[PORTAL-ISLAM.ID] Randi (21 tahun), mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, telah wafat sore tadi ketika berdemonstrasi. Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun. Beberapa media memberitakan Randi tewas diterjang peluru. Namun, sebagian masih merujuk pada pernyataan polisi untuk tidak cepat berspekulasi atas penyebab kematiannya.
Kematian mahasiwa dalam berunjuk rasa baru terjadi pertama sekali jaman rezim Jokowi berkuasa selama era paska reformasi. Padahal Jokowi baru saja digadang-gadang oleh rektor Universitas Tri Sakti sebagai putra reformasi. Sebuah gelar yang dikaitkan dengan kecintaan seseorang pada demokrasi dan penegakan hak-hak asasi manusia.
Suharto sendiri butuh 32 tahun berkuasa untuk mampu membunuh mahasiwa yang sedang berdemonstrasi, yakni kepada alm. Elang dkk di Universitas Trisakti, pada bulan Mei 1998, dan kasus Semanggi I dan Semanggi II, ketika Indonesia berada pada era turbulensi, masa Habibie.
Selama 30an tahun Suharto berkuasa, gerakan2 mahasiswa ditangani elemen intelijen tentara. Intelijen ini mempunyai prinsip "deteksi dini", "penangkalan dini" dan pembinaan. Gerakan mahasiwa dinetralisir intelijen agar menjadi kekuatan "tengah", yang masuk pada isu "moral force". Moral force, berbeda dengan "political force", menekankan prinsip gerakan mahasiswa tidak terlibat dengan politik kekuasaan dan politik ideologi.
Sedangkan penangkalan dini dan pembinaan, artinya intelijen orde baru mempunyai tugas pendekatan dan pendampingan pada mahasiswa, agar perjuangan mereka tetap pada moral force.
Jika intelijen Orde Baru melihat demonstrasi itu keluar dari moral force, maka gerakan itu dilumpuhkan dan tokoh2 mahasiswa itu dipenjara. Namun, sepanjang hampir 32 tahun kekuasaan otoriter Suharto, tidak ada mahasiswa yang ditembak atau tertembak. (Sekali lagi penembakan mahasiswa terjadi di masa akhir kekuasaan Suharto dan masa turbulensi era Habibie)
Kematian mahasiwa dalam era demokrasi ini merupakan ancaman besar bagi demokrasi. Kekerasan yang dilakukan aparat beberapa waktu lalu, pada masa 21-22 Mei 2019, misalnya, sesuai catatan Amnesti Internasional Indonesia, dengan memakan korban meninggal sudah menjadi duka besar bagi kita.
Namun, karena kekerasan itu dijustifikasi kekuasaan Jokowi sebagai kerusuhan sosial, persepsi moral atas kejadian itu mendua alias pro kontra. Namun, kematian dalam aksi unjuk rasa mahasiswa dalam era demokrasi saat ini, betul-betul menunjukkan kegagalan rezim ini menjaga demokrasi dan hak-hak asasi manusia.
Sebab, demontrasi mahasiswa sudah diakui dunia sebagai salah satu hak-hak dasar yang harus dijalankan. Bahkan di negara Komunis China dan "Fasis" Rusia, belum ada catatan kematian mahasiswa yang berdemo.
Lalu bagaimana kita mensikapi kematian mahasiwa dan kekerasan aparat terhadap gerakan mahasiswa ini? Pertama, tentu kita melihat indikasi adanya kegagalan Jokowi dalam menjaga keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Kedua, adanya indikasi ketidaksesuaian standar penanganan demonstrasi/unjuk rasa oleh aparatur keamanan kita.
Herannya lagi adalah gerakan mahasiswa kali ini mempunyai keterkaitan pada dua hal, pertama, banyak pihak mengakui bahwa gerakan mahasiswa ini sebagain besarnya dianggap beririsan sebagai pendukung Jokowi pada pilpres lalu. Bahkan, beberapa figur anti revsi UU KPK merupakan pemuja Jokowi, seperti Gunawan Muhammad dkk. Kedua, gerakan mahasiswa ini tidak bisa dikambinghitamkan terkait fundamentalisme Islam, yang dimusuhi rezim Jokowi selama ini. Tokoh intelektual pendukung Jokowi, seperti Ray Rangkuti, bahkan memberi pandangan bahwa gerakan mahasiswa saat ini adalah gerakan murni mahasiswa.
Dengan kematian Randi dan luka-luka mahasiswa dalam demonstrasi beberapa hari belakangan ini, semua kekuatan2 bangsa, khususnya Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia, perlu berbelasungkawa.
Selanjutnya tentu memikirkan bagaimana agar rezim Jokowi ke depan dapat menyesuaikan diri pada era reformasi, di mana demokrasi dan hak asasi manusia merupakan kunci keberlangsungan hidup bernegara. Khususnya untuk Rektor Universitas Trisakti segera membatalkan ide penghargaan Putra Reformasi kepada Jokowi itu.
Penulis: Syahganda Nainggolan