Antara Pelecehan Bahasa Sunda dan Ujaran Jin Buang Anak
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. (Advokat Muslim, Ketua Umum KPAU)
Jargon Polri yang dipopulerkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Segit Prabowo adalah Presisi. Presisi yang merupakan singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan. Dalam kasus yang membelit Arteria Dahlan PDIP dan Edy Mulyadi Wartawan FNN, jargon Kapolri ini kembali diuji.
Yang pertama, tentu saja publik akan ikut bersama memprediksi. Apakah Arteria Dahlan juga akan dipanggil oleh Polri sebagaimana panggilan yang telah dilayangkan kepada Edy Mulyadi.
Publik juga akan menilai, apakah Polri dapat memprediksi dampak ketersinggungan masyarakat Sunda jika laporannya tidak ditindak, sementara ujaran 'Jin Buang Anak' yang tidak terkait dengan suku di Kalimantan diproses dengan pemanggilan polisi. Masyarakat Sunda sendiri, juga akan mengkalkulasi apakah akan merasa mendapatkan keadilan jika hukum hanya tajam kepada Edy Mulyadi namun tumpul terhadap Arteria Dahlan.
Kalau Arteria Dahlan berlindung dibalik jubah Dewan sebagai anggota DPR, merasa punya imunitas, sebenarnya Edy Mulyadi juga berstatus Wartawan FNN yang memiliki imunitas dalam penyampaian pendapat sebagai seorang jurnalis. Mestinya, arah komplain terhadap Edy Mulyadi disampaikan ke Dewan Pers bukan langsung dipanggil oleh Polisi, sebagaimana Arteria Dahlan merasa saluran komplain terhadap dirinya melalui MKD.
Proses pemanggilan Wartawan Senior FNN Edy Mulyadi juga tidak transparan. Hanya memuat pasal-pasal, tanpa menjelaskan deskripsi peristiwa yang dijadikan dasar pemeriksaan.
Makin tidak transparan dan tidak profesional, panggilan dilayangkan dalam tenggang 2 (dua) hari hingga saat hari pemeriksaan. Terkesan, ada target Edy Mulyadi harus segera diproses lebih lanjut.
Tidak adil, ya sangat tidak adil. Ketidakadilan itu dirasakan oleh Edy Mulyadi, masyarakat Sunda dan seluruh masyarakat pada umumnya.
Pertama, Edy Mulyadi jelas merasa diperlakukan tidak adil oleh Polri. Seolah-olah pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang kesamaan kedudukan dihadapan hukum tidak berlaku lagi. Seolah hukum mengenal kasta, antara penguasa dan rakyat diperlakukan secara berbeda.
Edy juga merasa pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berpendapat, tidak berlaku baginya. Menyampaikan pendapat dituduh SARA, Hoax, dll.
Perlakuan terhadap Edy Mulyadi ini jelas juga menyakiti perasaan dan rasa keadilan masyarakat. Kalau seorang Wartawan Senior saja bisa diperlakukan demikian, bagaimana dengan rakyat biasa pada umumnya ?
Kedua, masyarakat Sunda merasa diperlakukan tidak adil. Laporan yang diajukan terkait penghinaan bahasa Sunda tidak ditindaklanjuti, sementara laporan 'jin buang anak' begitu cepat dilakukan pemanggilan pemeriksaan.
Ibukota masih di Jakarta saja, yang jaraknya tidak jauh dari Jawa Barat, bahkan Jakarta dan wilayah sekitarnya (Jabodetabek) banyak masyarakat Sundanya, dikesampingkan tuntutannya. Apalagi kelak jika ibukota negara sudah pindah jauh ?
Sikap Polri ini tentu saja akan mencederai jargon Presisi yang selama ini digembar-gemborkan. Semestinya, Polri tegak lurus memberikan keadilan kepada segenap masyarakat adat dan suku apapun. Jangan sampai, Polri justru berperilaku SARA saat menangani perkara SARA.
Ketiga, masyarakat umum semakin muak dengan corak penegakan hukum di negeri ini yang tebang pilih. Edy Mulyadi yang mengkritisi proyek IKN diproses. Sementara, orang-orang yang pro rezim, seperti Arteria Dahlan PDIP, aman-aman saja.
Ya Allah, lindungilah Bang Edy Mulyadi. Beliau tulus berjuang, dan dalam kasus ini justru memperjuangkan kepentingan masyarakat Kalimantan. Berilah petunjuk dan hidayah, agar segenap rakyat Indonesia menyadari bahaya proyek Oligarki yang disuarakan oleh Bang Edy Mulyadi.
(*)