Alhamdulillah... Anies Beri THR untuk Warga Jakarta


[PORTAL-ISLAM.ID]  Jokowi kasih THR. Gaji 13 buat PNS. Para gubernur, bupati dan walikota juga tak luput perhatian. Dapat juga THR. Dananya dari anggaran APBD. Loh? Risma dan sejumlah kepala daerah teriak. Merasa terbebani. Ahli hukum kasih warning. Anggap kebijakan Jokowi bisa jadi temuan KPK.

Tak kalah dari Jokowi, Anies juga kasih THR. Kali ini, bukan untuk PNS dan anak buahnya. Tapi, THR itu untuk rakyat. Untuk semua anak bangsa. Apa itu? Reklamasi tutup. Disegel. Anies pimpin langsung. Rupanya, punya nyali.

Ingat reklamasi, ingat Jokowi dan Ahok ketika jadi gubernur DKI. Kok mereka enggak cegah ya? Jelas pelanggaran. Apa yang dilanggar? Perda No 1 Tahun 2014. Perda No 7 Tahun 2010. Pergub No 128 Tahun 2012.

Sudah dicegah. Masa? Tepatnya disegel. Dipasang plang. Berarti dari dulu dianggap melanggar? Pemprov DKI tahu dong? Anda benar. Sayangnya, enggak ada media yang liput. Seolah tak boleh ada yang ngontrol. Pembangunan jalan terus. Formalitas dong? Kira-kira begitu. Ah, kayak enggak tau aja.

Ingat reklamasi, ingat juga Pak Luhut Binsar Panjaitan. Orang mengenal dengan inisial LBP. LBP sering dipanggil Bapak Reklamasi. Tokoh satu ini pasang badan. Akan lawan siapapun yang coba-coba halangi proyek reklamasi. Tantang debat. Siap adu argumen. Wajah tegang LBP siap hadapi siapa saja, termasuk gubernur baru.

Tapi, saat reklamasi disegel, LBP gak muncul. Dan sudah lama tak muncul. Kenapa? LBP seorang tokoh yang taat hukum. Ketika tahu reklamasi langgar hukum, LBP tarik diri. Alias diam. Gentle dan fair. Perlu kita apresiasi sikap LBP. Begitulah seharusnya sikap seorang negarawan. Enggak ngotot.

Anies memang tampak pendiam. Bicara seperlunya. Dikesankan lemah. Dianggap tak berdaya. Tak mungkin punya keberanian tutup reklamasi. Buktinya, pembangunan reklamasi jalan terus. Meski tanpa IMB. Orang bilang: Anies hanya omong doang. Pinter buat narasi dan janji. Gaya pencitraan. Begitulah kesan sebelumnya. Wajar, karena tak suka.

Anies pun tetap diam. Tak merespon dengan kata-kata. Berbasis dasar aturan, Anies buat schedule terencana. JEGER! Reklamasi pun ditutup. Disegel beneran. Bukan pura-pura. Bukan juga formalitas. Apalagi pencitraan. 300 satpol PP dikerahkan. Tutup! Berani lanjutkan pembangunan? Kita lihat nanti.

Yang jelas, gubernur punya hak halangi pembangunan tanpa ijin. Gubernur juga punya wewenang merobohkan rumah dan ruko tanpa IMB. Pakai buldoser? Itu hak Anies. Wah, serem.

Wajah boleh senyum lebar, sikap boleh ramah, tapi ketegasan tak boleh dikompromikan. No negosiasi. Itu briefing Anies kepada 300 Satpol PP. Yang penting, ikuti dan taati prosedur dan SOP.

Ada kaitannya dengan politik? Tak ada urusannya. Soal reklamasi adalah soal penegakan hukum. Titik. Bukan koma. Tutup reklamasi memberi ketegasan bahwa semua rakyat harus dipastikan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum. Yang kuat dan yang lemah, sama. Orang menjadi lemah kalau melanggar hukum. Sebaliknya, orang menjadi kuat kalau patuh dan taat hukum. Begitulah penjelasan Anies pasca segel 932 bangunan di pulau reklamasi. Tepatnya pulau D. Banyak sekali? Hampir seribu bangunan? Tanpa IMB? Kok bisa? Stop bertanya.

Bangun dulu. Entar aturan dibuat. Direkayasa supaya pas. Caranya? Dekati orang kuat. Suap para pejabat. Begitulah yang selama ini berjalan. Stop! Indonesia butuh manusia seperti Anies untuk menghentikan praktik 'Mafioso' seperti ini. Emang negara ini warisan nenek moyang die? Protes anak gaul sekarang.

Jangan tanya, kenapa ditutup? Kenapa disegel? Kenapa dihentikan? Diskusi ini mestinya sudah selesai. Jadi pembahasan panjang para pakar. Tugas gubernur, menggunakan wewenangnya untuk menegakkan aturan.

Ada perlawanan? Akan pasti. Dana triliunan akan dibiarkan begitu saja menguap? Tentu tidak mungkin. Kompromi? Anies dikenal sebagai sosok yang tidak kenal kompromi kalau untuk melanggar hukum. Negosiasi hanya berlaku untuk cari solusi. Bukan untuk mencari celah palanggaran terhadap hukum. Lalu, bagaimana solusinya?

Buat badan pengelola. Itu amanah peraturan. Lakukan kajian serius dan obyektif. Apa yang salah diperbaiki. Siapa yang keliru diberikan sangsi. Clear.

Ada pesan kuat dari narasi Anies: jangan sekali-sekali melanggar aturan di negeri ini. Tak boleh ada orang di negeri ini bebas langgar aturan. Sekuat apapun back up nya, sebanyak apapun duitnya, aturan mesti ditegakkan. Baik untuk rakyat kecil, maupun untuk mereka yang punya kekuatan uang dan kekuasaan. Hukum itu untuk semua orang. Tidak pilih-pilih.

Selain langgar aturan, reklamasi jelas merugikan rakyat dan negara. Segel reklamasi, selain sebagai upaya penegakan hukum, juga bagian dalam menjaga kedaulatan negara. Kedaulatan negara? Bisa dilacak jawabannya dengan pertanyaan: siapa para pembeli bangunan di atas tanah reklamasi? Yang jelas, seorang pribumi yang miskin tak cukup uang untuk membeli.

Anies punya senjata. Apa itu? Back up kekuasaan? Tidak! Malah sering "dianggap" berseberangan. Konflik Anies vs Luhut Binsar Panjaitan beberapa waktu lalu cukup jadi buktinya. Betapa Merdeka Barat dan Utara sering tak sejalan. Anies hanya punya satu kekuatan. Yaitu Regulasi.

Nekat betul? Anies, semula dianggap tak bernyali. Beda dengan Ahok, marahnya berhasil ciptakan kesan keberanian. Ternyata? Reklamasi tutup juga. Penutupan ini sangat berisiko. Risiko buat Anies dan karirnya. Publik menduga, akan ada perlawanan sengit. Dari siapa? Pihak yang merasa dirugikan dengan adanya penyegelan.

Anies takut? Rakyat tak suka pemimpin penakut. Jadi pemimpin mesti hadapi risiko. Enggak siap? Mundur. Ini berlaku untuk siapa saja yang diberi amanah kekuasaan. Nampaknya, Anies sudah hitung dan kalkulasi semua risiko itu.

Bagi Anies, jalankan amanah konstitusi. Titik. Kalau ternyata timingnya dekat lebaran, anggap saja itu THR bagi mereka yang mudik dan dapat cuti bersama. Dan mereka semua adalah rakyat Indonesia.


Penulis: Toni Rasyid

Baca juga :