MENGUCAP SYAHADAH DI AWAL RAMADHAN
"Mom, untuk sementara aku berhenti kuliah dulu ya. Aku mau kerja dan menikah. Nanti setelah nikah aku lanjutkan sekolahku paruh waktu." Pinta putra sulungku Alvin yang masih berusia 20 tahun.
Dia baru saja menyelesaikan studynya empat semester di bangku University yang berada di kota kami tinggal. Sebetulnya dia diterima di university yang lebih bagus tapi berada di luar state, aku tak mengizinkan karena dia harus tinggal di asrama mahasiswa dan aku tak berani melepaskannya hidup bebas gaya anak muda di US. Alvin juga tak mau. Dia tau dia juga tak cukup kuat menahan godaan.
Aku tak terkejut dengan permintaannya itu karena sejak remaja aku terus-terusan ingatkan dia untuk tak menyentuh anak perempuan orang sebelum nikah, Alvin sudah bilang kalau dia akan menikah secepatnya. Saat itu aku mengiyakan dan juga memintanya untuk menikahi seorang wanita yang baik agamanya.
"Emang udah ada calon?" Tanyaku menggodanya.
"Udah, Mom." Jawabnya bangga sambil tersenyum lebar dengan mata berbinar.
"Namanya Abigail kawan waktu high school dulu. Dia keturunan Meksiko. Anaknya baik banget." Terangnya.
"Tentunya non Muslim kan? Sudah Mommy ingatkan ke kamu, cari yang udah jadi tinggal pakai, nggak repot-repot mendidiknya. Kawan-kawan Mommy banyak tuh yang incar kamu jadi menantu mereka. Anak gadis mereka juga cakep-cakep, dari keluarga yang kita udah tau asal usulnya dan yang terpenting seiman." Nasehatku padanya.
"Aku juga bilang koq sama Abigail kalau dia mau nikah sama aku harus masuk Islam dulu. Eh, dianya mau, katanya mau belajar Islam dulu. Boleh ya Mom?" Pintanya penuh harap.
Aku diam saja. Ini sungguh sesuatu yang serius menyangkut masa depan rumah tangga anakku.
"Aku mau segera kawin, Mom. Memang udah butuh, aku kan normal, juga biar nggak dikatain gay sama kawan-kawan." Lanjutnya.
"Ya kamu bilang sama kawan-kawanmu itu kalau pacaran dilarang di agama kamu. Boleh sentuh perempuan kalau udah kawin. Bagus, sekalian dakwah biar mereka kenal aturan Islam." Kataku.
"Udah, Mom. Malah aku tambah dibully sama mereka. Kata mereka 'your religion is suck. No drugs, no liquor, no free sex, you can't enjoy life' gitu katanya." Jawab Alvi sambil menarik nafas dan menghembuskannya dengan kuat. Wajahnya berubah cemberut.
"Nggak kamu jawab bully an mereka?" Tanyaku.
"Ya jawablah. Kubilang, 'At least my religion makes me healthy. Not like you all, your free life give you herpes' (sejenis penyakit kelamin)." Alvin tertawa ngakak, akupun ikutan. Kupeluk sulungku ini, dia memang sejak kecil bisa menjaga dirinya dari bully an teman-temannya karena agama. Betapa beratnya melawan arus, ketika teman-teman sekolah merayakan Christmas, Valentine, Halloween tapi dia tak ikut dan dia dengan berani mengatakan bahwa agamanya beda, tak merayakan itu semua.
"Karena itu, aku terima tawaran om Bob untuk kerja di perusahaannya ya, Mom? Alvin membujukku. Memang beberapa hari lalu teman ayahnya Alvin mengajaknya bekerja dengan pendapatan lumayan, tapi harus pindah di luar state.
"Kamu mau tinggalin Mommy? " Matakupun mulai berair.
"Aku udah besar, Mom. Biasa malah anak-anak meninggalkan orangtuanya ketika umur 18 tahun. Sudah waktunya aku pergi. Selama aku jauh, kusuruh Abigail sering datang ke rumah ini, Mommy ajarin dia ya, please!" Rayunya sambil memelukku.
"Tuh kan, kasih kerjaan emaknya lagi. Empat adikmu ternyata belum cukup ya, ini ditambah calon menantu." Sungutku sambil mendelikkan mata.
"Tapi kalau Abigail masuk Islam, Mommy dapat pahala banyak loh. " Ucapnya.
Betul juga bathinku. Lumayan ladang amal. Akupun tersenyum dan mengangguk.
Hari perpisahanpun tiba. Aku bantu Alvin menyiapkan barang-barang yang akan dibawa sementara Alvin menyusunnya di mobil. Perjalanan 10 jam akan dia tempuh menyetir mobilnya sendirian. Yah, itu mobil miliknya. Ketika kuliah dia juga bekerja di restoran fast food dan bisa beli mobil, walau bukan baru tapi cukup keren buat anak seusianya.
Melepas kepergiannya seperti sebagian nyawaku terlepas. Air mataku tak berhenti mengalir, Alvin pun jadi ikut menangis, memelukku erat seperti enggan berpisah. Untung ayahnya segera menyudahi drama ini, menguatkan tekad anaknya untuk pergi merantau demi masa depan. Selamat jalan, Anakku.
Beberapa hari kemudian Abigail datang ke rumah. Kesan pertama berkenalan dengannya, aku jatuh cinta. Wajahnya cantik dengan lesung di pipi kirinya, bodynya mengingatkan ku kepada Jennifer Lopez.
Tapi bukan kecantikannya yang membuatku tertarik, melainkan sikapnya yang ramah dan sopan terhadap orang tua, sikap yang jarang dimiliki anak-anak muda di US. Juga yang memberi nilai tambah buatnya adalah mudahnya dia langsung akrab dengan adik-adiknya Alvin. Mereka langsung bermain. Abigail tak segan tertawa lepas dan lompat-lompat berebut balon yang sedang dimainkan kedua putraku Dul (8th) dan Baim (7th) juga putri bungsuku Hana (3th). Sementara putri keduaku Wardah (15th) juga terlihat suka bermain dengannya.
Setelah lelah bermain, aku ajak Abigail ngobrol. Tanya tentang keluarganya juga keseriusannya untuk memeluk agama Islam. Dia anak ketiga dari lima bersaudara. Ayah ibunya sibuk bekerja, kedua abang dan kedua adik perempuannya juga sibuk dengan urusannya sendiri.
Keluarganya beragama Khatolik, tapi sudah tak pernah lagi beribadah ke gereja. Intinya kehidupan mereka memang jauh dari agama, karena itu Abigail merasa butuh dengan aturan hidup yang bisa membuat dirinya tenang.
Mendengar ceritanya, aku optimis untuk mengenalkan Islam padanya karena memang ada kebutuhan spiritual di dalam dirinya sendiri, bukan cuma masuk Islam karena mau menikah dengan Alvi.
Dia juga cerita kepadaku kalau selama ini mulai belajar Islam sendiri dan itu diketahui oleh keluarganya dan mereka semua menentang karena menganggap agama Islam adalah agama para ter*r*s. Yah... seperti itulah pemahaman sebagian masyarakat US semenjak kejadian September 11 dulu. Tapi Abigail tidak langsung percaya dan dia memintaku untuk mendampinginya belajar Islam.
Sejak kunjungannya yang pertama itu, selanjutnya adik-adik Alvin selalu minta Abigail untuk datang. Dia juga betah berlama-lama di rumah kami. Seringnya dia datang membuatku juga semakin mudah dan banyak waktu mengajarinya agama. Aku suka sekali caranya menerima semua pelajaran yang kuberikan. Penekananku adalah tentang tauhid, bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Allah, Tuhan yang satu, yang tak punya anak dan tak diperanakkan. Hanya Allah yang pantas disembah dan menyembahnya dengan cara mengikuti semua yang Dia perintahkan dan menjauhi semua yang Dia larang. Untuk mengetahui semua itu harus pelajari Al Qur'an dan mengikuti cara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan mempelajari hadist-hadistnya. Jika keyakinan ini sudah terpatri maka akan dengan mudah menjalankan aturan-aturanNya.
Sudah enam bulan Abigail belajar Islam.
Sore itu, pulang dari bekerja (Abigail kerja di salah satu Department Store) dia datang. Selepas dinner aku persiapkan Dul dan Baim untuk pergi ke masjid menunaikan sholat Isya dan Tarawih. Malam itu adalah malam pertama Ramadhan. Anak-anak bergembira menyambutnya. Merekapun memberi tahu Abigail bahwa esok kita semua akan puasa. Abigail sudah kuajari tentang rukun Islam, dia tau tentang kewajiban berpuasa untuk kaum Muslimin di bulan Ramadhan.
"I wanna do puasa, too." Pintanya kepadaku.
Kuterangkan bahwa dia belum wajib mengerjakan puasa karena belum menjadi seorang Muslimah.
"I wanna convert right now, please!" Pintanya lagi dengan pandangan penuh harap.
Aku gemetar mendengar ucapannya. Sejenak saling pandang dengan Wardah lalu aku katakan kepadanya tentang rukun Islam yang pertama bahwa dia harus mengucapkan Syahadah.
Ternyata Abigail memang sudah menyiapkan diri, dia bilang kalau sudah berlatih mengucapkan syahadah selama ini.
"Kamu mau mengucapkannya?" Tanyaku.
"Yes, I do." Jawabnya mantap.
Lalu dengan lancar diapun mengucap syahadah:
"Ashhadu alla ilaha illallah wa ashhadu anna muhammadarrasulullah." Ucapnya dengan fasih.
Tak kuasa aku menahan haru dan bahagia. Kami semua memeluknya. Kami menangis bahagia dan ketika suamiku pulang dari masjid (selepas maghreb) untuk menjemput kedua putra kami yang akan sholat Isya dan Tarawih ke masjid, aku sampaikan kepadanya kalau Abigail sudah bersyahadah.
Alhamdulillah, ucap suamiku dan dia berkata Abigail sudah sah menjadi seorang Muslimah, tetapi kami akan mengadakan syahadah ulang di masjid untuk pemberitahuan kepada saudara-saudari seiman.
"So, can I puasa tomorrow? " Tanya Abigail kepadaku.
Kami semua tertawa bahagia melihat semangatnya untuk ikutan berpuasa.
Sebulan kemudian, hari kedua lebaran, kami nikahkan Abigail dengan putra sulung kami. Orangtua Abigail tidak datang, mereka tak menerima anaknya masuk Islam, tapi nenek dan paman-pamanya serta tante-tantenya menerima dengan senang hati.
--------------------------
Sudah enam tahun berlalu. Kini kami sedang berbuka puasa bersama. Selepas sholat maghreb Abigail langsung menikmati hidangan buka puasa. Terlihat kebahagiaan di wajahnya ketika sambil makan juga sibuk menyuapi sepasang balitanya, cucu-cucuku yang berusia hampir 4 tahun dan 2 tahun. Dia tambah cantik dan modis dengan jilbab yang dipakainya.
Kuingatkan dia tentang moment penting 6 tahun lalu. Dia tersenyum.
"I’m so happy I met Alvin and all of you. My life before you guys had no religion and no faith. I didn’t know where I was going with life because I had no one guiding me. Now I have you guys and Allah. I have everything I could ever ask for. Thank you so much for introducing me to the most beautiful religion."
"Aku sangat bahagia bertemu Alvin dan kalian semua. Kehidupanku sebelum bertemu kalian tidak beragama dan tidak ada iman. Aku tidak tau hidupku akan kemana karena tak ada yang membimbingku. Sekarang aku punya kalian dan Allah. Aku punya semua yang pernah kupinta. Terima kasih banyak telah mengenalkan aku dengan agama yang terbaik ini." Kata Abigail.
Doaku semoga dirimu istiqomah, Abigail, menantuku tersayang.
April 25th 2021
(Ditulis oleh Bu Mithy Harjo, ibunya Alvin, di Grup Fb Komunitas Bisa Menulis/KBM)
*Sumber: fb