KPK Menyerah Sebelum Perang


[PORTAL-ISLAM.ID]  KPK menolak memenuhi undangan Pansus Angket DPR. Pimpinan komisi antirasuah itu beralasan masih menunggu putusan judicial review terkait keabsahan hak angket yang kini masih berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK). KPK nyerah sebelum perang?

Kepastian itu disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo.

"Kami kan masih nunggu (putusan) MK. Apakah pansus itu sah atau tidak, kita tunggu MK," ujar Agus di Jakarta, kemarin.

Senada, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut, datang tidaknya mereka memenuhi undangan Pansus Angket DPR tergantung putusan MK.

"Kami sedang menggugat di MK. Kami tunggu kalau seandainya judicial review itu mengatakan kami harus hadir, kami hadir. Kalau nggak ya nggak," kata dia.

Syarif berharap hakim MK mengabulkan gugatan itu.

"Kami berharap bahwa apa-apa yang disampaikan oleh yang pemohon judicial review bisa dipertimbangkan dengan baik oleh hakim-hakim di MK dan berharap bahwa putusannya seperti yang dimintakan," tuturnya.

Diketahui, KPK mengajukan gugatan judicial review terkait keabsahan Pansus Angket DPR. Mereka menggugat ketentuan terkait kewenangan hak angket DPR yang tercantum pada Pasal 79 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Penggunaan hak angket tidak tepat jika ditujukan terhadap KPK. Sebab, KPK merupakan lembaga negara, bukan bagian dari pemerintah. Rabu (2/8), perkara Nomor 40/PUU-XV/2017 itu memasuki agenda pemeriksaan pendahuluan.

Terpisah, Jubir KPK Febri Diansyah meminta pansus tak "masuk" dalam perkara e-KTP yang tengah disidik komisi antirasuah itu.

"Jika pansus masuk pada materi perkara yang sedang berjalan, dalam hal ini kasus e-KTP, tentu wajar kita bertanya, apakah hal tersebut tidak bisa disebut mencampuri proses hukum?" seloroh Febri.

Apalagi, lanjut Febri, Pengadilan Tipikor Jakarta telah memvonis Irman dan Sugiharto serta menyatakan kasus ini merugikan keuangan negara yang sangat besar.

 "Saat ini KPK sudah menetapkan dua orang tersangka baru lagi dari unsur DPR, yaitu SN (Setya Novanto) dan MN (Markus Nari)," ujar Febri.

Soal tudingan bahwa Agus Rahardjo terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun dari proyek senilai Rp 5,9 triliun ini, Febri kembali menegaskan, itu sudah jelas. Menurutnya, ketika Agus menjabat Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), lembaga tersebut merekomendasikan agar proses pengadaan proyek e-KTP itu tak dilakukan seperti saat ini, yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. "Tapi saat itu Kemendagri tidak mengikuti saran tersebut," imbuh Febri.

Untuk diketahui, dalam kasus e-KTP telah menetapkan lima orang tersangka. Dari lima tersangka itu dua di antaranya, yakni Irman dan Sugiharto sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sedangkan 3 orang tersangka lainnya, yakni pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Ketua DPR Setya Novanto dan legislator Golkar Markus Nari masih di tahap penyidikan. Selain tersangka di atas, kasus e-KTP juga menjerat Miryam S Haryani karena memberikan keterangan bohong atau palsu di persidangan perkara Irman dan Sugiharto.

Ketua Pansus Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan, mereka sudah menjalankan mekanisme transparasi melalui rapat-rapat yang dilakukan secara terbuka dan dialog yang dilakukan di ruang Media Center DPR, Gedung Nusatara III, kemarin.

"Pansus Angket KPK tidak akan menutupi segala sesuatu, hal yang akan kita kerjakan yang sifatnya terbuka pasti kita beritahukan," ungkap Agun. Dia berharap KPK bisa terbuka, saling menghargai, saling menghormati kewenangan lembaga masing-masing.

"Jangan dilandasi itikad niat buruk untuk melemahkan atau menghancurkan," tandasnya.

Wakil Ketua Pansus KPK Masinton Pasaribu meminta KPK tidak anti kritik. Menurutnya, Pansus Angket KPK adalah kotak pandora untuk mengkritisi kinerja KPK tersebut.

"Jadi, fase membela KPK sudah cukup, dan kini saatnya mengkritisi. Termasuk melalui pansus angket KPK," ujar Masinton dalam diskusi "Pansus KPK dan Pemberantasan Korupsi" di Gedung DPR RI, Senayan, kemarin.

Masinton menilai kinerja KPK sudah mulai tidak sesuai dengan penegakan hukum itu sendiri. Misalnya menjadikan Nazaruddin sebagai sumber berita. KPK disebut "menyetir" Nazar sehingga apa saja yang diinginkan KPK bisa diomongkannya. Dia mencontohkan, dari 125 kasus Nazar yang bernilai Rp 7,7 triliun, hanya 5 kasus yang ditindaklanjuti, senilai Rp 200 miliar. Aset yang disita pun tidak semua dikembalikan kepada negara. Justru, polisi yang mengamankan aset negara Rp 2,2 triliun. Sementara kejaksaan Rp 700 miliar.

Selain itu, saksi yang dihadirkan di Tipikor sudah diatur oleh KPK. Anehnya, setelah mereka memberikan kesaksian, keterangan yang diambil oleh KPK malah keterangannya Nazaruddin. "Nazar ada di ruang penyidik yang siap memberikan keterangan pada hakim Tipikor. Namun, pansus dituding macam-macam, melemahkan KPK, tak proporsional, terkait kasus e-KTP dan lain-lain. Padahal, itu cerita lama dan pansus komitmen untuk penguatan KPK," ujar politikus PDIP ini.

Baca juga :