MENGITARI KA’BAH DENGAN HATI YANG RAPUH
“Pak Ustadz, tadi kita ngapain muter-muter? Ngapain orang-orang berjalan melingkar? Muterin apa?” Tanya Bapak itu.
“Astaghfirullah!” Sontak Sang Ustadz terkaget. “Bapak, Istighfar! Tadi kita tawaf. Mengitari Ka’bah.” Jelasnya.
Si Bapak tampak keheranan. Itu kali pertama ia menginjakkan kaki di Masjidil Haram dan melakukan tawaf. Ia merasa tak melihat apapun. Ia hanya melihat orang-orang berpakaian putih berjalan melingkar. “Ka’bah di mana? Yang mana?” Tanyanya sekali lagi.
“Tadi yang di sebelah kiri kita. Bapak nggak lihat?” Ustadz itu memastikan sekali lagi.
Si Bapak menggelengkan kepala. “Saya nggak ngelihat apa-apa.” Jawabnya. Lemas. Ia menyadari ada sesuatu yang salah dengan dirinya.
Kisah ini benar-benar terjadi. Tetapi saya tak perlu menceritakan secara detail kapan dan siapa yang mengalaminya. Biarlah itu menjadi kesyahduannya sendiri, sisanya menjadi pelajaran untuk kita semua. Singkat cerita, baru setelah tengah malam kembali ke Masjidil Haram dalam melakukan shalat taubat, diantar Pak Ustadz, akhirnya Si Bapak bisa melihat ka’bah. Ia meraung menangis sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin sebelumnya ia tak melihatnya?
Tawaf adalah peristiwa sakral. Kita diminta berjalan melawan arah jarum jam untuk mengitari ka’bah di sebelah kiri kita. Seandainya kita mengerti, ada banyak pelajaran penting di sana. Bukan sekadar ‘rukun fi’li’ di mana kita harus mengitari ka’bah tujuh putaran secara fisik sambil membacakan zikir dan doa-doa.
Tawaf adalah peristiwa untuk menemukan diri kita sendiri, melalui perjalanan yang harus dihayati dengan batin yang hidup. Itulah sebabnya sepanjang tawaf kita diminta membacakan zikir dan doa. Tak ada yang lain. Tawaf seharusnya menjadi momen intim antara diri yang sejati bersama Tuhannya, Sang Pemilik Diri. Baitullah menjadi medium pertemuan itu, apakah kita ‘diterima’ masuk ke rumah Allah, sebagai tamunya yang mulia?
Namun, banyak yang gagal memahami semua ini. Hari ini orang bertawaf hanya melakukan ritual fisik belaka, seraya mengabaikan kedalaman spiritualnya. Tubuhnya bergerak, tetapi batinnya tidak. Akhirnya, bagi sebagian orang, tawaf menjadi sekadar parade yang melelahkan.
“Ini udah berapa puteran?” Tanya seorang pemuda di samping saya kepada temannya.
“Enam puteran. Eh, apa lima, ya? Enam kali!” Jawab temannya ragu-ragu.
Dan tawaf hanya jadi sekadar hitung-hitungan. Orang-orang memakai penanda agar tak lupa putaran ke berapa. Lebih menakjubkan, ada yang menghitung jumlah langkah, dikonversi menjadi berapa kilometer, dan berapa jumlah kalori yang berhasil dibakar. Sambil sibuk melihat jam tangan canggih yang biasa dipakainya untuk berlari atau ‘jogging’. Bukan main!
Semalam, saya melakukan tawaf sunnah. Sendirian. Sepanjang tawaf, riuh rendah orang berdoa dan berbicara. Ada juga yang berteriak-teriak mengamankan barisan. Beberapa mengobrol dengan temannya. Saya pikir, kita sedang berada di ‘pusat’, di titik utama kiblat dunia, tetapi mengapa justru gagal dimanfaatkan untuk memperoleh esensi ibadah yang sesungguhnya?
Apakah saat tawaf kita boleh berbicara? Boleh mengobrol? Secara fiqh, sebenarnya boleh. Tetapi kita tetap perlu mengerti adab dalam beribadah. Abbas RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Di Baitullah tawaf merupakan shalat, hanya saja Allah Azza Wa Jalla telah memperbolehkan kalian untuk berbicara di dalamnya. Maka, barangsiapa yang berbicara, hendaklah dia berbicara tentang kebaikan semata.”
Sebagaimana shalat, seharusnya kita bisa menemukan kekhusukan dalam tawaf. Seperti dicontohkan Nabi dan para sahabat. Dalam sebuah riwayat, Sahabat Atha’ berkata, “Aku pernah tawaf di belakang Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan aku tidak mendengar mereka berbicara ketika sedang melakukan tawaf.” Sementara itu, Nafi’ Maula Ibnu Umar berkata, “Sungguh aku pernah menyaksikan orang-orang yang bertawaf di Baitullah ini, seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung, mereka sangat khusuk.” (Al-Fakihy: 1/202)
Namun, hari ini kita melihat keadaan yang kontras. Sulit sekali menemukan orang-orang yang khusuk saat melakukan tawaf, yang seolah-olah tawaf itu sama dengan kita mengerjakan shalat. Saat sedang tawaf, hari ini orang justru sibuk berfoto dan mengambil video, bahkan melakukan ‘video call’ dengan suara yang keras. Ada juga yang bercanda dan tertawa-tawa.
Maka zikir dan doa seolah terlupakan, selain memang ada orang-orang yang benar-benar lupa bahkan tidak tahu apa zikirnya, boro-boro upaya untuk menggali ke kedalaman diri. Saya jadi ingat sebuah hadits. Suatu ketika Ali bin Abi Thalib RA mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Hurairah RA, “Wahai Abu Hurairah, barangkali engkau akan mendapati orang-orang yang melakukan tawaf dalam keadaan lalai dan bercanda, maka tawaf yang demikian itu tidak diterima dan merupakan amal perbuatan yang tidak diangkat (tidak bernilai).” Dulu saya berpikir, bagaimana mungkin orang tak khusuk di rumah Allah? Ternyata hadits ini nyata adanya.
Dulu kita membaca cerita bahwa orang-orang Jahiliyah membawa panji-panji dan berbaris-baris mengunggulkan kelompok masing-masing sambil mengitari Ka’bah. Ada yang ingat cerita ini? Saya pikir, apa bedanya dengan sekarang? Sejauh mata memandang, saya melihat orang-orang berkelompok, membedakan dirinya dengan yang lain menggunakan warna-warna dan bendera yang beragam, juga tak ingin barisannya diganggu. Bendera-bendera negara, atribut-atribut travel, berwarna-warni. Apakah kita kembali seperti zaman Jahiliyah dulu?
Benar belaka sabda Nabi,“Wahai Abu Hurairah, apabila engkau melihat mereka berbaris-baris, sibaklah barisan mereka dan katakan kepada mereka, ‘Tawaf seperti ini tidak akan diterima dan merupakan amal perbuatan yang tidak diangkat (tidak bernilai).” Sayangnya saya tak berani melakukan perintah Nabi itu. Saya tak berani ‘menyibak’ apalagi menegur mereka.
Malam itu, saya bertawaf dengan hati yang rapuh. Sedih melihat apa yang terjadi di sekeliling, tetapi sekaligus berusaha tak ingin menghakimi—apalagi merasa lebih baik dari siapapun. Saya hanya bisa kembali kepada diri sendiri, fokus pada apa yang saya kerjakan, memperbanyak zikir dan doa-doa. Dalam diam saya berkata, “Maafkan kami, Ya Rasul. Maafkan kami yang tak bisa mengikuti teladanmu. Bahkan di baitullah.”
Usai thawaf, saya shalat sunnah tawaf dua rakaat di pelataran ka’bah. Lalu melanjutkan dengan doa. Ternyata sulit sekali menemukan momen yang hening. Di samping saya pria India melakukan video call dengan suara yang sangat kencang. Di hadapan saya sepasang suami-istri sibuk berfoto selfie. Ya Allah.
Setelah menutup doa, saya membuka mata. Melemparkan pandangan ke sekililing. Betapa sibuk baitullah menerima tamu-tamu yang beragam. Ada yang mengobrol, ada yang sibuk merapikan dan menjaga barisan, ada yang video call, ada yang bertengkar karena merasa diserobot. “Ya, Allah apakah mereka ‘melihat’ ka’bahmu?” Gumam saya dalam hati. Ternyata kisah Si Bapak yang tak bisa melihat ka’bah terasa benar adanya.
Tapi, di antara banyak orang yang lalai, ada ribuan mata yang basah, hati-hati yang rapuh, jerit doa yang sungguh-sungguh. Mereka tak seperti saya yang gelisah. Lebih khusuk dengan dirinya sendiri, mengakrabi doa dan zikirnya masing-maisng, batinnya bertawaf mengeliling baitullah. Semoga Allah membukakan pintu rumahnya dan mempersilakan masuk.
Kepada merekalah Allah mengirimkan para malaikat rahmat. Mengangkat doa-doanya, mengampuni dosa-dosanya. Ibnu Abbas RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pada setiap hari, Allah Azza Wa Jalla menurunkan seratus dua puluh rahmat kepada Baitullah ini. Enam puluh untuk orang-orang yang bertawaf, empat puluh untuk orang- orang yang shalat, dan dua puluh untuk orang-orang yang memandang (Baitullah).”
Ya Allah, mampukan orang-orang yang merindukan baitullah untuk berhaji atau berumrah ke tanah suciMu. Semoga mereka tak menyia-nyiakan kesempatan itu dengan bersikap lalai di pelataran rumahMu.
Makkah, 1 Dzulhijjah 1444H
(FAHD PAHDEPIE)