Ideologi Kaum Teroris, Kematian dan Arah Perjuangan Islam


[PORTAL-ISLAM.ID]  KAPOLRI menjelaskan pelaku teroris di Surabaya yang membom 3 gereja adalah satu keluarga. Statemen Kapolri ini menjadi rujukan semua berita dunia internasional. Ini adalah berita baru di mana kematian suatu keluarga dilakukan secara bersama-sama. Tragis.

Dalam film Dawnfall, yang memfilmkan akhir-akhir kehidupan Hitler, sahabat setia Hitler, Josep Gobbel dan Magda Gobbel, istrinya, meminumkan racun kepada 6 anaknya yang cantik-cantik dan kecil-kecil. Anak perempuan yang berusaha menolak dipaksa suami istri itu untuk meminum racun tersebut. Dia menolak karena melihat saudaranya merasa pahit atas minuman itu. Mereka tidak tahu itu racun, tentunya, namun terpaksa juga meminum.

Setelah beberapa saat, Magda datang kembali ke kamar memasukkan pil kematian kepada semua anaknya yang sudah tidur, untuk memastikan anaknya semua mati. Itulah sikap Josep dan Magda Gobbel, manusia-manusia terakhir pecinta Hitler, yang ingin semua mereka mati bersama "imam" mereka, Hitler.

Di Amerika Latin, tokoh terbesar sepanjang sejarah, Fidel Castro, dalam "quote" nya yang paling terkenal berkata "a revolution is not a bed of roses, a revolution is the struggle to the death between the future and the past". Castro mengatakan revolusi, yang dilakukan selama hidupnya melawan Amerika dan barat, adalah perjuangan untuk kematian.

Kematian-kematian dalam cerita di atas, semua terkait dengan politik dan ideologi. Kematian keluarga di Surabaya terkait dengan politik Islam ekstrim sebagai ideologi. Cerita film Dawn fall terkait dengan Nasionalism German sebagai ideologi. "German ubber alles" (Jerman di atas segala-galanya). Ras Aria harus lebih unggul dari Yahudi. Dan terakhir, Castro di atas terkait komunisme ekstrim sebagai ideologi.

Ideologi sebagai sebuah faham kebenaran, memang mampu menggerakkan orang orang yang meyakininya mengorbankan dirinya, bahkan dalam hal nyawa. Pengorbanan nyawa biasanya ketika bagian ideologi yang berajarkan ekstrimisme jadi panutan.
Kematian dalam memperjuangkan keinginan politik berbasis ajaran ideologi maupun agama diyakini juga sebagai sifat dasar manusia untuk dilihat sebagai hero (pahlawan) bagi kelompoknya, apalagi jika kelompok tersebut percaya pada adanya hari akhirat, maka kematian dikaitkan dengan kehidupan yang dijanjikan tuhannya di dunia lain.

Kematian keluarga Dita, bomber Gereja itu, bersama istri dan anaknya, tentu menunjukkan kabar kepahlawanan bagi kaumnya. Dalam dimensi ini, kepahlawanan tersebut akan meningkatkan keberanian mereka untuk melakukan teror  dan kejahatan terorisme.

Perjuangan Islam
Semua ideologi dan agama mengajarkan perjuangan menegakkan keadilan. Islam juga demikian. Islam mengajarkan ajaran hidup baik dan buruk,  ajaran politik dan perang dalam memperebutkan dan mempertahankan hak, ajaran ekonomi berbasis keadilan sosial dan ajaran mengasihi sesama manusia.

Dalam konteks Islam dan ke Indonesiaan, pemahaman kelompok kelompok pergerakan Islam bervariasi sesuai dengan penafsiran meraka atas ajaran Islam. Dalam kelompok ekstrem, penganut bahwa Islam di atas segala galanya, tentu perasaan berbagi kebenaran dengan kelompok lainnya tidak terjadi, bahkan dengan sesama kelompok Islam. Hanya ada kebenaran tunggal bagi mereka. Inilah sisi ekstrimisme.

Dalam sebuah ekstrimisme, pilihan ajaran dan tafsirnya disesuikan dengan karakter perjuangan kelompok tersebut. Itulah yang terjadi pada kaum teroris.

Namun, di sisi lain, secara mainstream, atau arus utama, kelompok pergerakan Islam mengakui bahwa Indonesia adalah "negara perjanjian", sebuah negara yang "Bhinneka Tunggal Ika". Sebuah negara yang dibentuk atas kesepakatan dan kesepahaman adanya berbagai kelompok, baik berbeda agama, suku dan ideologi.

Ekstrimitas kelompok tengah atau arus utama ini, jika terjadi, misalnya seperti Habib Rizieq dan 212, tetap mengakui demokrasi atau perebutan dominasi secara fair, misalnya dalam kasus pilkada Jakarta lalu. Sedangkan kelompok teroris, mereka sudah tidak percaya dalam kehidupan majemuk bangsa kita.

Perjuangan pengikut Rizieq yang ekstrim dan mengalami berbagai tekanan dan bahkan penjara dari penguasa, misalnya di jaman Jokowi, tidak membuat mereka menjadi keluar arus utama. Sebab, pemahaman mereka terhadap ajaran Islam dan ke Indonesiaan telah selesai, sebagaimana tokoh2 Islam di masa kemerdekaan. Yakni, dalam bingkai NKRI.

Menyikapi Terorisme

Kematian keluarga Dita dengan anak anaknya tersebut jangan membuat kita empati. Kita justru harus menilai bahwa mereka telah merongrong perjuangan kelompok arus utama menjadi terganggu. Sejak kemenangan kelompok 212 di pilkada Jakarta, perjuangan ke tingkat nasional sudah semakin dekat. Gerakan #2019 Ganti Presiden, bahkan sudah manifes, artinya bukan lagi bersifat netizen alias medsos, tapi sudah tumpah ke jalan jalan.

Pengorbanan yang dilakukan kelompok arus utama juga sudah banyak sekali, meski belum pada tingkat kematian. Namun, umpamanya, pengasingan dan fitnah yang dialami imam Habib Rizieq Sihab, hampir sederajat atau bahkan lebih kejam dari kematian.

Namun, sekali lagi, semua kemenangan harus dalam permainan yang disepekati, yakni saat ini demokrasi. Dengan demokrasi, ummat Islam di Jakarta, saat ini sudah bisa bebas menjalankan ajaran dan praktek ajaran Islam, seperti Sholat Taraweh di Monas (bulan Ramadhan nanti), yang dulu dilarang Ahok. Ummat Islam mampu mengalahkan Ahok yang anti Islam dengan cara cara yang benar. Dan itu sebenarnya mungkin sebentar lagi akan mengalahkan Jokowi pula di tingkat nasional. Itu adalah yang disebut sebagai kesabaran revolusioner, sedangkan langkah teroris adalah langkah-langkah reaksioner.

Umat Islam dan elit politik Islam, khusus kaum 212, secepatnya harus terlibat dalam situasi panas saat ini. Roosevelt mengatakan tidak ada yang kebetulan dalam politik. Mengucapkan belasungkawa adalah hal baik. Namun, memplototi arah politik rezim, seperti RUU Anti Terorisme dan isu Perpu UU Terorisme, juga sama pentingnya. Jangan sampai segelintir teroris mampu melumpuhkan perjuangan ummat Islam yang determinan menuju 2019.
Baca juga :