Mahfudz Siddiq Beberkan Gejolak Internal PKS dan Target Pemilu 2019

(Mahfudz Siddiq)

[PORTAL-ISLAM.ID] Mahfudz Siddiq, eks Ketua DPP PKS dan Ketua Fraksi PKS di DPR yang telah 14 tahun terjun ke dunia politik, membeberkan apa yang ia lihat soal partainya.

PKS, baginya, seperti lautan dengan gelombang tenang di permukaan, namun berarus deras di kedalaman.

Berikut petikan perbincangan kumparan dengan mantan Ketua Komisi I DPR itu di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/4/2018).

Bagaimana Anda melihat PKS jelang Pemilu 2019?

Saya secara pribadi mengkritisi PKS yang orientasinya lebih ke Pilpres untuk Pemilu 2019, bukan Pileg. Padahal, ketika Pileg dan Pilpres digabung, kami harus bisa memastikan bahwa prioritas pertama bagi partai adalah capaian di Pileg.

Kasarnya begini, buat apa memenangkan capres-cawapres yang belum tentu dari partai kami, tapi target partai di Pileg nggak tercapai. Padahal Pileg akan jadi pertaruhan semua partai, termasuk yang tidak punya capres dan cawapres.

Tapi kalau cawapres Prabowo dari PKS, suara PKS akan terkerek di Pileg?

Jadi, ketika Pemilu Presiden dilakukan bersamaan dengan Pemilu Legislatif, partai harus punya strategi untuk mencapai target-target di Pileg. Nah, target PKS di Pileg kan 12 persen (perolehan suara nasional). Itu angka yang tinggi, dua kali lipat perolehan suara tahun 2014 yang hampir 7 persen (tepatnya 6,79 persen). Ini kan harus ada roadmap-nya. Strategi pencapaian 12 persen itu seperti apa?

Nah, Pilpres ini harus menjadi faktor untuk mencapai target 12 persen. Jangan sampai Pilpres nanti justru menggerus target yang 12 persen. Cuma, saya lihat, PKS lebih berorientasi ke Pilpres. Dengan asumsi, kalau sukses di Pilpres akan berdampak ke Pileg. Padahal nggak begitu juga.

Nah, ketika PKS mengajukan 9 capres atau cawapres, banyak orang bertanya, “Ini PKS serius apa nggak? Partai lain yang cuma punya satu capres atau cawapres aja sampai sekarang masih bingung, apalagi ini ada 9.”


Menurut saya, itu jadi persoalan tersendiri. Dalam bayangan saya, kalau 9 calon ini dikelola sebagai faktor pemenangan di Pileg, sembilan-sembilannya disuruh kerja--keliling, sosialisasi--sampai populer, sampai masyarakat kenal semua sama mereka, 9 calon itu bisa menarik gerbong PKS.

Tapi kan aturan main di PKS justru tidak begitu. Sembilan capres ini tidak boleh bersosialisasi dan tidak boleh bikin tim sukses. Aturan yang ada justru tidak membuat 9 orang itu populer, karena mereka harus duduk manis, diam.

PKS lalu menyodorkan kepada calon partai koalisinya, “Mau nggak koalisi? Kami punya 9 orang. Silakan dipilih.” Kemudian 9 orang itu kayak pengantin, dipingit.

Partai lain kan nggak begitu. AHY (Agus Harimurti Yudhoyono yang digadang Demokrat jadi capres masa depan) disuruh keliling, kerja, kampanye. Cak Imin (Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB yang ditarget partainya jadi cawapres) juga begitu. Romy (Romahurmuziy, Ketua Umum PPP) sama.

Padahal kalau 9 calon PKS didorong sosialisasi, misal Irwan Prayitno (Gubernur Sumatera Barat, satu dari 9 cawapres PKS) diberi tanggung jawab keliling Sumatera, dari ujung Aceh sampai ujung Lampung, itu kan pasti punya efek bagus.

Lalu Ahmad Heryawan keliling Jawa Barat, Hidayat Nur Wahid keliling Jawa Tengah dan Yogya, Anis Matta keliling Sulawesi dari Manado sampai Makassar. Pokoknya 9 calon PKS itu muter se-Indonesia. Kan dampaknya bagus buat PKS. Bisa mendongkrak perolehan suara PKS di Pemilu Legislatif.

Apakah nanti salah satu dari 9 calon itu jadi capres atau cawapres, itu perkara nomor dua. Yang penting PKS aman dulu di Pileg. Tapi nyatanya 9 calon itu tidak boleh bikin tim sukses yang melibatkan kader dan struktur. Dan ini jadi pertanyaan banyak orang. Ada anomali.

Calon-calon PKS seharusnya jadi faktor pendongkrak (suara partai di Pileg), gerakannya justru dibatasi, tak diberi ruang leluasa.

Di sisi lain, logikanya, Prabowo akan mengambil cawapres yang elektabilitasnya bisa mendongkrak perolehan suara dia. Kalau elektabilitas Prabowo berdasarkan survei kurang lebih 20 persen, dia akan berhitung dong. Apalagi elektabilitas Jokowi sudah 50 persen lebih. Jadi mestinya calon PKS berupaya meningkatkan elektabilitasnya dengan gencar berkampanye supaya bisa menambal tambahan elektabilitas yang diperlukan Prabowo.

Calon PKS hasil penjaringan di dalam (partai) ini harusnya dipasarkan ke rakyat Indonesia, dijual. Kalau disimpan di etalase rumah, siapa yang mau beli?

Selain itu, kecenderungan sampai hari ini kan PKS koalisi dengan Gerindra. Tapi kalau Gerindra nanti punya opsi (cawapres) lain, bagaimana? Orang juga melihat ke Pilkada DKI Jakarta 2017. Saat itu PKS dari awal serius mau koalisi dengan Gerindra. Cawagubnya dari PKS waktu itu sudah dideklarasikan, Mardani Ali Sera. Tapi kan ujungnya beda. Lain yang dideklarasikan, lain yang didaftarkan (ke KPUD).

Jadi PKS mestinya menjadikan Pileg sebagai prioritas utama. Strateginya dirumuskan dengan jelas, baru kemudian bicara Pilpres.

Pileg dan Pilpres yang digabung bersamaan memang jadi kekhawatiran hampir semua partai politik. Yang akan mendapat benefit adalah partai yang punya capres. Kalau cuma cawapres, dia nggak akan diuntungkan oleh coattail effect itu. Apalagi kalau nggak punya capres dan cawapres, sekadar mendukung.

PKS kalau mau berhasil mencapai target 12 persen atau minimal bertahan di angka sebelumnya (mendekati 7 persen), harus pastikan betul bisa dapat kursi capres atau cawapres. Dan calon-calon PKS itu betul-betul bekerja untuk mendongkrak suara PKS.

Majelis Syuro belum mengeluarkan keputusan final, tapi PKS tampak sudah sangat firm dengan Gerindra?

Makanya terus mendesak Gerindra dan Prabowo untuk menetapkan pasangan cawapresnya dari PKS. Padahal, Jokowi saja sebagai orang yang paling siap maju Pilpres, ketika ditanya siapa cawapresnya dan kapan mau ditetapkan, dia menjawab, “Oh, masih lama.” Padahal dia petahana, punya resources, punya kontrol, tapi bilang “Ah, masih lama.”

Artinya, dia kalkulasi betul segala kemungkinan dan segala dinamika. Di ujung nanti, baru dia putuskan. Lah ini, PKS kayak kebelet ingin segera memutuskan. Padahal dalam konteks pertarungan politik, itulah yang diinginkan lawan.

Kalau saya sebagai politisi--saya sudah 14 tahun di dunia politik--membaca bahwa Jokowi sebagai incumbent justru ingin Gerindra segera menetapkan partner koalisinya dan siapa pasangan calon Prabowo. Karena itu akan menguntungkan Jokowi. Ia akan berhitung, “Oh, kalau lawannya itu, cawapres saya harus yang ini.”

Soal beredarnya dokumen ‘Mewaspadai Gerakan Mengkudeta PKS’, tanggapan Anda?

Istilahnya begini, kontestasi capres di PKS ini keras, permainan di laut dalam. Di permukaan tenang, tidak kelihatan bergelombang. Tapi di bawah, di kedalaman, arusnya deras.

Ada aturan calon PKS nggak boleh bikin tim sukes, nggak sosialisasi, dibuat setenang mungkin. Tapi di bawah, arusnya deras.

Indikasi kontestasi yang keras (di internal PKS) itu ya beredarnya dokumen itu.

Maksudnya dokumen itu kemungkinan berasal dari orang di internal PKS sendiri?

Memecah belah kan bisa dari dalam atau luar. Kalau melihat dokumen itu, banyak istilah yang membuat bingung orang luar karena terlalu khas PKS. Orang PKS-lah yang mengerti.

Kalau dilihat dari bahasanya, rasanya kecil kemungkinan dokumen itu ditulis oleh orang di luar PKS, karena inisial nama, istilah-istilah yang digunakan, hanya ada di PKS. Ini seperti dari dalam.

Menurut saya, itu bagian dari kontestasi keras di internal PKS. Bertarungnya bukan above the line (diatas permukaan), tapi below the line (dibawah permukaan).

Kontestasi capres di PKS keras. Ini permainan di laut dalam. Di permukaan tak kelihatan bergelombang, tapi di kedalaman arusnya deras.

Dulu, misal, konvensi capres di Golkar kan terbuka. Semua orang bisa vote, lalu terlihat siapa yang dapat suara terbesar atau tertinggi, itulah yang diambil. Kalau kontestasi terbuka, kader bisa menyaksikan, menilai. Tapi ketika kontestasi dibikin tertutup, orang nggak tahu. Kader di bawah pada bingung. Padahal ini mau kontestasi di ajang nasional, bukan untuk memilih Presiden PKS.
Kalau kita lihat dokumen itu, dengan mudah bisa disimpulkan bahwa ada salah satu capres/cawapres di PKS yang ingin disingkirkan. Tapi karena tidak ada kontestasi terbuka, ya akhirnya penyingkirannya dilakukan dengan cara-cara model begitu.

Anis Matta?

Banyak orang menilai kayak gitu.

Respons Anis Matta bagaimana?

Pak Anis ini sekjen PKS dari tahun 1999. Otak dari seluruh pengelolaan pemilu di PKS tahun 2004, 2009, 2014; yang menggerakkan seluruh struktur dan kader. Pengalaman panjang ini membuat Pak Anis punya konsep tentang bagaimana menjalani pertarungan dalam pemilu.

Maka, ketika beliau diamanahkan sebagai satu dari 9 capres atau cawapres PKS, di kepalanya otomatis ‘bekerja’, “Kalau PKS mau menang di Pemilu 2019, mau tercapai target Pileg-nya, Pilpres-nya, kira-kira kerjanya harus seperti ini.”

Yang dipahami Pak Anis Matta, PKS ini parpol. Kalau ingin memimpin negara ya harus kampanye, bikin relawan, sosialisasi sesuai prinsip dakwah.

Tapi pikiran-pikiran itu tak selalu cocok dengan rule of the game DPP PKS yang sekarang--yang berpikir 9 capres/cawapres PKS tenang saja, nggak usah sosialisasi dan nggak usah bikin tim sukses juga relawan, nanti toh komunikasi dengan parpol calon mitra koalisi, kemudian minta Gerindra pilih 1 dari 9 nama itu, setelahnya baru disepakati biayanya bagaimana, cara menangnya bagaimana.

Ini kan kayak orang mau nikah zaman Siti Nurbaya. Dipingit di rumah, lalu calon pengantin pria datang, disodori, “Nih, anak perempuan saya ada 9. Silakah dipilih.” Nah, ini nggak masuk dengan cara berpikir Pak Anis. Makanya dia bergerak untuk mendongkrak suara PKS di Pileg.

Ini yang dipahami berbeda oleh DPP PKS. Ia (Anis Matta) dianggap keluar dari tradisi, dari aturan. Maka muncullah pertarungan diam-diam di bawah, salah satunya lewat dokumen itu.

Artinya konflik internal di PKS tak pernah sepenuhnya surut?

Nyatanya orang-orang membaca, Pak Anis selalu dihalang-halangi. Mau deklarasi relawan dihalangi, mau kunjungan ke daerah dihalangi. Bahkan muncul dokumen Pak Anis disebut mau mengkudeta (PKS).

Secara terpisah, Presiden PKS Sohibul Iman membantah ada upaya menghambat Anis Matta. “Enggak ada yang menghambat. Itu persepsi saja.”

Orang lalu berspekulasi ada masalah di PKS, dan Anis Matta sosok yang tidak diinginkan setelah ia tak lagi menjadi Presiden PKS, karena orang-orang yang dinilai dekat dengannya dirotasi dan dimutasi dari berbagai posisi.

Sampai sekarang gelombangnya masih terus terjadi. Yang terakhir, Ketua DPW PKS Sumatera Selatan diganti. Sebelumnya di Jawa Tengah.

Di Maluku Utara, kader PKS yang dipecat sudah 32 orang. Mereka dipecat dari keanggotaan partai karena alasan indisipliner. Sekarang yang terancam lagi di Sulawesi Utara atau Tenggara, saya nggak ingat persis.

Ada yang dipecat dari jabatan, ada yang dari keanggotaan partai. Jumlahnya sama-sama sudah banyak. Jadi sulit membantah dan menutup-nutupinya dari orang luar.

Menurut saya, ini persoalan proses transisi regenerasi kepemimpinan di PKS. Dulu tahun 2015, terjadi transisi kepemimpinan di PKS dipicu oleh kasus LHI (Luthfi Hasan Ishaaq, mantan presiden PKS yang terjerat kasus suap kuota impor daging sapi). Yang mendorong ide transisi kepemimpinan di PKS itu adalah Anis Matta.

Tampaknya, orang-orang yang tidak legowo dengan proses transisi itu mencoba melakukan operasi tiji tibeh--mati siji, mati kabeh. Makanya sekarang Pak Anis Matta dan semua orang yang dikategorikan orang dekatnya disingkirkan.

Presiden PKS Sohibul Iman membantah hal itu. “Bukti dipecat itu apa? Di PKS, tidak ada kalau tidak indisipliner. Kalau dirotasi, dari DPW naik ke DPP, itu bukan dipecat, tapi justru dipromosikan. Jadi orang-orang yang bicara seperti itu (ada gerakan sapu bersih terhadap loyalis Anis), itu orang-orang yang tidak tahu, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau tahu.”

Pemilu sudah dekat dan PKS malah diam-diam berkonflik. Bagaimana jadinya?

Menurut saya, jangan ditutup-tutupi. Karena semakin ditutupi, makin panjang usia konflik itu. Akui saja. Toh semua parpol mengalaminya, pernah berkonflik.

Setelah diakui, duduk bersama, buka masalahnya di atas meja. Kalau ditutupi lalu cuma bilang “Kami solid”, urusannya ya panjang. Pemilu selesai, (konflik) ini belum tentu selesai.

Apakah bisa mengancam masa depan PKS?

Sangat mungkin, kalau cara mengelola konfliknya seperti ini.

Anda sendiri tidak ‘terancam’?

Saya sudah nggak maju Pileg, dan itu tidak penting. Nasib PKS di Pemilu 2019 yang mengganggu pikiran saya, karena keputusan keliru dari pimpinan efeknya panjang.

Saya bicara begini juga bukan tanpa risiko indisipliner. Tapi nyatanya banyak kader gelisah.***

(Sumber: Kumparan)


Baca juga :