DICARI! Paspampres Untuk Akun Medsos Jokowi yang "MELEDAK"!


[PORTAL-ISLAM.ID]  Andai saja di media sosial dibolehkan mendapat pengawalan  Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres), akun Facebook dan Instagram Presiden Jokowi pasti tidak akan  begitu mudah diserbu netizen. Mereka  bisa dengan sigap bertindak mencegah para netizen, seperti halnya ketika petugas Paspampres menghadang Anies Baswedan di Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.

Sayangnya hal itu tidak mungkin. Orang sekelas Maruarar Sirait yang dikenal dekat dengan Presiden juga tidak bisa membuat daftar, siapa netizen yang boleh komen, maupun yang tidak. Semuanya bebas berkomentar. Bebas menyatakan suka, atau tidak suka. Bebas merayakan kemenangan Persija di Piala Presiden, tanpa harus menunggu aturan protokoler penyerahan piala secara resmi dari Presiden Jokowi.

Begitulah tabiat dunia maya. Semuanya tanpa batas, tanpa protokoler yang kaku. Bebas dan egaliter, tidak memandang kedudukan dan status sosial.

Fenomena itu kini sedang dialami oleh Presiden Jokowi. Akun Facebook dan Instragram-nya dibanjiri ratusan ribu komentar. Isinya sebagian besar ucapan selamat kepada Gubernur DKI JakartaAnies Baswedan karena klub sepakbola Persija menjadi juara Piala Presiden. Tapi banyak juga di antaranya yang mengritik dan mengecam Presiden Jokowi.

Jelas berbagai ucapan itu merupakan bentuk protes, kejengkelan, bahkan mungkin kemarahan dari netizen terhadap aksi penghadangan terhadap Anies Baswedan oleh Paspampres di GBK. Saat itu Anies yang sudah berdiri untuk mendampingi Presiden menyerahkan piala, terpaksa kembali duduk.

Momen yang secara kebetulan direkam oleh seorang netizen itu kemudian menjadi viral. Penjelasan Maruarar (Ara) bahwa semua itu menjadi tanggung jawabnya, tidak ada sangkut pautnya dengan Presiden Jokowi, tidak bisa diterima. Ucapan Ara yang minta maaf kepada Presiden Jokowi dan Gubernur Indonesia (maksudnya Anies), malah diedit dan dijadikan meme, lucu-lucuan.

Sejak itulah dimulai serbuan terhadap akun-akun medsos presiden. Datangnya seperti air bah. Angkanya tembus ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut bisa  tembus 1 juta, kalau saja tidak dihapus oleh admin akun Facebook Presiden Joko Widodo. Seorang warganet ada yang menghitungnya rata-rata sekitar 5.000 komentar yang masuk per jamnya. Semuanya adalah akun riil, bukan robot yang sering digunakan para pem-bully.

Sampai Rabu 21 Februari 2018 sore akun Instagram Jokowi sudah dikomentari lebih dari 600 ribu netizen. Seorang warganet meledek Jokowi “Pak sudah tembus 500 ribu, kasih hadiah sepeda ya,” ujarnya merujuk kebiasaan Presiden yang suka bagi-bagi sepeda.

Maret tahun lalu Presiden Jokowi memang pernah menggelar kuis di Facebook dan diikuti oleh 112.283 netizen dengan hadiah sepeda. Kuis tersebut dilaksanakan selama enam hari (19-24 Maret). Jumlah tersebut kalah jauh dibandingkan dengan komen selama empat hari terakhir, padahal tanpa hadiah apapun, apalagi sepeda.

Di medsos meme, grafis, video  bully-an terhadap Presiden Jokowi juga tak kalah serunya. Situasinya sungguh heboh, jauh lebih heboh dibandingkan dengan saat Setya Novanto ditangkap KPK, karena kejedot tiang listrik. Saat itu netizen tampak bersenang-senang, adu kreatif meledek Setnov. Begitulah tabiat netizen, sering bersenang-senang di atas “penderitaan” orang lain.

Sampai Kamis 22 Februari 2018 pagi  komen dan bully-an terhadap akun Jokowi masih terus berlanjut. Petugas admin akun Presiden sampai terpaksa harus menghapus ratusan ribu komen, terutama yang sifatnya sangat kritis terhadap Jokowi. “Tolong sampaikan pada Dilan. Yang berat itu bukan rindu. Tapi hapusin ratusan ribu komen bully-an. Colek Pak#Jokowi. Jahahaha,” canda seorang netizen bernama Ismi Amariah.

Harus berubah

Fenomena perundungan (bullying) terhadap akun-akun Presiden Jokowi ini sungguh sangat mengejutkan. Apalagi dipicu “hanya masalah sepele", soal kesalahan protokoler yang seharusnya tidak perlu.

Sebagai presiden, Jokowi adalah media darling. Di medsos juga sangat populer dengan jumlah pendukung sangat banyak. Di Twitter followernya lebih dari  9,5 juta, di Facebook, jumlah penyuka fanpagenya mencapai 8 juta, hampir sama dengan follower Instagramnya. Biasanya bila ada yang berkomentar miring sedikit soal Jokowi,  langsung dihajar para pendukungnya.  Mereka yang dijuluki sebagai Jokower, tak  mengenal kata ampun.

Tokoh-tokoh yang dikenal sangat kritis terhadap Jokowi seperti Fahri Hamzah, Fadlizon, dan Rocky Gerung acapkali menjadi korban perundungan. Tapi situasinya sekarang sungguh terbalik. Ratusan ribu netizen menyerbu, tanpa ada pembelaan. Para Jokower tiarap, kata orang Medan merondok, pergi entah ke mana?

Sejak Rabu 21 Februari 2018 sejumlah netizen juga mempersoalkan pernyataan Jokowi yang tidak akan menandatangani UU kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Mereka menilai Presiden berusaha cuci tangan, dan ingin dikesankan  berpihak kepada rakyat. Pembahasan UU tersebut bagaimanapun juga dilakukan oleh wakil pemerintah dan DPR yang notabene didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah.

Sentimen negatif terhadap Presiden Jokowi di media juga meningkat tajam dalam pekan-pekan terakhir. Pantauan Evello, sebuah teknologi pemantau media sosial dan media online berbasis teknologi big data, pemberitaan tentang Jokowi masih tertinggi, namun sentimen negatifnya juga meningkat.

Dikutip dari lini masa salah satu peneliti Evello, Azis Subekti, volume pemberitaan Jokowi di media mulai dibayang-bayangi oleh Gubernur Anies Baswedan. Kendati masih kalah dibanding Jokowi, tone pemberitaan Anies lebih positif atau netral. Dari sisi virality, video Anies di Youtube lebih banyak di-share ke Facebook dibanding video milik Jokowi.

Matrik data dari Facebook perbandingan antara komentar dan share-nya akun Anies Baswedan juga dinilai lebih apik dalam mengelola opini di kanal, dibanding Presiden Jokowi.

Perbincangan tentang Jokowi di Twitter  unggul di seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jabar, Maluku Utara, dan Papua Barat yang lebih banyak memperbincangkan Anies. Namun lagi-lagi tone-nya juga cenderung negatif.

Secara keseluruhan berdasarkan pantauan Evello, isu insiden blunder di final Piala Presiden benar-benar merugikan Jokowi. Sebagai presiden yang menguasai semua sumber daya, infrastruktur, dan isu, seharusnya Jokowi selalu berada dalam top of mind. Namun sepanjang tanggal 17-21 Februari, publik lebih memperhatikan Anies dibanding Jokowi.

Perubahan arah angin di media tersebut harus menjadi perhatian serius. Tanda-tanda datangnya badai, sudah mulai nampak. Semua harus diperbaiki dan diantisipasi. Pilpres 2019 sudah kian mendekat. Tidak boleh lagi ada kesalahan sekecil apapun dalam mengelola komunikasi publik. Apalagi terjadi “gol bunuh diri” model Ara.

Elektabilitas Jokowi yang stagnan di seputar angka 40%, bisa tambah merosot bila pencitraan yang menjadi andalan utama Jokowi, tidak dikelola dengan baik. Kecelakaan di berbagai proyek infrastruktur, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, utang yang terus bertambah, dan isu  pekerja Cina menjadi pekerjaan rumah (PR) terbesar Jokowi yang harus dipikirkan jalan keluarnya.

Insiden Piala Presiden di GBK mengindikasikan tengah terjadinya perubahan besar dalam persepsi masyarakat terhadap Presiden Jokowi. Padahal dalam politik, persepsi lebih penting dari sebuah kebenaran (perception is more important than truth).

Penulis: Hersubeno Arief
Baca juga :