Shalat, Budaya Tepat Waktu & Leadership Anies Baswedan




Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
(Sabang Merauke Circle)

Anies Baswedan terlambat 10 menit, dari waktu jam 15.30 pada 5 Desember 2017, yang dia janjikan bertemu rombongan Alumni ITB yang membawa aspirasi ribuan alumninya menolak reklamasi teluk Jakarta.

Dia masuk tergesa-gesa ke ruangan pertemuan, langsung menyalami tamunya, sambil meminta maaf telah terlambat dan memberi alasan bahwa dia baru sampai dari sebuah kunjungan di luar kantor.

Selesai menyalami semua tamu, dia tidak langsung duduk, namun meminta ijin pada tamunya untuk beberapa menit Sholat Ashar dulu. Baru saja sang tamu merespon ok, dia bertanya kembali apakah para tamu sudah Ashar? Tentu saja para tamu belum Ashar, karena jam Ashar baru saja tiba dan ekspektasi pertemuan 30 menit atau 1 jam, masih menyisakan banyak waktu untuk Sholat setelah pertemuan. Namun, Anies mengajak para tamunya untuk Sholat Ashar dulu sebelum pertemuan dimulai.

Permohonan maaf Anies atas keterlambatannya 10 menit dan meminta ijin Sholat Ashar dulu, plus ajakan bersholat untuk tamunya menunjukkan tipe kepemimpinan sosok Anies yang 180 derajat berbeda dari kebanyakan elit elit di Indonesia.

Pertama soal menghargai waktu. Orang Belanda mengatakannya "Op Tijd" (Tepat waktu). Ini cuma sekedar contoh, tentu negara maju lainnya mirip. Belanda sangat terkenal dengan skedul atau janji pertemuan. Jangan heran suatu waktu di tahun 90 an ketika ada kunjungan pemerintah Indonesia ke Belanda, pejabat kita heran lihat menteri mereka naik sepeda mengejar waktu untuk menghindari kemacetan ber mobil di Denhaag, mengejar skedul meeting. Op Tijd. Tepat waktu.

Menghargai waktu adalah problem besar bangsa kita. Mutia Hatta, 2015, dalam kenangan 70 tahun antropolog Prof Koentjoroningrat, mempersoalkan rendahnya disiplin waktu bangsa kita. Kita mengenalnya "Jam Karet". Jam karet adalah kita boleh berjanji dan kemudian sesukanya membatalkan/tidak menepati, atau berjanji kemudian membiarkan tamu menunggu, atau bertemu orang seenaknya tanpa menghargai padatnya skedul/agenda orang yang ingin ditemuinya (spontanitas).

Allah sendiri, dalam Islam, misalnya, telah menggariskan dalam firmannya bahwa orang-orang yang mensia-siakan waktu akan merugi. Di Barat sendiri dikenal istilah "time is money". Lalu bagaimana budaya buruk "jam karet" ini bisa kita hilangkan?

Merubah budaya buruk ini adalah tugas berat semua orang. Namun, contoh seorang pemimpin, seperti Anies, yang menghargai waktu, perlu menjadi inspirasi.

Kedua, Anies meminta waktu sebentar untuk Sholat. Dan mempengaruhi tamunya juga untuk Sholat. Ini adalah teladan yang dahsyat dan sulit ditemui saat ini.

Banyak elit elit pemimpin Islam yang tidak mementingkan waktu Sholat, apalagi memikirkan Sholat tamunya. Karena, Sholat biasanya merupakan tanggung jawab masing masing kepada Tuhannya. Begitulah adab sekuler saat ini.

Namun, bagi Anies menunjukkan dia harus Sholat tepat waktu dihadapan tamunya, seperti sebuah dakwah. Apalagi bisa mempengaruhi tamunya juga untuk hal yang sama. (Ingat anak ITB itu mungkin ada 25% lebih percaya Einstein lebih hebat dari Tuhan)

Sholat merupakan kewajiban bagi ummat Islam yang mayoritas di republik ini. Di Jakarta yang serba macet dan materialistik untuk mencari waktu dan ruang Sholat dalam suasana bisnis atau sibuk bekerja, menjadi terasa susah. Sholat Ashar biasanya sudah biasa dilakukan dekat dekat azan Maghrib. Cari tempat Sholat di perkantoran atau mall biasanya dapat sisa ruangan gudang atau tempat parkir.

Mengapa demikian? Mayoritas hal ini terjadi karena pemimpin-pemimpin negeri ini kurang menghargai mulianya Sholat. Dalam hal ruang ruang publik, khususnya swasta, karena ruang publik tersebut dikontrol orang-orang yang tidak memikirkan Sholat. Tentu beberapa tempat, seperti mal mal elit di Jakarta, sudah mulai membangun musholla yang luxorius, memanjakan konsumen muslim. Namun ini sesuatu yang terbatas keberadaannya. Sebuah terobosan besar dari Gubernur Anies adalah memberikan ruang Sholat pada setiap halte bus Transjakarta. Sebuah perubahan besar.


Dengan cintanya Anies terhadap Sholat, tentu kita berharap sebuah gerakan besar cinta Tuhan akan terjadi di Jakarta. Sebagaimana dalam agama Islam, Sholat disebutkan sebagai tiang agama, maka dapat diharapkan gerakan Sholat nya Anies akan mengurangi jumlah aparatur negara yang selama ini banyak terjebak budaya dalam dualitas konyol, habis korupsi langsung Sholat. Atau ikut zikir dan sumbang Masjid sambil makan uang korup.

Op Tijd dan Cinta Sholat tampaknya menjadi ikon leadership Anies Baswedan. Ini sebuah awal revolusi mental. Semoga tidak mental mentul (terpental-pental) seiiring waktu.

Bravo Anies Baswedan!


Baca juga :