Dibalik Pemutusan Hubungan Diplomatik Qatar


Oleh Ahmad Dzakirin
(Pengamat Timteng)

Pemutusan hubungan diplomatik poros Riyadh, Abu Dhabi dan Kairo atas Qatar adalah upaya terkonsertasi (concerted effort) untuk untuk menghentikan independensi politik Dhoha dengan momentum kunjungan Trump, presiden AS pembenci Islam.

Diawali pidato Trump yang menyebut Hamas sebagai kelompok teroris dan menyamakannya dengan Daesh (ISIS), tidak peduli sekuat apapun organisasi ini menegaskan dirinya sebagai kelompok perlawanan legitimate dan menyesuaikan dengan standar internasional.

Tiga hari kemudian beredar berita hoax tentang Emir Qatar yang dikabarkan mengkritik kebijakan AS dan negara Teluk, sekalipun seberapa kuat klarifikasi Dhoha bahwa situs berita mereka telah diretas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Tampaknya, it's just the game that has been set. Ini bukan tentang siapa yang sebenarnya teroris dan bersalah dalam konflik di Timur Tengah, tapi kembali lagi, lebih sebagai upaya terkonsertasi triumvirat Arab untuk menghukum Qatar karena membela Ikhwanul Muslimin yang dizalimi serta Hamas dan rakyat Palestina yang tertindas.

Arab Saudi mengalami problem domestik dan regional karena perang Yaman dan dukungan Iran atas Houthi. Mesir menghadapi problem keamanan dan kondisi ekonomi yang parah. UEA mengalami problem serupa karena kecenderungan protracted war (karakter konflik yang sulit dimenangkannya), apalagi untuk sebuah negeri dimana jumlah ekspatriat lebih banyak ketimbang warga negaranya.

Diatas semua kesialan itu, mereka membutuhkan kambing hitam atas kegagalan politik luar negeri mereka untuk meredam kegelisahan domestik. Dan kambing hitam itu adalah Qatar.

Dalam banyak hal, opsi politik luar negeri negara-negara Arab dan Teluk selama ini lebih banyak sebagai bencana ketimbang pasifikasi dan resolusi. Kepentingan tribal lebih mengemuka ketimbang persatuan Arab, apalagi solidaritas agama.


Baca juga :