Pasal "PERSEKUSI" dan "UJARAN KEBENCIAN", Kenapa UMAT Selalu Yang Harus SALAH


[KASUS 1]
Si A menghina agama dan menghina ulama di ruang publik (media sosial termasuk ruang publik). Dilihat dan dibaca oleh si B (muslim). Si B tentunya marah.

Si B kemudian menegur si A. Memperingatkan dan juga meminta agar si A meminta maaf. Kalau tidak akan dilaporkan ke polisi. Suruh hapus postingan kalau tidak akan didatangi.

Si A bukannya minta maaf dan hapus postingan, malah nantang, ayo laporkan ke polisi, juga siap ladeni di rumahnya.

Si B yang mendatangi si A membela agamanya kemudian ditangkap aparat dan digoreng media dengan pasal persekusi (pemburuan seseorang).

Sedangkan, Si A yang telah menghina dilindungi dengan alasan Toleransi dan Kebebasan Berpendapat. Si A tidak dikenakan pasal Ujaran Kebencian (UU ITE).

[KASUS 2]

Tapi giliran sebaliknya. Jika yang melakukan penghinaan tersebut adalah si B, maka si B pun juga ditangkap dengan UU ITE pasal Ujaran Kebencian (Hate Speech) dan juga dicap melakukan tindakan intoleran. Bahkan kalau perlu, ditimpakan pasal makar dan tindakan terorisme.

Kita tahu sendiri alasan mengapa si A selalu dibenarkan dan si B selalu disalahkan, bukan? Kita juga tahu penggunaan Pasal Persekusi dan UU ITE pun hanya untuk siapa, bukan? Kemana Iwan Bopeng? Dimana si Nathan? Mana Steven #Tiko? Sudah ditangkap???

Ini mengingkatkan apa yang disampaikan Cak Nun, pokoknya "Islam Yang Harus Salah".

"KALAU ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Kemenag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas.

Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam – harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya." 


Baca juga :