Jokowi Terancam Batal Nyapres


Oleh : Hersubeno Arief
(Wartawan senior, konsultan media)

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pernah menyampaikan sebuah statemen yang aneh bin ajaib. "Jokowi terancam tidak mendapat tiket Pilpres 2019". Bagaimana mungkin seorang incumbent dengan elektabilitas tertinggi, dan didukung oleh hampir semua partai, bisa tidak mendapat tiket?

Dinamika politik akhir-akhir ini menunjukkan apa yang disampaikan oleh Fahri bukan sekedar pernyataan konyol, yang tak layak ditanggapi. Sebagai politisi yang menempati posisi cukup penting, Fahri tentu punya akses ke banyak kalangan, terutama para petinggi parpol.

Kendati tidak seekstrem yang dikatakan Fahri, namun dinamika politik saat ini berjalan menuju arah sebaliknya dari keinginan Jokowi. Alih-alih menjadi calon tunggal melawan kotak kosong –atau Jokowi paling banter head to head melawan Prabowo— ada tanda-tanda Pilpres 2019 akan diikuti oleh tiga, bahkan mungkin saja empat kandidat. Skenarionya kira-kira model Pilkada Jabar 2018 yang diikuti empat pasang kandidat.

Skenario pertama, keinginan Jokowi untuk menggandeng Prabowo sebagai cawapres terwujud. Seperti dikatakan Jokowi dalam Mata Najwa, komunikasinya dengan Prabowo masih terus berlanjut. Apa artinya? Opsi menjadikan ketua umum Partai Gerindra itu sebagai pasangannya masih tetap terbuka, kendati Prabowo telah menyatakan menerima mandat sebagai capres. Jokowi tampaknya termasuk penganut, “sebelum janur kuning melengkung,” tak ada kata menyerah untuk meminang seorang tambatan hati.

Skenario kedua, komposisi koalisi tetap seperti saat ini. PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, Hanura, plus PKB. Jokowi memutuskan untuk mengusung cawapres dari PDIP. Pilihannya bisa Puan Maharani atau Kepala BIN Budi Gunawan (BG).

Skenario ketiga, Jokowi memilih salah satu cawapres dari partai pendukung, di luar PDIP. Pilihannya bisa Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, atau Ketua Umum PPP Romahurmuziy (Rommy). Atau kalau Demokrat bergabung, menggandeng Agus Harimurti.

Skenario keempat, Jokowi memilih calon diluar semua partai pendukung. Dia menggandeng cawapres yang dekat dengan umat Islam. Pilihannya bisa Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Ketua MK Mahfud MD, atau Gubernur NTB Tuan Guru Bajang.

Bisa tiga sampai empat poros

Skenario manapun yang dipilih oleh Jokowi, apakah skenario pertama, kedua, ketiga, dan keempat semuanya membuka peluang terbentuknya poros baru.

Bila skenario pertama yang terjadi –Prabowo bergabung dengan Jokowi– partai-partai lain di dalam koalisi, akan berhitung ulang cost and benefit untuk tetap bertahan. Keberhasilan meminang Prabowo bisa menjadi pintu awal pecahnya soliditas partai-partai pendukung Jokowi. Seperti dikatakan oleh Rommy, kecuali dirinya, tidak ada ketua umum partai pendukung yang setuju.

Kalkulasinya sangat jelas. Selain banyak ketua umum partai yang diam-diam mengincar posisi sebagai cawapres, hampir dapat dipastikan jatah kementrian juga akan berkurang. Apalagi bila persyaratan Prabowo untuk mengontrol militer dan mendapat jatah 7 kementrian disepakati.

Dalam kabinet Jokowi saat ini ada 34 menteri dan 8 orang pejabat setingkat menteri. Yang terbanyak mendapat jatah PDIP sebanyak 5 kursi. Yang lainnya ada yang mendapat 4 kursi (PKB), 3 kursi (Golkar, dan Nasdem), 2 kursi (Hanura). Sementara yang mendapat jatah 1 kursi (PPP, PAN). Sisanya diisi oleh profesional.

Berapa jatah kursi-kursi partai pendukung bila Gerindra saja mendapat jatah 8 kursi kementrian? Belum lagi bila Demokrat bergabung. Agak sulit membayangkan bagi-baginya.

Bagi partai-partai tersebut, jatah kursi yang memadai bisa menjadi kompensasi atas kemungkinan rendahnya elektabilitas, karena tidak mengusung capres dari kalangan internal. Gerindra misalnya dari sejumlah survei menunjukkan bahwa pemilihnya yang akan memilih Jokowi sangat kecil. Jadi hampir dipastikan bila Prabowo bergabung dengan Jokowi, elektabilitasnya akan jeblok. Namun dengan mendapat jatah wapres dan 7 pos kementrian, imbalannya cukup sepadan.

Bagaimana dengan partai lain, seperti PAN, Demokrat, atau PKB? Apakah mereka bersedia menukar jebloknya elektabilitas partai hanya dengan satu atau dua kursi kementrian?

Selain partai koalisi, dampak pilihan Jokowi juga akan berimbas pada koalisi PKS dengan Gerindra. PKS akan kehilangan jodoh. Skenario Pilkada Jabar, dimana cagub Deddy Mizwar ditinggalkan Ahmad Syaichu terulang kembali. Hanya saja bila di Jabar PKS meninggalkan Demokrat untuk bergabung dengan Gerindra, maka kali ini PKS yang ditinggalkan Gerindra, kemungkinan terbesar PKS akan bergabung dengan Demokrat. Déjà vu.

Skenario larinya “pasangan pengantin” seperti cerita film Runaway Bride (1999) yang dibintangi oleh Julia Robert dan Richard Gere ini tampaknya sudah dibaca oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Melalui Syarif Hasan, SBY sudah minta bertemu dengan Presiden PKS Sohibul Iman untuk membahas kemungkinan pembentukan poros ketiga. Agar memenuhi syarat presidential threshold, mereka harus menggandeng PAN, atau PKB.

Bila skenario kedua yang dipilih, apakah partai pendukung bisa menerima capres-cawapres yang semuanya berasal dari PDIP. Mereka hanya akan menjadi dayang-dayang pengiring mempelai PDIP. Golkar, PKB, PPP, yang selama ini sudah mengincar posisi cawapres besar kemungkinan akan angkat kaki.

Yang paling besar berpeluang hengkang adalah PKB. PKB misalnya, menjadikan tiket cawapres bagi Ketua Umum Muhaimin Iskandar (Cak Imin), sebagai persyaratan mereka bergabung dengan poros Jokowi (Join), maupun poros Prabowo (Poin). Sementara Ketua Umum PPP Rommy menunggu bola muntah.

Kalau toh akhirnya mereka bisa menerima cawapres dari PDIP siapa yang akan diusung? Puan atau BG? Salah satu yang dipilih juga akan mengundang persoalan. Faksi para pendukungnya tidak akan puas, dan soliditas internal PDIP bisa terganggu.

Bila Megawati memilih menyodorkan Puan dengan pertimbangan kelanjutan trah Soekarno, BG pasti akan sangat kecewa. Padahal pengaruhnya di PDIP juga cukup besar. Sementara bila BG yang dipilih, bagaimana dengan kelanjutan dan masa depan politik trah Soekarno?

Skenario ketiga, Jokowi memilih cawapres dari partai pendukung di luar PDIP? Bila opsi itu yang dipilih Jokowi, besar kemungkinan yang akan pertamakali hengkang adalah PDIP. Bagi PDIP terutama Megawati, periode kedua Jokowi ini merupakan momentum yang sangat krusial. Siapapun yang dipilih Jokowi sebagai cawapres, apalagi bila dia masih berusia muda, berpeluang menjadi penerusnya.

Mega tentu tidak ingin, Puan yang dipersiapkannya sebagai putri mahkota dan penerus dinasti Soekarno berhadapan dengan seorang incumbent pada Pilpres 2024. Karena itu bila Jokowi memilih cawapres dari luar Puan atau PDIP, maka tidak ada pilihan lain dia harus menantang Jokowi dengan membentuk poros tersendiri.

Di Jabar PDIP akhirnya menunjuk pasangan TB Hasanuddin-Anton Charliyan menantang calon yang didukung Jokowi pasangan Ridwan Kamil- Uu Ruzhanul Haq (Nasdem, PPP, PKB, Hanura), Deddy-Mizwar-Deddy Mulyadi (Demokrat-Golkar), dan Sudradjat Syaichu (Gerindra-PKS).

PDIP pada Pileg 2014 memperoleh 109 kursi di parlemen. Hanya kurang tiga kursi untuk memenuhi syarat presidential threshold. Dia cukup menggandeng Hanura (16 kursi), atau Nasdem (35 kursi).

Bila Jokowi memilih skenario keempat, hampir sama dengan skenario ketiga, PDIP hengkang plus sejumlah partai pendukung lainnya. Skenario keempat inilah yang membuka peluang kemungkinan akan terbentuk poros keempat, yang dibentuk oleh sempalan pendukung Jokowi di luar PDIP. Elektabilitas Jokowi yang tidak cukup tinggi, membuat banyak kandidat berani dan cukup percaya diri untuk menantang Jokowi.

Nah bagaimana dengan kemungkinan Jokowi tidak mendapat tiket? Skenario ini bisa terjadi bila rupiah terus terpuruk, utang terus menggunung, para investor menarik dananya dari Indonesia, dan ekonomi Indonesia terpuruk. Elektabilitas Jokowi bisa terjun bebas. Saat itu partai pendukung akan segera berkemas menyelamatkan diri masing-masing.

Tanda-tanda itu mulai membayang seiring melemahnya rupiah terhadap dolar, rontoknya IHSG dan tidak lakunya surat utang negara yang diterbitkan pemerintah. Rupiah sampai akhir pekan ini sudah menyentuh level Rp 14.000/USD, sementara dari lima seri surat utang negara yang ditargetkan bakal meraup Rp 17.02 triliun, baru terjual Rp 6.5 triliun.

Agar skenario terburuk itu tidak terjadi, Jokowi harus bekerja sangat-sangat keras. Dia tengah menghadapi ancaman sangat serius dari internal, dan eksternal. Kalau hanya dengan naik motor besar, dan bagi-bagi sembako, semua persoalan tersebut tidak akan teratasi. End

28/4/18

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/jokowi-terancam-batal-nyapres/

Baca juga :