Kritiklah Daku, Kau Kusuruh Atasi Masalah


KRITIKLAH DAKU, KAU KUSURUH ATASI MASALAH

by: Iramawati Oemar*

Sungguh "ajaib" cara pemerintah jaman now menjawab kritik dari masyarakat.

Ketika harga beras naik tinggi pada Februari 2015 lalu, masyarakat mengeluhkan mahalnya harga beras. Menko PMK (dahulu sebutannya Menko Kesra) Puan Maharani menjawab: jangan banyak-banyak makan nasi.

Hai, hellooo..., tidak semua rakyat sedang dalam program diet karbohidrat. Justru bagi sebagian besar wong cilik yang setiap hari bekerja keras dengan tenaga fisik, yang penting perut kenyang. Dan rasa kenyang itu mereka dapat dari makan nasi. Mereka gak sanggup beli roti, makan sereal, minum susu coklat kental, banyak makan buah. Tidak, bagi mereka yang penting nasinya banyak, lauknya sedikit tak apalah, yang penting ada sambal dan disiram kuah sayuran. Jadi, kalau disuruh kurangi makan nasi, apa tidak makin memberatkan bagi rakyat karena harus mencari bahan lain pengganti nasi untuk sekedar mengganjal perutnya?!

Ketika harga cabe mahal, Mentan meminta kaum ibu menanam cabe sendiri. Seakan dia tak berpikir bahwa yang keberatan dengan harga cabe yang mencekik leher bukan cuma ibu rumah tangga yang tiap hari cuma butuh segenggam cabe untuk secobek sambal di meja makan. Bagaimana dengan pemilik warteg, pedagang bakso, warung Padang, dll, yang setiap harinya butuh cabe dalam jumlah banyak?! Apakah mereka semua punya cukup lahan untuk tanam cabe?! Apakah semua orang punya waktu cukup untuk merawat tanaman cabenya agar terus berbuah lebat sepanjang tahun?!

Ketika tarif listrik terus "disesuaikan" sehingga rakyat harus menanggung biaya dua kali lipat dari biasanya, kritikan atas mahalnya tarif listrik dijawab "cabut saja meterannya!" dengan kata lain "ya elo gak usah pake listrik!".

Luar biasa sekali, seolah kompak kalau ada kritikan dan keluhan masyarakat, dikembalikan kepada masyarakat masalahnya.

Untunglah saat banyak yang berteriak harga telur ayam mahal, tidak disuruh bertelur sendiri. Mungkin karena keburu disindir nettizen.

***

Jagad medsos heboh pasca Zaadit Taqwa mengacungkan kertas kuning kepada Presiden Joko Widodo saat Dies Natalis UI, Jum'at 2 Februari kemarin lusa.

Sontak Zaadit dibully disemua lini medsos. Akun Instagramnya diserbu loversnya pak jokowi.

Seorang buzzer menulis "prestasi" presiden yang kemudian diviralkan para lovers.

Namun satu hal yang nyaris seragam dari hujatan mereka kepada Zaadit Taqwa maupun kepada mahasiswa UI: mereka menyuruh siapapun yang mengkritik soal kondisi gizi buruk di Asmat-Papua, agar berangkat saja kesana. Mereka yang berang dengan kartu kuning untuk Jokowi, menantang agar para dokter muda lulusan FKUI untuk berangkat ke Papua. Pokoknya intinya yang mengkritik harus bisa membuktikan berangkat sendiri kesana.

Bukan hanya buzzer dan tim horenya yang beargumen demikian. Tak kurang Presiden Jokowi sendiri, menurut kabar berita di sebuah media, akan memberangkatkan Zaadit ke Asmat. Padahal Presiden sendiri pernah berdalih akses ke sana sulit, ketika awal mula kasus wabah campak dan gizi buruk di Papua diblow-up media.

Jadi, kalau pemerintah sendiri merasa kesulitan akses kesana, mengapa malah menyuruh mahasiswa pergi kesana?!

Sulitnya akses menuju kesana seakan membantah dengan sendirinya gembar gembor soal infrastruktur hebat yang dibangun di Papua. Nettizen mungkin masih ingat, sekitar 2,5 tahun lalu ada kabar heboh, konon katanya di Papua telah dibangun jalan raya yang membelah hutan Papua. Belakangan, klaim itu ketahuan bahwa yang diambil adalah foto dari sebuah hutan di Amazon. Nettizen kemudian menyindirnya dengan meme "Hutan Terbelah di Langit Papua", plesetan dari sebuah judul film.

Klaim hebat soal pembangunan jalan raya yang membelah Papua itu seakan contoh nyata dari "smoke and mirror" yang belum lama ditulis jurnalis asing.

Mungkin itu sebabnya jurnalis BBC dipulangkan ke Jakarta dan dilarang melanjutkan peliputan di Agats, agar mereka tak bisa memotret yang sebenarnya.

***

Kembali ke soal reaksi di medsos atas kartu kuning dari Zaadit. Tak kurang seorang Gubernur yang juga cagub, Ganjar Pranowo, ikut memamerkan lewat twit-nya, sebuah PTN ternama yang akan berangkat ke Asmat, Papua. Seakan hendak menyindir UI, dalam twitnya Ganjar menyebut tri dharma perguruan tinggi.

Alumni UI pun tak tinggal diam. Lewat medsos pula mereka mengunggah rekaman dokumentasi yang menunjukkan bukti kehadiran civitas akademika dan alumnus UI di Papua, sejak belasan tahun lalu. Bahkan lengkap dengan foto-foto bertanggal 3 dan 4 Februari 2018, artinya sampai saat ini mereka hadir disana. Mereka buat narasi yang indah namun menohok FP KataKita, makjleb!

Sungguh lucu reaksi semacam ini. Tri dharma perguruan tinggi sudah ada sejak jaman dulu. Di masa Orde Baru ada SKS wajib yang harus dijalani mahasiswa, namanya KKN, Kuliah Kerja Nyata. Setiap kampus punya daerah tujuan KKN. Belum lagi jika ada bencana nasional, sudah jamak perguruan tinggi mengirimkan bantuan.

Namun dalam kasus wabah campak dan gizi buruk yang menelan jiwa puluhan anak suku Asmat di Papua, sejak September 2017, apakah bisa tanggung jawab itu dipikulkan kepada perguruan tinggi?!
Kenapa Pemerintah baru aware setelah harian Kompas menampilkan headline berita plus foto di halaman pertama?! Apa yang sudah dilakukan sejak September 2017? Jika tindakan preventif dan kuratif segera dilakukan, mungkin tak akan sebanyak itu anak-anak Asmat yang harus meregang nyawa.

Tri dharma perguruan tinggi dan tugas serta peran pemerintah adalah 2 hal yang berbeda. Negara harus hadir bahkan sejak awal wabah itu melanda. Kenapa sampai terjadi gizi buruk, benarkah masalahnya hanya karena masyarakat setempat kurang peduli kebersihan?! Ataukah ada faktor lain, misalnya mahalnya harga pangan dan sulitnya mendapatkan nasi dan lauk pauk?

Negara punya banyak perangkat yang dikelola oleh pemegang kekuasaan, yaitu Pemerintah. Jika persoalannya vaksinasi dan pemulihan kesehatan, ada Kementrian Kesehatan. Jika masalahnya kelangkaan dan mahalnya bahan pangan, ada Kementrian Pertanian. Jika masalahnya sulit akses, pemerintah bisa mengerahkan kapal TNI AL untuk membawa bahan pangan ke Papua dan meminta TNI AU mengerahkan pesawat dan helikopter untuk membawa tenaga medis berpengalaman, bukan hanya dokter muda apalagi mahasiswa. Intinya, pemerintah punya alat kelengkapan dan punya kuasa untuk mengerahkan segenap sumber daya, demi rakyatnya.

Apalagi bencana yang menimpa suku Asmat bukanlah bencana alam yang datang tiba-tiba, semacam tsunami Aceh, atau gempa Jogja, atau longsor di Wasior. Ini adalah wabah penyakit yang telah berjalan 4-5 bulan hingga menewaskan banyak anak. Ironis jika Presiden masih berdalih soal akses, sementara beberapa bulan sebelumnya beliau naik motor trail berkeliling daratan Papua. Hanya untuk membuktikan bahwa akses disana sudah bisa dilalui motor trailnya. Bahkan 2 pekan sebelum berita buruk itu diblow up, Presiden sempat mancing dengan yacht di Raja Ampat.
Kalau demikian, benar kata Pak Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM. Fakta tak akan mampu ditutupi dengan pencitraan.

Kalau menyangkut partisipasi masyarakat, itu soal lain. Ketika media sudah memberitakan, segera lembaga-lembaga kemanusiaan berlomba untuk mengirim tim bantuan.

Sekedar contoh, ada tim bantuan dari Rumah Zakat (RZ) yang telah berangkat sejak 17 Januari 2018 lalu. Begitu pula Yayasan Dana Sosial al Falah (YDSF) yang menggalang donasi kemanusiaan dengan tagar #peduliasmat dan #ydsfbersamaasmat.

Dari partai politik ada PKS yang bertolak ke Asmat Papua pada 20 Januari 2018.

Jadi, para buzzer dan tim hore jangan sampai tak tahu, bahwa sesungguhnya tim bantuan dari pihak non pemerintah banyak yang sudah kesana, riil membantu, meski tanpa gembar gembor dan pencitraan.

Sungguh tidak elok jika ada yang mengkritik lalu disuruh kesana. Ini seperti anak kecil yang menjawab begini "aah..., kayak kamu bisa aja! Coba deh kamu yang lakukan!"

Seperti kata Prof. Rocky Gerung : mengkritik itu ibarat pekerjaan mengamplas, sedangkan menyelesaikan masalahnya ibarat pekerjaan mengecat. Keduanya jelas berbeda!

Tidak bisa dong, tukang amplas disuruh sekalian mengecat.

Bagaimana jika yang mengkritik pemerintah/presiden adalah oposisi atau calon penantang presiden pada pilpres yang akan datang?? Akankah jawabannya juga menyuruh kesana?! Kalau iya, bagaimana jika yang dilihat rakyat kemudian justru kiprah oposisi? Bukankah ini akan jadi bumerang bagi pemerintah?

Untung saja yang pertama kali memberitakan kondisi mengenaskan di Papua adalah harian Kompas, yang selama ini selalu "dekat" dengan Pemerintah. Sehingga fakta yang diungkap Kompas tak dibalas dengan hujatan dan cacian dari buzzer dan tim hore-nya. Tak terbayang jika yang mewartakan media lain yang dianggap kerap mengkritisi Pemerintah. Pasti sudah hanis dibully media itu. Dianggap menyebarkan kebohongan.

Semoga ke depan jangan lagi kritik dibalas dengan suruhan menyelesaikan masalah atau turun langsung menangani masalah.

Kalau ada yang mengkritik harga daging sapi mahal, jangan suruh beli keong atau disuruh pelihara sapi sendiri.

Kalau ada yang mengeluh harga beras mahal, jangan suruh membatasi makan.

Kalau petani mengeluh harga gabah anjlok akibat panen mereka kalah digempur beras impor, jangan salahkan petani, siapa suruh tanam beras.

Kalau neraca ekspor Indonesia rendah dibanding negara tetangga, jangan salahkan eksportir, tapi tengoklah kenapa pemerintah rajin mengimpor bahan pangan bahkan cangkul pun diimpor, sehingga menaikkan neraca ekspor negara lain.

Dulu, ada yang pernah mengatakan dirinya suka dikritik, bahkan rindu didemo. Semoga saja masih ingat. Sehingga ke depan kalau ada yang mengkritik, tidak malah disuruh mencari solusinya.

(Sumber: fb)

Baca juga :