DIAMNYA NABI ATAS SUATU PERBUATAN MENUNJUKKAN PERBUATAN ITU BOLEH HUKUMNYA, SIAPAPUN YANG MELAKUKANNYA
Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu kaidah dalam ushul fiqih, diamnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atas suatu perkataan atau perbuatan yang disampaikan dan dilakukan di hadapan beliau, menunjukkan persetujuan beliau atas perkataan dan perbuatan tersebut, yang berarti itu adalah hal yang boleh dikatakan atau dilakukan.
Hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ma'shum, terbebas dari melakukan perbuatan dosa, dan membiarkan terjadinya kemungkaran tanpa mengingkarinya adalah perbuatan dosa, dan hal itu tidak mungkin berlaku bagi Nabi. Karena itu diamnya beliau, menunjukkan perkara yang didiamkan itu boleh hukumnya.
Dan kaidah ini berlaku secara mutlak, menurut pendapat yang paling shahih di kalangan Syafi'iyyah, baik yang melakukan perbuatan atau melontarkan perkataan tersebut muslim maupun kafir, termasuk munafik, baik pengingkaran itu akan membuat pihak yang diingkari malah melakukan perbuatan tersebut ataupun tidak, baik Nabi menunjukkan rasa senang ataupun tidak.
Ada juga pendapat (selain pendapat yang paling shahih di atas) yang menyatakan, kaidah di atas berlaku kecuali pada orang yang malah akan jatuh pada perbuatan munkar tersebut jika diingkari, dengan alasan pada kondisi itu gugur kewajiban mengingkari kemungkaran.
Ada juga yang menyatakan, kaidah di atas berlaku kecuali pada perbuatan atau perkataan yang dilakukan orang kafir, karena mereka tidak ditaklif untuk melakukan furu' syariat, sehingga tidak wajib mengingkari kemungkaran yang mereka lakukan. Termasuk di dalamnya, orang munafik, karena mereka adalah orang kafir yang menyembunyikan kekafirannya.
Ada juga yang menyatakan, kecuali pada orang kafir selain orang munafik. Karena orang munafik, penampakan luarnya adalah seorang muslim, sehingga berlaku hukum untuk orang Islam secara zhahir pada mereka.
Dikecualikan dari kaidah ini, jika Nabi diam atas suatu perkataan yang menginformasikan tentang sebuah kemungkaran, yang perkara tersebut diketahui sebagai sebuah kemungkaran dan diketahui juga bahwa kemungkaran tersebut akan tetap terjadi, dan seandainya dilakukan pengingkaran pada saat itu hal tersebut juga tidak ada manfaatnya.
Sebagai contoh, seandainya ada yang menyatakan di hadapan Nabi, "Ada orang kafir yang pergi ke gereja", lalu Nabi diam, maka diamnya Nabi tersebut tidak menunjukkan aktivitas orang kafir pergi ke gereja tersebut boleh dilakukan menurut syariat kita.
Wallahu a'lam.
Rujukan:
1. Hasyiyah An-Nafahat 'Ala Syarh Al-Waraqat, karya Syaikh Ahmad bin 'Abdil Lathif Al-Khathib Al-Jawi, Halaman 182-183, Penerbit Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah, Beirut, Lebanon.
2. Thariqah Al-Hushul 'Ala Ghayah Al-Wushul, karya Syaikh Muhammad Ahmad Sahl bin Mahfuzh, Halaman 284-285, Penerbit Al-Ma'had Al-Islami Maslak Al-Huda, Pati, Indonesia.