Tanjung Priok Berdarah, Akibat Penyimpangan Pancasila
Empat ratusan mayat bergelimpangan di daerah Tanjung Priok, September 1984. Darah berceceran di mana-mana. Beberapa truk militer mengangkut mayat-mayat tersebut.
Tragisnya, jenazah-jenazah tersebut dibuang ke dalam truk, tak ubahnya petugas melemparkan kantong sampah ke dalam mobil pengangkut sampah. Bahkan, mereka yang masih hidup pun disatukan dengan mayat.
Tak berapa lama kemudian, datang mobil pemadam kebakaran, membersihkan darah yang berceceran di lokasi kejadian. Proses menghilangkan jejak.
Di kamar mayat, ada yang berteriak, minta tolong. Isteri sepupuh saya (suster di RSPD) menceritakan bahwa, di antara tumpukan mayat tersebut, ada yang masih hidup.
Penyebab peristiwa berdarah ini, Soeharto menafsirkan Pancasila sebagai aliran kepercayaan (honocoroko) dan menetapkannya sebagai asas tunggal. Artinya, semua ormas dan orpol Islam harus menghilangkan asas Islam.
Mengapa Umat Islam menolak?
Sebab, aliran kepercayaan bertentangan dengan prinsip-prinsip ketauhidan dalam Islam. Padahal, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa – sila pertama Pancasila – adalah ajaran ketauhidan Islam.
Mengubah atau memeras Pancasila yang menghilangkan perkataan Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa merupakan perbuatan syirik. Umat Islam, kapan dan di mana pun pasti “berontak.”
Menelusuri kembali tragedi berdarah Tanjung Priok, teringat kejadian di depan kantor Bawaslu pasca Pilpres 2019. Aparat menembaki jamaah yang ada di masjid dan tempat penginapan sekitar pukul 23.00.
Padahal, unjuk rasa sudah berakhir dengan usainya shalat tarwih berjamaah pada pukul 21.30, secara aman. Siapa yang perintahkan penembakan tersebut ?
Tanjung Priok berdarah, perintah Jenderal Beni Murdhani? Tragedi Bawaslu? Tanya rumput yang bergoyang!!!
Pemicu Terjadi Pertumpahan Darah
Tanggal 7 September 1984, seorang Babinsa – Harmanu – mendatangi musholla As-sa’adah, Koja, Jakarta Utara. Beliau perintahkan pengurus agar mencabut pamflet yang ada di dinding mushalla. Pamflet tersebut berisi penolakan asas tunggal Pancasila dan pengumuman kegiatan pengajian yang akan datang. Jamaah tidak mau.
Besoknya, menurut ustadz Abdul Qadir Djaelani di sidang Pengadilan, Babinsa itu datang lagi beserta rekannya. Mengetahui pamflet belum dicopot, mereka masuk ke mushalla tanpa membuka sepatu. Mereka menyirami pamflet tersebut dengan air got. Jamaah marah.
Tanggal 10 September, jamaah bertengkar dengan petugas Koramil yang mengotori mushalla. Pengurus Masjid Baitul Makmur (tidak jauh dari mushalla As Sa’dah) yang ada di situ mengajak aparat Koramil tersebut masuk kantor masjid, bermusyawarah. Pengurus masjid menawarkan solusi damai. Pertugas Koramil tidak mau.
Jamaah yang berkerumun di depan masjid, emosi. Tetiba, motor salah seorang petugas Koramil tersebut dibakar. Tidak jelas, ide tersebut berasal dari mana. Buntutnya, 4 orang pengurus masjid dan mushallah ditangkap. Pembakar motor, Mohammad Nur turut ditangkap (terbetik dalam hati, apakah pembakaran bendera partai ekasila di depan MPR, 24 Juni, termasuk operasi intelijen seperti di Priok ini.?).
Tanggal 11 September, Amir Bikki, tokoh Angkatan 66 Jakarta Utara (punya hubungan baik dengan pejabat setempat) melobi pimpinan Kodim agar empat orang yang ditahan, dibebaskan. Upaya Amir Biki, gagal.
Tanggal 12 September, pengajian rutin di Jalan Sindang Raya, Jakarta Utara, tetap berlangsung. Amir Bikki yang bukan mubaligh, ikut hadir. Situasi politik yang panas beberapa hari sebelumnya mendorong jamaah meminta Amir Bikki, naik podium untuk memberi nasihat.
Ustadz Abdul Qodir Djaelani dalam pledoinya mengatakan, Amir Bikki dalam sambutannya, antara lain mengatakan:
“Mari kita buktikan solidaritas islamiyah. Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Amir Bikki menambahkan, “Kita tidak boleh merusak apa pun.! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita.”
Banjir Darah
Pukul 23.00, 12 September 1984 itu, tidak ada tanda-tanda para tahanan dibebaskan. Jamaah sekitar 1500 orang menuju kantor Kodim dan Polres Jakarta Utara. Sekitar 200 meter dari kantor Polres, jamaah yang dipimpin Salim Kadar dihadang pasukan dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.
Tetiba, para demonstran dikepung dari segala penjuru. Sebagian besar masa hanya duduk sambil bertakbir. Aparat berteriak, “Mundur-mundur” dan disambut pekikan “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Tanpa peringatan, terdengar tembakan komando, lalu diikuti pasukan yang mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran. Muntahan peluruh yang ditujukan ke jamaah pengajian berlangsung kurang lebih tiga puluh menit. Ratusan demonstran jatuh bersimbah darah. Mereka yang terluka dan berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, diberondong lagi.
Bahkan, ada aparat yang berteriak, “bangsat, pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak.” Lebih sadis, mereka ditendang-tendang dan kalau masih bergerak, ditembak lagi sampai mati (terbayang, bagaimana aparat menembak dan menganiaya pengunjuk rasa pada peristiwa Bawaslu 2019).
Konvoi truk militer, tak lama berselang datang dari arah pelabuhan, memuntahkan peluru ke mereka yang bersembunyi di got. Tragis, truk-truk tersebut melindas demostran yang sedang bertiarap di jalan, baik yang sudah tertembak maupun belum terkena peluru aparat.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas truk besar terdengar jelas. Begitulah antara lain kisah almarhum Banta (sebulan setelah kejadian) ketika saya sedang dalam pelarian, dikejar-kejar Jenderal Beni Murdhani karena kutolak Pancasila di-ekasila-kan.
Jamaah yang menuju kantor Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira 15 meter dari kantor Kodim, jamaah dihadang aparat. Hanya 3 orang pimpinan yang dibenarkan maju, di antaranya Amir Biki. Sekitar 7 meter dari kantor Kodim, mereka diberondong peluru. Ketiganya jatuh tersungkur. Muslimah yang berada tidak jauh dari situ, melompat ke depan, merebut bendera yang ada di tangan Amir Bikki (teringat Nusaibah binti Ka’b, perempuan yang tubuhnya penuh luka karena melindungi Nabi Muhammad dari serangan musuh di perang Uhud).
Namun, hanya dalam hitungan detik, pemuda yang ada di situ menyerbu ke depan, merebut bendera dari tangan Muslimah dan menyelamatkannya dari tembakan aparat. Pemuda ini langsung menyerbu ke depan kemudian tersungkur disambar peluru aparat. Tapi, sebelum menghembus nafas terakhir, dia menubruk aparat yang menembaknya. Cusss, belati di tangannya menembus perut aparat. Keduanya, jatuh bersamaan ke tanah.
Melihat kejadian di atas, jamaah pengajian panik. Mereka mau melarikan diri, tetapi disambut tembakan peluru otomatis. Mayat-mayat bergelimpingan seperti apa yang terjadi di depan kantor Polres Jakarta Utara. Begitulah saripati kisah yang saya peroleh dari almarhum Banta.
Reaksi terhadap RUU HIP
Tanggal 24 Juni 2020, pukul 13.00, jalan raya di depan kantor wakil-wakil rakyat, Senayan, berkumpul ribuan anggota masyarakat.
Mereka menyampaikan aspirasi, menolak penyimpangan Pancasila. Sebab, apa yang dilakukan pemerintahan sekarang, tak ubahnya konsep Nasakom orde lama dan asas tunggal orde baru.
Persamaan asas tunggal Pancasila dan RUU HIP adalah menghilangkan sila pertama, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Asas tunggal Pancasila versi Soeharto, kembali ke kebudayaan animisme, aliran kepercayaan. Aliran ini bertentangan dengan tauhid yang terformulasi dalam sila pertama.
Soeharto bermitra dengan kapitalisme barat yang dipimpin Amerika Serikat. RUU HIP juga kembali ke budaya animisne versi Soekarno, ekasila (gotong royong).
Maknanya, Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, hilang.
Soekarno bermitra dengan negara-negara komunis, sama dengan yang dilakukan Jokowi sekarang.
Simpulannya, RUU HIP menghidupkan kembali ajaran animisme dan komunisme di Indonesia.
Maknanya, RUU ini mengdegradasi status Pancasila sebagai dasar negara.
Tempat yang terhormat bagi Pancasila adalah di Pembukaan, bukan dalam bentuk undang-undang apa pun yang statusnya lebih rendah dari UUD 45.
Memaksakan pembahasan RUU HIP, berarti mengulangi tragedi peristiwa G30S/PKI 1965 dan peristiwa Tanjong Priok 1984.
Tidak ada pilihan lain, RUU HIP harus dicabut sekaligus dikeluarkan dari Proglenas, sampai kiamat. Semoga !!!
Depok, 27 Juni 2020