Mengapa Politik Sekuler Menang di Dunia?
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Hiruk pikuk beberapa pemilu legislatif di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menyisakan satu pertanyaan: ”Mengapa partai-partai berasas Islam suaranya lebih sedikit dibanding partai-partai yang tidak berasas Islam? Ada yang bertanya: ”Mengapa partai Islam kalah? Mengapa partai sekuler menang dan lebih diminati masyarakat Indonesia?
Mengapa itu terjadi? Terlepas dari pro-kontra soal mekanisme pemilu itu sendiri, kita perlu memahami, bahwa saat ini umat Islam – sebagaimana umat manusia lainnya di seluruh dunia – hidup dalam satu dunia yang dihegemoni oleh peradaban Barat yang mengusung nilai-nilai liberal sekular. Peradaban Barat adalah peradaban materialisme yang mengagungkan empat hal, yaitu: kekayaan (wealth), kekuasaan (power), kecantikan (beauty) dan popularitas (popularity). Empat hal itulah yang ’didewakan’.
Di dunia semacam itu, faktor kuasa, kecantikan, dan popularitas sangat penting untuk meraih kuasa. Kolaborasi artis-pejabat-penguasa semakin sering kita lihat. Bahkan, kita melihat, bagaimana kuatnya hegemoni artis dalam kehidupan masyarakat. Siapa yang mempunyai kecantikan, menjadi modal penting untuk meraih popularitas dan juga kekayaan dan kekuasaan.
Peradaban semacam ini memang tidak menjadikan iman dan akhlak sebagai nilai acuan. Baik buruk dan martabat seseorang tidak lagi ditentukan oleh ketinggian akhlaknya, tetapi oleh kekayaan, kekuasaan, kecantikan, dan popularitasnya.
Karena itulah, bagi politisi-politisi Muslim tentu saja tidak mudah bersaing dengan orang-orang yang sudah popular. Jadilah politisi Muslim tergantung kepada yang lain, sehingga untuk mengajukan calon presiden sendiri saja kurang percaya diri.
Karena melihat politik sebagai sekedar alat untuk meraih kekuasaan, maka politik semacam itu bisa menghalalkan segala cara. Yang penting dapat kuasa atau mempertahankan kuasa. Tidak peduli apakah kuasa itu didapat dengan cara yang baik atau tidak. Inilah yang disebut politik sekular, yakni politik yang sama sekali membuang pertimbangan aspek ilahiyah dan ukhrawiyah.
Itulah politik bebas nilai. Politik sekular. Secara sistematis, politik sekular ini diteorikan oleh Niccolo Machiavelli. Politik dibebaskan dari nilai-nilai moral dan agama. Dalam sejarah pemikiran politik, nama Machiavelli memang monumental. Oleh para pemikir di Barat kemudian, karya Machiaveli, The Prince, dianggap memiliki nilai yang tinggi yang memiliki pengaruh besar dalam social politik umat manusia. Sebuah buku berjudul “World Masterpieces” yang diterbitkan oleh WW Norton&Company, New York, tahun 1974 (cetakan kelima) menempatkan karya Machiaveli ini sebagai salah satu karya besar dalam sejarah umat manusia yang muncul di zaman renaissance.
Perjalanan hidup Machiavelli sendiri cukup menyedihkan. Ia pernah ditahan dan disiksa. Ia dituduh melawan pemerintah Italia sekitar tahun 1495. Ia menulis The Prince pada umur 44 tahun, dan baru dipublikasikan tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya. Machiavelli dianggap sebagai salah satu pemikir yang mengajak penguasa untuk berpikir praktis demi mempertahankan kekuasaannya, dan melepaskan nilai-nilai moral yang justru dapat menjatuhkan kekuasannya. Karena itu, banyak yang memberikan predikat sebagai “amoral”. Tujuan utama dari suatu pemerintahan adalah “survival” (mempertahankan kekuasaan).
Politik semacam itu melampaui nilai-nilai moral keagamaan. Dengan membuang faktor “baik dan buruk” dalam kancah politik, Machiavelli membuat saran, bahwa seorang penguasa boleh menggunakan cara apa saja untuk menyelamatkan negara. Penguasa-penguasa yang sukses, kata dia, selalu bertentangan dengan pertimbangan moral dan keagamaan.
Maka, kata Machiavelli lagi, “Jika situasi menjamin, penguasa dapat melanggar perjanjian dengan negara lain, dan melakukan kekejaman dan teror. Ditulis dalam The Prince: “It is necessary for a prince, who wishes to maintain himself, to learn how not to be good, and to use this knowledge or not use it, according to the necessity of the case.” Yang terpenting dari pemikiran Machiavelli, adalah ia telah mengangkat persoalan politik dari aspek moral dan ketuhanan.
Sejarawan Marvin Perry, mencatat dalam bukunya, Western Civilization: A Brief History, (New York: Houghton Mifflin Company, 1997), bahwa nilai penting dari pemikiran Machiaveli adalah usahanya melepaskan pemikiran politik dari kerangka agama dan meletakkan politik semata-mata urusan ilmuwan politik. “In secularizing and rationalizing political philosophy, he initiated a trend of thought that we recognized as distinctly modern,” tulis Perry. Jadi, sumbangan terbesar Machiavelli adalah menghilangkan faktor agama dalam politik, dengan memandang masalah politik dan negara, semata-mata sebagai faktor saintifik yang rasional. Inilah yang dipandang sebagai politik modern.
Politik sekular ala Machiavelli itu tentulah tidak sesuai dengan Islam. Islam memandang semua aktivitas manusia, termasuk politik, adalah bagian dari ibadah, dan sudah diatur dalam Islam. Banyak ulama Islam telah menulis kitab-kitab bermutu tinggi tentang politik, seperti al-Mawardi yang menulis al-Ahkam al-Sulthaniyah dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang menulis al-Siyasah Syar’iyyah fil Islam. Seharusnya, dalam berpolitik, umat Islam juga merujuk kepada ajaran Islam itu sendiri. Pada intinya, politik harus dilakukan sebagai satu bentuk ibadah, dan bukan sekedar seni untuk meraih kekuasaan.
Tradisi politik sekular tidak dikenal dalam ajaran Islam. Sekularisme di Eropa dipicu oleh trauma sistem teokrasi yang menindas rakyat. Fenomena ini tidak terjadi dalam dunia Islam. Kaum Muslim selalu melihat politik sebagai bagian dari agama. Politik adalah ibadah. Tujuan utama politik adalah untuk menyebarkan kebenaran, dan menjaga agama melalui kekuasaan. Karena tujuannya mulia, maka cara yang digunakan pun harus mulia pula. Tujuan tidak menghalalkan segala cara.
Islam tidak mengenal sistem teokrasi dan tradisi politik sekular. Bernard Lewis, professor di Princeton University mengakui, bahwa kaum Muslim memang tidak mengembangkan tradisi sekular dalam sejarah mereka. Bahkan, kaum Muslim akan selalu menentang keras tradisi sekular tersebut. Ini berbeda dengan tradisi Kristen di Barat. “From the beginning, Christians were taught both by precept and practice to distinguish between God and Caesar and between the different duties owed to each of the two. Muslims received no such instruction,” tulis Lewis dalam bukunya, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response, (London: Phoenix, 2002).
Jadi, sejatinya, politik sekular dan liberal, apalagi politik ‘machiavellis’ harusnya tidak dikenal dalam tradisi Islam dan juga di Indonesia yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Politik semacam ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Tetapi, pada akhirnya, kita tidak bisa menuding ke luar. Para politisi Muslim itulah yang harus membuktikan, dengan pikiran, kerja, dan keteladanan, bahwa politik Islam adalah politik terbaik. Bahwa politik benar-benar bertujuan untuk ibadah dan bukan refleksi dari syahwat mencintai dunia (hubbud-dunya).
Wallaahu A’lam bish-shawab.