Mengapa Pemerintah Kocar-kacir Mengurus Minyak Goreng dan Larangan Ekspor CPO
PEMERINTAH kembali mempertontonkan model pembuatan kebijakan yang buruk dalam mengurus komoditas minyak sawit (crude palm oil/CPO).
Ini terlihat dari langkah Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang membuat keputusan bertolak belakang dalam waktu dua hari, ihwal larangan ekspor CPO yang memberi kontribusi rupiah besar ke kas negara ini.
Kegaduhan ini bermula dari larangan ekspor bahan baku minyak goreng (CPO) dan minyak goreng yang diumumkan Presiden Jokowi pada Jumat (22/4) pekan lalu.
Keputusan mengejutkan ini menuai kritik karena tidak memiliki basis argumentasi yang kuat dan jelas.
Saat larangan diumumkan, Jokowi tidak merinci kode harmonized system (HS code) produk yang dilarang diekspor. Gara-gara kebijakan “mengambang” itu, pasar CPO dunia pun ikut terguncang.
Selasa (26/4) lalu, dua hari menjelang pemberlakuan larangan tersebut, Airlangga mengoreksi pernyataan Jokowi dengan menyebutkan larangan itu hanya berlaku untuk produk refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein. RBD palm olein adalah produk turunan hasil rafinasi dan fraksinasi CPO.
Namun, kemarin (27/4), Ketua Umum Partai Golkar itu meralat pernyataannya. Menurut dia, larangan ekspor berlaku untuk semua bahan baku minyak goreng, termasuk CPO. Artinya, kebijakan larangan ekspor itu kembali ke pidato Jokowi pada Jumat lalu.
Sulit dibayangkan seorang menteri senior bisa serampangan membuat kebijakan untuk komoditas ini, yang memberi kontribusi surplus neraca perdagangan senilai Rp 68,4 triliun setiap bulan dan menyumbang Rp 15-20 triliun untuk anggaran setiap tahun.
Sebagai jenderal lapangan bidang ekonomi, semestinya Airlangga bisa memberi masukan kepada Jokowi bahwa keputusan asal populer itu bisa berkonsekuensi buruk bagi perekonomian Indonesia.
Yang paling sederhana, soal data produksi CPO Indonesia pada 2021 yang mencapai 51,3 juta ton, jauh di atas konsumsi dalam negeri—termasuk untuk biodiesel--pada tahun lalu yang hanya sekitar 18,4 juta ton. Selebihnya, sekitar 34,2 juta harus diekspor.
Airlangga semestinya paham bahwa pelarangan itu memberi kerugian besar kepada petani sawit, pengusaha, dan pemerintah itu sendiri.
Potensi pungutan dari pajak penghasilan, penjualan, dan ekspor hilang gara-gara ingin mengeluarkan kebijakan asal-asalan ini.
Contoh buruk akibat larangan ekspor itu adalah terjun bebasnya harga tandan buah segar di tingkat petani dari Rp 3.500 ke Rp 1.800 per kilogram.
Jokowi dan Airlangga seharusnya belajar dari berbagai kebijakan kontroversial yang pernah dihasilkan dan berimbas buruk. Apalagi jika keputusan itu berdampak terhadap kepentingan khalayak luas. Urusan ekspor minyak sawit bukan hanya monopoli persoalan dalam negeri. Ada banyak negara yang mengandalkan sawit Indonesia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebagai eksportir terbesar di dunia, Indonesia memiliki kewajiban moral memenuhi kebutuhan minyak sawit global. Kebijakan pelarangan ekspor bisa merusak kredibilitas Indonesia di mata dunia. Para investor pun akan berpikir ulang untuk menanamkan duitnya ke Tanah Air, karena pemerintah kerap menelurkan kebijakan yang tak ramah investasi.
Polemik tak berkesudahan soal larangan ekspor ini harus segera dihentikan. Airlangga tentu punya pilihan, sekira beragam masukannya sebagai menteri senior bidang ekonomi tidak digubris Jokowi. Mundur dari jabatan mungkin lebih terhormat ketimbang dipermalukan, karena kewenangan mengurus minyak sawit tidak diperlukan lagi.
(Sumber: Editorial Koran TEMPO, 28-04-2022)