehkan ulama saat kasus Habib Rizieq mencuat di media. Imbasnya, Uus diboikot tampil dari beberapa acara di stasiun TV.

Canda yang Mengundang Petaka

Dalam ajang Stand Up Comedy, para komika biasa membuat cerita-cerita bohong agar para penonton tertawa. Kritikan ataupun sindiran terhadap pihak-pihak tertentu biasa dilontarkan lewat materi-materi yang mereka sampaikan. Bahkan tak jarang jika sindiran tersebut sering berlebihan dan menyentuh nilai-nilai agama. Dalam Islam, mengarang cerita bohong agar penonton tertawa jelas tidak diperbolehkan. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berulangkali mengingatkan bahwa perilaku tersebut dapat mengundang petaka bagi pelakunya. Sabdanya:

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah orang yang berbicara kemudian dia berdusta agar suatu kaum tertawa karenanya. Kecelakaan untuknya. Kecelakaan untuknya.” (HR. Abu Daud no. 4990 dan Tirmidzi no. 2315)

Dalam hadis lain, Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يُضْحِكُ بِهَا جُلَسَاءَهُ يَهْوِى بِهَا مِنْ أَبَعْدِ مِنَ الثُّرَيَّا

“Sungguh ada orang yang mengucapkan suatu kata-kata agar teman-temannya tertawa namun kata-kata tersebut menyebabkan dia terjerumus (ke dalam neraka) lebih jauh dibandingkan dengan jarak ke bintang kejora,” (HR. Ahmad no 9209)

Dalil di atas erat kaitannya dengan lawakan yang mengandung unsur kebohongan. Lalu bagaimana jika lawakan yang dimaksud mengandung unsur pelecehan terhadap Islam?

Lawakan yang melecehkan nilai-nilai dalam syariat Islam jelas menimbulkan hukum yang lebih berat. Bahkan para ulama sepakat menghukumi kafir pelakunya, baik dilakukan secara sengaja ataupun tidak. Dalam hal ini, kisah gurauan orang-orang munafik ketika Perang Tabuk menjadi dalil kuat yang tak terbantahkan.

Diriwayatkan bahwa di tengah-tengah panasnya perjalanan Perang Tabuk, ada sebagian orang dalam rombongan tersebut yang saling menghibur di antara mereka dengan berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”

‘Auf bin Malik yang mendengar gurauan tersebut merasa risih lalu buru-buru melaporkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau tentang peristiwa itu. Kemudian orang yang bersenda gurau itu mendatangi beliau yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”

Ibnu Umar, salah seorang sahabat Nabi yang berada di dalam rombongan bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, ‘Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja,’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya dengan membacakan firman Allah;

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66). Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (Lihat Tafsir Ibnu Jarir At-Thobari, 14/333)

Imam Ibnu Jauzi berkata, “Ini menunjukkan bahwa sungguh-sungguh atau bermain-main dalam mengungkapkan kalimat kekufuran hukumnya adalah sama.” (Ibnu Jauzi, Zaadul Masiir, 3/465).

Lebih tegas daripada itu, Imam An-Nawawi menuliskan dalam kitab Raudhatuth Thalibin, “Seandainya seseorang berkata pada saat dia meneguk segelas khamar atau mendatangi perbuatan zina kemudian dia membaca Bismillah, guna merendahkan Allah maka dia telah kafir,” (An-Nawawi, Raudhatuth Thalibin, 10/67)

Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Perbuatan mengolok-ngolok Allah, Rasul-Nya dan ajaran Islam untuk membuat orang lain tertawa, walaupun hanya sekedar bercanda, merupakan kekufuran dan kemunafikan…. Sebab, materi tentang Rububiyah (ketuhanan), kerasulan, wahyu dan agama merupakan materi agama yang terhormat. Seorang pun tidak boleh bermain-main atau menjadikannya sebagai bahan ejekan untuk membuat orang lain tertawa. Barangsiapa berbuat demikian maka dia kafir disebabkan penghinaannya terhadap Allah, para rasul-Nya, kitab-Nya serta syariat-Nya. Karena itu, barangsiapa melakukan perbuatan tersebut, segeralah bertaubat kepada Allah. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin; 2/156-157)

Jawabnya, ‘Hadits ini bisa dipahami karena unsur dusta di dalam cerita humornya. Hal ini diperjelas oleh hadits, ‘Celakalah seseorang yang berbicara kepada orang lain, lalu berdusta sehingga orang lain tertawa’.’’

Hanya saja, lanjut beliau, terkadang seseorang boleh berbicarakan sesuatu dengan maksud agar orang lain tertawa. Di dalam Shahih Muslim, Umar bin Khattab mengatakan, ‘Aku akan bicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebuah kalimat yang bisa membuatnya tertawa.’ saya katakan kepadanya, ‘Ya Rasulullah, kalau kau lihat anak perempuan Zaid, istri Umar, meminta nafkah kepadaku, akan kupukul lehernya.’ Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam pun tertawa mendengarnya.” (Ibnul Jauzi, Akhbarul Hamqa wal Mughaffilin, Beirut, Darul Fikr, 1990 M/1410 H)

Dalam kitab Al-Azkar, Imam An-Nawawi memberi kriteria bagaiamana candaan yang dibolehkan, bahkan menurut beliau dalam kondisi tertentu bisa menjadi amal yang dianjurkan. Kata beliau, “Para ulama berkata, ‘candaan terlarang adalah candaan yang berlebihan dan dilakukan terus-menerus. Sebab, hal itu bisa menjadikan hati keras serta lalai dari zikir dan menyita perhatian dari perihal penting dalam agama. Dan candaan itu sendiri sering kali menyakiti perasaan orang lain, menimbulkan kebencian, dan menurunkan wibawa orang lain. Sementara candaan yang jauh dari sifat-sifat itu maka dibolehkan, yaitu seperti candaan yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau melakukannya sesekali untuk kemaslahatan dan menghibur hati lawan bicara. Candaan seperti ini tidak ada larangan sama sekali. Bahkan ia bisa menjadi sunah yang dianjurkan bila dilakukan sesuai sifat-sifat gurauan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,” (Al-Adzkar, Imam An-Nawawi, Darul fikr, Beirut, hal. 326-327).

Karena itu, para ulama menyimpulkan beberapa syarat yang perlu diperhatikan sebelum bercanda. Di antaranya Syaikh Al-Munajjid, sebagaimana dilansir dari islamqa.info menjelaskan bahwa dalam bercanda tidak boleh mengandung unsur pelecehan terhadap syariat, tidak boleh ada kebohongan, tidak dalam rangka menakut-nakuti atau menghina saudaranya yang lain, tidak boleh ada ghibah dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan.

Walhasil, candaan yang tidak melewati batas-batas norma yang telah ditetapkan jelas diperbolehkan. Asalkan tidak berlebihan atau mengandung unsur dusta atau melecehkan ajaran agama. Sementara guyonan sebagian komika dalam stand up comedy, jika benar terbukti mengandung pelecehan terhadap syariat, maka lebih tepatnya masuk dalam ranah hukum istihza’ (menghina agama islam). Dilakukan sengaja atau tidak, serius atau hanya sekedar begurau, semuanya dihukumi sama oleh para ulama, yaitu termasuk perbuatan kufur yang bisa menyebabkan pelakunya manjadi kafir. Wallahu a’lam bis shawab!

Baca juga :