MALAIKAT MASJID?
Tidak selayaknya memalaikatkan anak kecil, menyamakan mereka dengan malaikat. Dengan tanda petik sekalipun. Tidak benar secara etimologi, tidak benar pula secara terminologi. La haqiqi, wa la majazi. Tidak benar secara dzat, tidak benar juga secara sifat. Jangan latah dengan emak-emak pembesar Mesir yang memalaikatkan Yusuf karena over kepincut kerupawanannya. Tak ada yang memalaikatkan manusia kecuali emak-emak mabuk kepayang itu.
Mereka yang tercipta dari cahaya tak pernah sama dengan mereka yang tercipta dari air yang hina. Para malaikat adalah makhluk mulia yang tak pernah menentang, tak pernah bersalah, tidak memiliki hawa nafsu. Sedangkan anak-anak gemar menyelisihi, biasa berbuat yang tak seharusnya, dan selalu egosentris. Ini tetap dikatakan sebagai perbuatan buruk, hanya saja si anak tidak dilabeli sebagai insan yang buruk karena dia tidak memiliki kesengajaan akan hal itu. Namun, kita harus tetap memiliki penilaiaan bahwa hal itu tidak dibenarkan, makanya kita arahkan. Objektivitas seperti ini harus dirawat, yang juga berarti merawat syara’, merawat logika, merawat norma.
Anak-anak kecil memang tidak terkena taklif. Pasalnya, mereka belum baligh dan akal mereka belum berkembang maksimal. Segala sepak terjang mereka tidak terkena dosa di sisi Allah. Namun, bila hal itu menyangkut hak manusia, konskuensi berupa kompensasi tetap ada. Bila mereka mengganggu, wajib dicegah. Bila melakukan kesalahan, wajib diarahkan. Yang bertanggung jawab adalah orang tua atau wali mereka. Jadi, mengatakan bahwa toh mereka masih anak-anak, namanya juga anak-anak, tidak seharusnya dipakai dalam semua kondisi hanya untuk membenarkan ulah mereka, atau lepas tanggung jawab.
Nabi pernah mengajari anak tiri beliau yang makan bersama dengan acak-acak agar mengawali dengan basmalah, makan dengan tangan kanan, dan makan dari yang terdekat. Beliau juga menegur orang tua yang anaknya dicukur model qoza’.
Tentang tindak-tanduk anak-anak di masjid. Hasan dan Husain tidak dibiarkan berlarian dan berteriak-teriak saat ibadah sedang berlangsung. Mereka hanya berada di samping sang kakek dan berulah pada beliau. Pun Umamah, cucu perempuan beliau dari Zainab yang beliau gendong ketika beliau dalam posisi berdiri.
Bahkan, ketika mendapati kedua putra Ali dan Fatimah masuk masjid dan tersandung, beliau langsung mendatangi, mengendong, dan mendudukkan mereka. Padahal beliau sedang di atas mimbar. Tidak ada lari-lari, teriak-teriak, atau pembiaran terhadap perbuatan tersebut.
Pada contoh dari para cucu Nabi yang mulia itu justru terdapat edukasi bagaimana seharusnya anak kecil yang belum mengerti ketika di masjid yang saat itu sedang berlangsung shalat atau khutbah. Didampingi. Tidak dilepas.
Anak-anak belum berkewajiban melaksanakan shalat fardhu. Shalat fardhu secara berjamaah di masjid lebih tidak wajib lagi. Shalat sunnah, seperti tarawih, lebih-lebih tidak wajib lagi. Sedangkan kenyamanan orang lain wajib dijaga. Silakan diajak ke masjid untuk beribadah dengan menjaga adab masjid dan menjaga kekhusyukan jamaah lain. Kalau belum bisa, tidak perlu dipaksakan harus ada di sana dengan keadaan yang tidak terkontrol sehingga menzhalimi jamaah lain.
Barangkali ada yang mempertanyakan, kalau seseorang merasa kekhusyukannya terganggu oleh suara anak-anak, kekhusyukannya patut dipertanyakan. Sok merasa paling khusyuk saja. Jawabannya, kekhusyukan memang terletak di dalam, namun ia tidak independen, tak bisa lepas dari faktor eksternal selaku pendukungnya. Jangankan suara anak-anak yang murni suara bising, bahkan Al-Qur’an dan doa yang disenandungkan dengan lantang saja Nabi larang ketika berpotensi mengganggu orang lain. Jangankan yang masuk telinga, Nabi saja terganggu konsentrasinya karena gambar yang terlihat oleh beliau dari tirai Aisyah. Mau mempertanyakan kekhusyukan beliau oleh karena hal di atas? Kalau Nabi dan para sahabat saja bisa terganggu, bukankah yang merasa tidak terganggu lebih sok khusyuk lagi?
Kan ada tuh, anak kecil yang nangis di masjid lalu beliau mempercepat shalat beliau, kata mereka lagi. Jawabannya, tidak ada larangan mutlak membawa anak kecil ke masjid, kecuali hadits lemah yang tidak bisa dijadikan sebagai acuan. Justru, ketika ada suara tangis, beliau menyadari sang ibu sudah pasti tidak bisa tenang, demikian pula jamaah lain. Saat itu, beliau mengambil keputusan menyudahi shalat dengan lebih cepat, dengan pertimbangan kemaslahatan umum, yaitu kekhusyuan para jamaah, dan kemaslahatan khusus, yaitu perasaan si ibu dan si anak. Kalau anak dari awal sudah menangis atau bising bagaimana?
Ada lagi yang mengatakan, kalau anak-anak yang berisik di masjid itu disuruh keluar, bisa parah lagi. Di luar sana, mereka akan main petasan, menonton yang tidak-tidak, dan perbuatan tidak pantas yang lain. Lebih baik di masjid, lebih aman. Jawabannya, kenapa masjid lantas dicarikan kata ganti dengan luar masjid yang bermakna negatif? Paling aman ketika anak keluar masjid adalah pulang ke rumahnya, bersama orang tuanya. Di rumah itulah dia harus diedukasi dahulu sebelum dilepas ke masjid. Kalau ramai di rumah dia, toh itu tempatnya sendiri. Orang tua seharusnya lebih bisa memaklumi karena merupakan aturan lokal yang mereka sepakati. Kalau pun mereka tidak nyaman dengan keramaian anak-anak mereka, mereka seharusnya lebih berlapang dada, tidak malah mengopernya ke masjid yang lantas memproduksi ketidaknyamanan secara massal.
Sebenarnya, yang tidak berisik pun, tapi membuat tidak nyaman, bisa dikeluarkan. Contohnya adalah yang memakan bawang atau yang mengeluarkan aroma tidak sedap lainnya. Nabi menyuruh pelakunya keluar sampai bau itu hilang. Padahal, yang terganggu dengan aroma itu hanya satu atau dua orang samping kanan-kirinya. Bagaimana lagi bila ketidaknyamanan itu menjangkau radius yang lebih lebar lagi, yakni bising.
Begitulah fikih, tidak lebay dan tidak baper. Sebab, siapa yang gemar memperturutkan perasaan, sejatinya ia adalah orang yang egois. Asal dirinya nyaman, sekalipun pihak lain jadi korban.
Saya meyakini bahwa yang dimaui oleh DKM dan segenap jamaah adalah ibadah dengan tenang, adab masjid terjaga. Kehadiran anak-anak di masjid adalah kesegaran oleh kuntum-kuntum harapan. Calon pengganti mereka yang sudah beranjak sepuh. Harus ada regenerasi. Namun, regenerasi adalah niatan baik yang juga butuh bimbingan. Tidak lepas bebas sesuai kemauan masing-masing.
Maka, bila didapati gejala anak-anak mulai bising, orang tua harus tanggap, mendampingi buah hati yang sedang belajar. Kalau tidak didampingi orang tua, hendaknya mereka dibariskan di sela-sela orang dewasa. Yang sudah di depan, kecuali di belakang imam, jangan dibelakangkan. Itu usaha mereka dan mereka berhak mendapatkannya. Cukup mereka disela-selai dengan orang dewasa di saff yang sama. Tidak dilokalisasi di bagian belakang sehingga seolah pembiaran sehingga suara mereka lebih lantang terdengar.
Tabiat anak-anak adalah periang, ringan, tanpa beban. Belum terkontaminasi urusan pekat minyak goreng atau THR yang kadang temaram. Maka, gerakan spontan mereka pun lepas: berlari, mengeraskan suara, dan sebagainya. Spontanitas seperti itu harap dimaklumi, terlebih dengan hal-hal mubah. Tapi, bila itu dijadikan kebiasaan, yang ada adalah kebablasan dan begitulah selamanya. Mohon ditegur atau tindakan lainnya. Jangan dikira akan sadar dengan sendirinya. Sebab, ternyata tidak sedikit orang yang sudah ubanan, tapi tidak cakap dalam banyak akhlak dan adab, salah satunya adab di masjid.
Maka, mari muliakan rumah Allah dan hormati tamu-tamu-Nya. Mari didik anak-anak dengan ilmu serta adab tanpa memalaikatkannya. Malaikat diciptakan hanya untuk ibadah, mereka tidak bernafsu, tidak berhadas. Adapun anak-anak kita, mereka masih terus belajar atas kesalahan, tidak lepas dari hawa nafsu, tidak suci, ke mana-mana selalu membawa najis. Masa Malaikat gitu sih?
Children are children. None of them is an ANGEL. Never call or treat a child like an ANGEL. If someone persists to say or do that, just say, so you are the real ANGEL. ANGEL WIS. ANGEL TENAN TUTURANE, exactly.
Wallahu a’lam.
Moga Allah karuniakan kepada kita pasangan dan keturunan yang shalih.
(Hayik El Bahja)