[MEMBONGKAR Jebakan Batman KOMPAS] Drama "INTOLERANSI PEMILIHAN KETUA OSIS"


[PORTAL-ISLAM]  Pasca kekalahan Ahok diumumkan secara resmi oleh KPU DKI Jakarta Sabtu, 29 April 2017, berbagai isu negatif semakin gencar dijalankan para pendukung Ahok untuk menggerus kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Anies Baswedan yang bahkan belum dilantik.

Beberapa yang paling keji adalah tudingan soal pembakaran karangan bunga oleh oknum serikat buruh hingga yang paling akhir, drama intoleransi pemilihan ketua OSIS yang dibingkai oleh Kompas.

Di awal rilisnya, framing jahat Kompas ini diberi judul, "Intoleransi di Sekolah, Siswa Tolak Ketua OSIS yang Beda Agama".

Judul ini sekilas terlihat biasa saja. Penggunaan kata 'intoleransi' dan 'beda agama' lah yang menjadi elemen penting dalam menjual dan menggoreng berita ini.

Di tengah maraknya isu intoleransi yang selalu ditudingkan ke umat muslim, penambahan 'beda agama' seolah menjadi bumbu penyedap yang langsung membakar pembaca, terutama dari kalangan pendukung Ahok yang kerap kali enggan membaca isi berita, hanya mengomentari judul sembari memaki-maki.

Ingin buktinya?






Memasuki isi berita, kalimat pertama pada paragraf pertama langsung sudah merupakan upaya menggiring opini pembaca.

Dari sekian banyak isu krusial termasuk reklamasi, isu moralitas tentang penutupan Alexis dan penjualan saham di perusahaan bir, Kompas memilih isu agama -yang dalam kenyataan di pilkada kemarin sibuk ditiupkan pihak Ahok- sembari menyebarkan ketakutan akan terulangnya peristiwa 98 -sebuah chaos yang tidak terbukti berkaitan dengan agama ataupun ras tertentu- di Jakarta.

Isu agama yang diangkat dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta dikhawatirkan guru dan orangtua bisa berdampak kepada para siswa. Mereka tidak ingin perpecahan yang terjadi saat tahun 1998 kembali terulang.

Memasuki paragraf kedua, pembaca disodori hasil penelitian Kemendikbud -yang tidak jelas tanggal dan waktu penelitian, siapa subjek dan objek penelitiannya, dan di mana lokasi penelitiannya. Sebuah upaya framing yang sangat berbahaya!

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kemendikbud, ada potensi intoleransi terjadi di sekolah karena ada 8,2 persen yang menolak Ketua OSIS dengan agama yang berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen yang merasa nyaman dipimpin oleh seseorang yang satu agama.

Memasuki paragraf ketiga, barulah fakta -yang sesungguhnya selama ini terjadi di masyarakat- dipaparkan.

Meski demikian, mayoritas masih menjunjung tinggi nilai toleransi dengan menghargai adanya perbedaan agama maupun etnis di lingkungan sekolah.

Berikut pernyataan Henny Supolo Sitepu, salah satu pendiri Sekolah Al Izhar, Pondok Labu yang juga tercatat sebagai pendukung Ahok pada pilkada DKI Jakarta 2017.

"Pilkada DKI Jakarta ini, satu momentum, yang imbasnya ke mana-mana," kata Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo dalam sebuah diskusi peringatan Hari Pendidikan Nasional yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di Jakarta, Selasa 2 Mei 2017.  

Pada bagian berikutnya, Henny mengungkap, lagi-lagi sebuah opini, tentang "beberapa" korban peristiwa 98 yang berdomisili di Bandung, tanpa merasa perlu merinci detil mengenai para "korban 98" tersebut.

Henny mengatakan, beberapa pekan lalu ia sempat berkunjung ke sebuah agenda dengan guru-guru dan orangtua murid di Bandung. Di sana, kata Henny, beberapa orangtua mengatakan kondisi politik hampir serupa dengan kejadian tahun 1998.

"Mereka terbuka mengatakan bahwa mereka korban '98. Mereka bilang bisa melewati itu semua, tetapi tidak bisa membayangkan bagaimana dengan anak-anaknya," kata Henny.

Politik praktis tidak secara langsung mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Namun, lanjut Henny, hal itu berdampak terhadap kemerdekaan berpikir anak-anak.

Berikutnya, terungkap bahwa penelitian mengenai "intoleransi di sekolah saat memilih ketua OSIS yang beda agama" ternyata berdasarkan penelitian Kemendikbud di -HANYA- dua kota, yaitu Singkawang dan Salatiga, tanpa merinci nama-nama sekolah.

Henny juga menyampaikan, beberapa waktu lalu ia mendapatkan laporan penelitian dari Kemendikbud di sekolah-sekolah di Singkawang dan Salatiga mengenai toleransi, kesetaraan dan kerja sama.

"Ada keengganan anak dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama," kata Henny.

Hasil penelitian Kemendikbud

Pernyataan Henny soal potret intoleransi seperti itu berkaca pada hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengambangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 
pada bulan Juli-September 2016.

Penelitian mengambil sampel di dua sekolah di Singkawang dan dua sekolah di Salatiga. Total responden yang dilibatkan mencapai 160 orang yang terdiri dari siswa, guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, hingga akademisi.

Pada 6 paragraf di bawah inilah FAKTA SESUNGGUHNYA terpapar.

Penelitian dilakukan secara kualitatif melalui teknik pengumpulan data berupa wawancara, pengisian kuesioner, observasi, dan focus group discussion(FGD).

Hasilnya, mayoritas lingkungan pendidikan di kedua wilayah itu cukup toleran terhadap perbedaan.

Hal ini ditunjukan pada jawaban atas pertanyaan seperti memberikan ucapan selamat hari raya kepada teman sekolah yang berbeda agama. Sebanyak 57,5 persen sangat setuju; 30,6 persen setuju; 10 persen ragu-ragu; 1,3 persen tidak setuju; dan 0,6 persen sangat tidak setuju.

Pertanyaan lainnya seperti OSIS sebaiknya diketuai siswa dari agama mayoritas, sebagian besar menjawab tidak setuju. Rinciannya, 36,3 persen sangat tidak setuju; 42,5 persen tidak setuju; 13,1 persen ragu-ragu; 6,3 persen setuju; 1,9 persen sangat setuju.

Selain itu, pertanyaan seperti kenyamanan dipimpin oleh seseorang dengan agama yang sama dijawab tidak setuju oleh mayoritas responden. Rinciannya yakni 16,8 persen sangat tidak setuju dan 34,8 persen tidak setuju. Sementara 19,3 persen setuju dan 3,7 persen sangat tidak setuju. Sebanyak 25,5 persen mengaku ragu-ragu.


Ada tujuh pertanyaan yang ditanyakan kepada responden terkait dengan nilai kebinekaan yang mereka anut. Hasilnya, memang menunjukkan masyarakat di Singkawang dan Salatiga cukup toleran.

Berikutnya, setelah FAKTA NYATA dipaparkan, tulisan ditutup dengan framing negatif lagi.

Namun, penelitian ini memotret masih adanya benih-benih intoleransi di lingkungan pendidikan yang perlu diatasi dengan pendidikan kebinekaan.

Benih-benih intoleransi itu tampak pada masih adanya siswa maupun guru yang menganggap Ketua OSIS harus dari agama mayoritas, pemimpin harus yang seagama, memilih teman yang seagama atau pun satu etnis, hingga tidak mengucapkan selamat hari raya kepada orang yang berbeda agama.

Penelitian itu mengungkapkan benih intoleransi ini muncul karena berbagai faktor seperti tingkat pemahaman akan nilai kebangsaan yang sempit di sekolah, penanaman nilai agama yang eksklusif, hingga faktor keluarga yang masih kuat ikatan primordialnya.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini sudah diperbarui dengan menambah data dari Kemendikbud soal potret keberagaman di tingkat sekolah. Penyajian data ini dimaksudkan agar pembaca mendapat gambaran yang lebih menyeluruh.

Judul berita ini juga diubah dari yang sebelumnya "Intoleransi terjadi di Sekolah, Siswa Tolak Ketua OSIS Beda Agama" menjadi "Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah"

-------

Mencoba memotret dari sisi lain, kami menghubungi beberapa siswa di sekolah non muslim.

Pernahkah ada ketua OSIS muslim di sekolah Anda?

"Selama 3 tahun saya sekolah, nggak pernah ada. Pengurus OSIS yang muslim, ada. Kalau ketua biasanya katolik atau kristen." (Paramita, SMP Paskalis Jakarta).

"Nggaklah.. siswa muslim aja nggak ada di sekolah saya." (Dennis, SMA Kristen Jakarta).

"Nggak pernah ada. Semuanya katolik." (Agung, SMP Tarakanita Jakarta).

"Belum pernah ada ketua OSIS muslim di sekolah saya." (Hans, SMP Fransiskus Jakarta).

"Masih selalu dipimpin ketua OSIS katolik/kristen" (Alex, SMP Marsudirini Jakarta).

"Nggak keberatan dipimpin muslim, cuma waktu sekolah memang ketua OSISnya katolik. Nggak masalah juga sih." (Hani, SMA Santa Ursula Jakarta).

Mereka bersepakat, memilih keta OSIS yang non muslim bukan merupakan masalah karena mereka bersekolah di sekolah non muslim.

Fakta bahwa siswa non muslim memilih Ketua OSIS non muslim di sekolah non muslim, tidak pernah diuarkan sebagai bentuk intoleransi oleh umat Islam.

Pun misalnya, pesantren menolak siswa non muslim, maka hal tersebut sama lumrahnya dengan sebuah seminari yang menolak siswa muslim masuk ke dalamnya.

Membuat opini intoleransi tanpa merinci siapa pelaku dan di mana peristiwa intoleransi tersebut terjadi, sungguh merupakan framing KEJI.

Apalagi jika framing itu dikaitkan dengan Pilkada. Kompas mungkin perlu move on..

Berikut tanggapan beberapa netizen terhadap framing Kompas.




Baca juga :