Menakar Kecilnya Peluang Jokowi di 2019


[PORTAL-ISLAM.ID]  Dalam beberapa bulan terakhir ini kita merasakan perang urat syaraf, opini, adu argumentasi dan bahkan “adu kuat” antara pendukung Jokowi dan pendukung non Jokowi atau ABJ alias Asal Bukan Jokowi. Sesuatu yang lumrah dalam alam demokrasi, sepanjang berjalan dalam koridor aturan main dan fair.

Sebagaimana dalam dunia olah raga, incumbent atau petahana cenderung lebih stres, gugup, emosionil dan mudah panik. Disisi lain, petahana umumnya memiliki lebih banyak resources termasuk fasilitas dan jaringan (kekuasaan) formal dan atas non formal.

Tetapi karena sering panik, kelebihan2 ini kadang justru digunakan secara non-produktip baik dalam bentuk pernyataan maupun tindakan. Misalnya pernyataan bahwa mayoritas rakyat masih menginginkan Jokowi padahal hasil hasil survey politik, bahkan dari lembaga survey yang ditengarai sering berpihak sekalipun, menyimpulkan bahwa elektabilitas Jokowi masih yang tertinggi tetapi dibawah 50%. Artinya bukan mayoritas.

Contoh lain adalah tindakan hukum yang sering dirasakan atau dianggap berat sebelah yang diam diam sebenarnya justru merugikan petahana sebab semakin mensolidkan sikap pesaing yang akan diwujudkan nanti pada hari H dengan tidak memilih petahana.

Dalam pilpres 2014 yang lalu Jokowi relatip hanya menang tipis dari Prabowo Subianto. Meski sudah berkuasa 3,5 tahun, nampaknya Jokowi gagal memelihara jumlah pendukungnya. Sinyalemen ini dapat diketahui dari berbagai survey yang umumnya menampilkan elektabilitas Jokowi dibawah 50%, bahkan hanya sekitar 35%.
Artinya terjadi penurunan jumlah pendukung Jokowi. Penurunan ini juga sejalan dengan observasi umum yang tidak menemukan perubahan sikap kelompok pemilih dari semula non-Jokowi menjadi Projo. Sebaliknya kita sering melihat dari Projo yang kecewa menjadi non-Jokowi bahkan anti Jokowi.

Bagaimana dengan parpol parpol yang pada pilpres 2014 yang lalu tidak mendukung Jokowi tetapi kini mendukung Jokowi maju lagi dalam pilpres 2019? Jawabnya sederhana saja bahwa dukungan parpol hanyalah tiket pencalonan ke KPU. Tidak berbanding lurus dengan perolehan suara. Dan itu sudah dibuktikan sejak terpilihnya SBY dalam pilpres 2004 maupun dalam banyak pilkada, termasuk saat terpilihnya Jokowi sebagai Gub DKI yang masing masing kemenangannya tidak berbanding lurus dengan besarnya dukungan parpol. Artinya dukungan resmi parpol boleh saja minimalis tetapi memperoleh kemenangan yang meyakinkan, dan sebaliknya yang besar dukungan parpolnya tetapi dikalahkan telak oleh pilihan rakyat.

Sudah menjadi rule of thumb bahwa dalam simple majority system, untuk layak dimajukan lagi seorang petahana “disyaratkan” memiliki dukungan atau elektabilitas minimal 60% dengan perhitungan kalau ada penurunan dukungan sampai 10%, masih memperoleh sisa 50% plus alias masih menang.

Jika elektabilitas petahana dibawah 60%, parpol pendukung biasanya ragu ragu untuk mencalonkan kembali, dan bila di bawah 50% logikanya parpol pendukung akan mengajukan calon lain. The simple theory atau argumentasi dari logika tersebut,— selain dari kebiasaan dan empiris di negara negara demokrasi,— bahwa seorang petahana itu telah manggung dengan jabatan dan kekuasaannya sehingga sudah jelas kualitasnya, baik buruknya, atau kinerjanya dimata pemilih. Maknanya, para pemilih sudah mengetahui dengan jelas alasan dukungan atau penolakannya terhadap petahana. Bukan lagi membeli kucing dalam karung.

Oleh karena itu seorang petahana yang hanya didukung kurang dari 50% hampir dapat dipastikan akan kalah. Contoh terakhir dalam pilpres adalah Ibu Megawati sebagai petahana yang di kalahkan SBY dalam pilpres 2004, sejalan dengan hasil survey bahwa dukungan terhadap Ibu Megawati selaku petahana dibawah 50%. Atau contoh terakhir dalam pilkada adalah kekalahan Ahok dalam pilkada DKI. Selaku petahana, dukungan terhadap Ahok sesuai hasil hasil survey, seingat saya, selalu dibawah 50% meski selalu tertinggi dibandingkan calon calon yang lain. Bahkan dalam putaran pertamapun Ahok memperoleh suara tertinggi, melampaui suara Anies Baswedan. Tetapi dalam putaran kedua atau akhir, Ahok dikalahkan Anies yang sebelumnya baik dalam survey survey maupun putaran pertama kalah oleh Ahok.

Perolehan suara petahana biasanya memang stagnan. Ini menjelaskan bahwa dukungan terhadap petahana,- ceteris paribus—, cenderung fixed. Mengapa? Sekali lagi karena pemilih sudah tahu kinerja petahana. Jadi yang mendukung akan benar benar mendukungnya dan yang menolak juga akan benar benar menolaknya. Inilah untung ruginya petahana.

Oleh karena itu sungguh keliru bila elektabilitas petahana dibandingkan dengan calon penantangnya. Hampir dapat dipastikan petahana akan selalu unggul seperti halnya Ahok dalam pilkada DKI, ataupun kini dalam hal menyongsong pilpres 2019. Elektabilitas Jokowi akan lebih tinggi dari calon lainnya. Meski begitu, sepanjang elektabilitas petahana dibawah 50%, hampir dapat dipastikan petahana akan kalah.

Mengapa? Sebab berarti lebih dari 50% pemilih tidak mendukung petahana yang untuk sementara suaranya mungkin masih terpecah pecah atau terbagi bagi ke beberapa calon, atau sengaja belum menentukan sikap pilihannya tetapi hampir dapat dipastikan tidak ke petahana. Tetapi bila nantinya head to head antara petahana dengan penantangnya, suara yang tidak mendukung petahana atau belum bersikap tadi akan merge (bersatu) untuk atau demi mengalahkan petahana.

Dengan demikian adalah suatu kekeliruan besar bila kita membandingkan elektabilitas petahana dengan elektabilitas para penantangnya. Elektabilitas petahana hanya dapat dibandingkan dengan dirinya sendiri yaitu berapa besar yang tidak mendukungnya.

Perbandingan elektabilitas sesama calon hanya dapat di sajikan (sebagai rujukan) bila sama sama baru, tidak ada calon petahana.

Dari gambaran keadaan diatas dapat dimengerti bahwa para bakal calon dengan Tim suksesnya harus beradu cerdas mengatur strategi. Para pemilih juga harus cerdas dalam menyikapi issue, pembentukan opini dan membaca hasil hasil survey. Perbandingan elektabilitas petahana dengan calon lain yang bukan petahana misalnya, bukanlah perbandingan apple to apple dan karena itu tidak usah dibeli.

Kita juga bisa memahami (bila benar) issue yang berkembang bahwa strategi tim sukses petahana adalah menawarkan calon penantang yang paling potensial untuk menjadi cawapresnya. Ini adalah strategi yang amat jitu dan murah /efisien dari petahana yang hanya mempunyai dukungan dibawah 50% sebab akan melahirkan calon tunggal, atau mungkin cukup memasang calon boneka untuk sekedar memenuhi syarat formal. Tetapi blunder bagi sang penantang dan kekuatan pendukungnya.

Karena itu keputusan Gerindra dan parpol parpol pendukung Prabowo untuk tetap mengajukan Prabowo sebagai capres dalam pilpres 2019 sudah tepat, sebab selain berpeluang memenangkan pilpres, setidak tidaknya juga akan meningkatkan perolehan suara legislatif parpolnya.

Sebaliknya kita juga bisa memahami bila ada strategi para capres yang tidak mengambil tokoh parpol sebagai cawapresnya karena yang penting adalah kuatnya dukungan suara.

Kita juga bisa memahami issue bahwa petahana ingin tetap berpasangan dengan JK mengingat kemenangan dalam pilpres 2014 adalah karena faktor JK yang dianggap sebagai tokoh Islam sekaligus tokoh Indonesia timur. Saya kira tanpa JK, dukungan kepada Jokowi akan lebih turun lagi. Tapi nampaknya JK terhalang oleh larangan konstitusi karena sudah 2 kali menjadi warpes.

Dengan demikian sungguh naif bagi mereka yang telah membuat kekeliruan analisa dalam pilkada DKI dengan meyakini Ahok akan menang (padahal elektabilitasnya, meski selalu diatas yang lain, tapi tidak me lebihi 50%), kini membuat kesalahan serupa bila meyakini Jokowi akan menang padahal elektabilitasnya jauh di bawah 50%.

Karena itu prediksi 2019 akan ada presiden baru, bukan prediksi yang tidak berdasar.

Penulis: Dr. Fuad Bawazier, ekonom senior dan mantan Menkeu

Baca juga :