Catatan Tajam Jurnalis Senior Tentang Perkawinan Putri Jokowi


[PORTAL-ISLAM.ID]  Sepintas lalu, “Royal Wedding” bisa dialihbahasakan menjadi “Perkawinan Royal”. Sesungguhnya tidak! Kedua kombinasi dua-kata ini sama sekali berbeda dalam makna. “Perkawinan Royal” bukan terjemahan dari “Royal Wedding”.

Di sejumlah negara Eropa, terutama di Inggris Raya, “Royal Wedding” adalah upacara dan acara perkawinan anggota keluarga kerajaan. Singkat kata, “royal” artinya “kerajaan” dan “wedding” artinya “perkawinan”. Perkawinan Kerajaan.

Di Indonesia, upacara dan acara yang mirip dengan “Royal Wedding” itu baru saja kita saksikan, yaitu prosesi perkawinan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu, dengan Bobby Nasution. Upacara dan acara pernikahan yang berlangsung di Solo itu bisa juga diberi sebutan yang memakai kata “royal”. Yaitu, “Perkawinan Royal”.

Hanya saja, kata “royal” di dalam “Perkawinan Royal” berbeda maknanya dengan kata “royal” di dalam “Royal Wedding”. Seperti dijelaskan di awal tadi, “Royal Wedding” adalah “perkawinan karajaan” atau “perkawinan keluarga kerajaan”.

Sedangkan kata “royal” di dalam “Perkawinan Royal” putri Presiden lebih cocok diartikan “perkawinan mewah”, atau “perkawinan banyak duit”. Pengertian “royal” di sini adalah “perbuatan membelanjakan uang secara berlebihan” sebagaimana didefinisikan oleh Kamus Umum Bahasa Indonesia (KBBI).

Kalau kata “royal” itu kita contohkan dalam berbagai ujaran, bisa menjadi seperti berikut ini. “Dia itu royal sekali hidupnya.” Atau, “Jangan terlalu royal membelanjakan uang.” Atau, “Walaupun dia kaya-raya, tetapi dia tidak royal.”

Mengapa pesta Kahiyang lebih pas dengan makna “royal” KBBI? Karena, antara lain, Pak Jokowi bukan dari “royal family” (keluarga kerajaan) seperti “royal family” di Inggris, Belgia, Belanda, Jepang, Jogjakarta atau, bahkan, di Solo sendiri. Kalau keluarga presiden bisa kita sepakati sebagai “royal family”, tentu upacara di Solo barusan boleh saja disebut “Royal Wedding”. Tetapi, sekali lagi, keluarga presiden tak mungkin disebut “royal family”.

Preside Jokowi boleh dikatakan sangat “royal” mengeluarkan uang untuk upacara dan acara pernikahan putri beliau. Dan memang begitu kenyataannya. Kalau ditanya apakah salah Presiden menghamburkan uang untuk perkawinan putri beliau, jawabannya “tidak” --dari sudut pandang tertentu. Itu hak beliau. Tidak masalah.

Kita hanya ingin menjelaskan bahwa ada “Royal Wedding” yang sangat berbeda dengan “Perkawinan Royal”. Yang pertama adalah prosesi perkawinan keluarga kerajaan, sedangkan yang kedua adalah prosesi perkawinan keluarga yang banyak duit. Itu saja!

Apakah ada aspek lain? Wallahu a’lam. Ada yang mempersoalkan “kemewahan” prosesi perkawinan itu. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, berpendapat seharusnya Presiden Jokowi melaksanakannya secara sederhana saja. Fahri menyebutkan adanya anjuran resmi pemerintah agar acara perkawinan anak-anak pejabat tidak berlebihan. Jokowi sudah menjawab kritik Fahri dengan mengatakan bahwa semua penyediaan jasa untuk perkawinan putrinya berasal dari kalangan sendiri, usaha (bisnis) keluarga Jokowi sendiri.

Poin yang menarik dari Fahri adalah bahwa Jokowi sejak awal menggagas “revolusi mental”. Poin ini sah-sah saja untuk diangkat mengingat anjuran revolusi ini termasuk mengubah mentalitas megalomania. Sekali lagi, wallahu a’lam.

Hanya dua hal yang menarik perhatian saya. Pertama, pengerahan satuan keamanan yang jumlahnya, konon, mencapai lebih 3,500 personel (polisi dan tentara). Yang kedua, pengerahan relawan Jokowi dari seluruh Indonesia yang jumlahnya cukup banyak juga, sekitar 6,000 orang. Mereka diundang datang ke Solo. Kalau kedua hal ini mau dijawab dengan “logika”, tentu bisa saja.

Jokowi menyatakan “kekagetan” terhadap jumlah yang hadir; mereka datang melalui “perjuangan berat” untuk sampai ke Solo. Tetapi kemudian, ada agenda konsolidasi nasional para relawan itu. Bagaikan sudah dipersiapkan. Artinya, tak harus “kaget”.

Para relawan itu kemudian mendapatkan pengarahan dari Menko Kemaritiman Luhut B Pandjaitan (LBP) di Asrama Haji, Solo. Pak LBP menguraikan prestasi Presiden Jokowi. Ada terasa suasana politis di celah-celah kegiatan Perkawinan Royal ini.

“Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampau,” kata pepatah. “Sambil menyelam, minum air.”

Penulis: Asyari Usman (Ex Wartawan BBC)
Baca juga :