[ANALISA] Pilkada Jabar: Jokowi vs Koalisi Reuni (212)


Pilkada Jabar: Jokowi vs Koalisi Reuni (212)

Oleh: Hersubeno Arief
(Konsultan Media)

Mendekati waktu pendaftaran pasangan, peta persaingan di Pilkada Jawa Barat (Jabar) sudah mulai terbentuk. Muncul banyak kejutan. Terbentuk koalisi parpol maupun pasangan kandidat yang semula sama sekali tidak pernah kita bayangkan.

Dalam sepak bola profesional, situasinya seperti mendekati jendela akhir musim transfer. Klub saling berlomba melakukan transfer pemain. Akan muncul lagi banyak kejutan baru. Klub yang tidak berhasil merekrut pemain incaran, terpaksa harus mengalihkan targetnya.

Yang sudah pasti mendapatkan tiket adalah pasangan Mayjend TNI (Purn) Sudradjat-Achmad Syaikhu yang diusung PKS-Gerindra, dan PAN. Mereka menamakan diri Koalisi Reuni.

Deddy Mizwar (Demiz) yang baru saja ditinggalkan Syaikhu dengan cepat mendapatkan pasangan baru Dedi Mulyadi (Demul). Pasangan Duo D ini akan diusung oleh Demokrat dan Golkar.

Sementara yang sampai saat ini masih menunggu kepastian tiket adalah Ridwan Kamil (RK). Semula dia diusung oleh Nasdem, PKB, dan PPP. Siapa pasangannya, apa dealnya, bagaimana posisinya dalam makro politik nasional, akan sangat menentukan, apakah dia akan terus berlaga, atau tidak.

Masih tersisa satu tiket milik PDIP (20 kursi) yang bisa mengusung sendiri calonnya. Apakah memutuskan bergabung dengan salah satu kandidat yang ada, atau mau berlaga sendiri dengan mengusung kandidat baru.

Dengan format dan peta persaingan lebih dari dua calon, arena laga Pilkada Jabar sudah memenuhi bayangan ideal Presiden Jokowi.

Sejak awal Jokowi tidak menginginkan hanya ada dua calon di Jabar yang berpotensi mengulang kembali polarisasi dua kubu seperti pada putaran dua Pilkada DKI 2017. Ongkosnya sangat mahal, baik dari sisi pengamanan, terlebih lagi dari sisi ongkos politik.

Pembelahan masyarakat antara pendukung Ahok yang menjadi penista agama dengan penentangnya terus berlanjut dan cenderung kian dalam.

Sebagai wilayah yang bersentuhan langsung dengan Jakarta, pembelahan tersebut juga sangat terasa di Jabar.

Sayangnya pemerintah tidak terlihat secara serius menyembuhkan luka dan menimbun jurang yang menganga dalam itu. Kesan yang muncul justru malah menjadi bagian dari konflik tersebut.

Pembiaran terhadap kasus penolakan dan persekusi atas Ustad Abdul Somad di Bali, deportasi dari Hongkong, dan yang terbaru pembatalan ceramahnya di PLN Disjaya, Jakarta Kamis (28/12) membuat polarisasi makin tajam dan dalam. Umat Islam melihat pemerintah sangat berpihak pada satu kelompok saja.

Dalam konteks itulah kita bisa memahami mengapa koalisi di Pilkada Jabar menjadi pabaliut dan acakadut. Sebagai provinsi dengan jumlah pemilih terbesar, Jabar menjadi ajang perebutan berbagai kekuatan.

Petuah tetua Sunda “beunang laukna, herang caina” (dapat ikannya, tetap bening airnya), diabaikan. Mereka melakukan segala cara, termasuk membuat keruh airnya, sehingga mudah ditangkap ikannya. Tujuan akhirnya tentu saja kontestasi menuju Pilpres 2019.

Siapa terkuat?

Dari dua, atau setidaknya tiga pasangan yang sudah terbentuk, duet Duo D bisa disebut sebagai kandidat paling kuat dan berpotensi memenangkan pilkada.

Dari berbagai survei, Demiz dan Demul selalu menempati peringkat dua dan tiga dari sisi elektabilitas. Mereka hanya kalah dari Ridwan Kamil. Keduanya didukung oleh Demokrat (11 kursi), dan Golkar (17 kursi). Jadi total memiliki 28 kursi.

Pasangan ini juga bisa disebut sebagai incumbent karena Demiz adalah Wagub Jabar, sementara Demul adalah Bupati Purwakarta. Jadi dari sisi basis dukungan dan pengalaman, keduanya akan saling melengkapi.

Demiz selama ini juga diposisikan sebagai figur relijius yang sangat dekat dengan kalangan Islam dan kelompok pendukung aksi 212. Sebaliknya Demul adalah figur nasionalis yang punya basis kuat di kalangan etnis Sunda.

Di kalangan kader PKS juga banyak yang sudah telanjur jatuh cinta dengan Demiz. Dia telah mendampingi Gubernur Ahmad Heryawan selama lima tahun, dan ikut membesarkan PKS di Jabar. Dalam acara-acara resmi PKS di tingkat nasional, Demiz selalu hadir dan mendapat tempat terhormat. Yang paling diingat publik adalah kebiasaannya tampil membaca puisi.

Ketika pasangan Demiz-Syaichu diumumkan, mereka telah membentuk tim sukses dan kader PKS menjadi tim inti. Ini merupakan kesalahan DPP PKS yang terlampau cepat menentukan pasangan, tanpa kalkulasi politik yang matang dan kurang mendengar aspirasi simpul umat.

Perlu waktu bagi kader PKS untuk move on dan mengucapkan sayonara kepada Demiz. Bakal banyak linangan air mata seperti tercermin dari puisi yang ditulis Fahri Hamzah dari tanah suci Mekah.

Namun mengingat karakter kader PKS yang sangat taat pada pimpinan, pada waktunya mereka akan kembali solid mendukung siapapun kandidat yang telah diputuskan DPP. Kader PKS adalah pasukan yang siap melaksanakan perintah, meskipun keputusan itu tidak mereka sukai. Demiz harus bekerja keras untuk membangun kembali tim suksesnya.

Kelemahannya, pasangan Duo D ini bisa saling menegasi. Sampai sekarang belum jelas siapa yang akan menjadi cagub dan siapa yang menjadi wagub. Bila dilihat dari sisi jabatan dan senioritas, agak sulit membayangkan Demiz bersedia menjadi wagub.

Sebaliknya dengan modal kursi di DPRD lebih banyak, rasanya perlu kerendahan hati bagi Demul untuk bersedia menjadi wagub. Demul pernah menolak ketika ada rencana memasangkannya sebagai wagub dari RK. Alasannya saat itu secara chemistry tidak nyambung.

Bila Demiz yang dipasang sebagai cagub, latar belakangnya yang bukan etnis Sunda bisa menjadi persoalan bagi para pendukung Demul yang relatif kuat sentimen kesukuannya.

Sementara Demul apapun posisinya, akan menjadi faktor lemah Demiz terutama di kalangan umat Islam.

Demul dicitrakan figur yang sinkretik dan ingin mengangkat kembali “Sunda Wiwitan”, agama para karuhun. Dalam beberapa kasus, Demul terlibat konfrontasi dengan Front Pembela Islam (FPI), dan kalangan ulama.

Kelemahan lain pasangan ini adalah posisi Demokrat dan Golkar yang menjadi partai pendukung pengesahan Perppu Ormas, dan paling utama adalah posisi mereka yang akan menjadi pendukung Jokowi pada Pilpres 2019.

Golkar secara terbuka menjadi parpol pertama yang mendeklarasikan akan mendukung Jokowi. Dukungan ini ditegaskan kembali dalam Munaslub Golkar dua pekan lalu. Sementara Demokrat melihat gelagatnya, juga sedang mencoba mendekati Jokowi dengan target memasangkan AHY sebagai cawapres.

Demiz pada Pilpres 2014 menjadi pendukung dan juru kampanye Prabowo. Duetnya bersama Aher berhasil mengantar kemenangan telak pasangan Prabowo-Hatta atas Jokowi-JK di Jabar.

Sejak awal Jokowi sudah berusaha melakukan akusisi politik terhadap Demiz, namun selalu gagal.

Setelah proses berliku dan dramatis, melalui koalisi Demokrat-Golkar, Jokowi secara tidak langsung, berhasil merekrut Demiz. Dia menjadi proxy baru Jokowi di Jabar.

Pasangan Sudradjat-Syaikhu, jika hanya mengandalkan modal sosial keduanya, agak berat bila harus berhadapan dengan Duo D.

Sudradjat kendati pernah sangat moncer ketika menjadi Kapuspen TNI, namun dia sudah lama menghilang dari memori kolektif publik. Dalam dunia politik mantan Dubes RI di Cina ini juga merupakan wajah baru. Sementara Syaikhu juga relatif tidak dikenal. Modalnya di politik pernah menjadi anggota DPRD Jabar dan Wakil Walikota Bekasi.

Ketika pasangan Sudradjat-Syaikhu diumumkan, di kalangan simpul umat, banyak yang mempertanyakan mengapa PKS tidak memasangkannya dengan Netty Heryawan istri Aher. Sebagai istri gubernur selama dua periode, modal jaringan sosial dan politik Netty sangat kuat dan bisa menutupi kelemahan dan membantu mendongkrak performa Sudradjat.

Netty bisa juga dilihat sebagai representasi Aher. Survei yang digelar Indocon bulan lalu menunjukkan Aher dan Prabowo adalah dua political endorser terkuat di Jabar.

Posisi keduanya hanya kalah dari Jokowi. Seharusnya potensi ini dikapitalisasi menjadi modal untuk meraih kemenangan, dan tidak diabaikan begitu saja.

Dengan figur kandidat yang tidak cukup kuat, maka kekuatan pasangan ini akan sangat bergantung pada koalisi tiga partai PKS (12 kursi), Gerindra (11 kursi) dan PAN (4 kursi). Koalisi ketiga partai adalah the winning team yang memenangkan Pilkada DKI dan mampu menjungkirkan balikkan berbagai survei. Padahal pasangan yang mereka usung, Anies-Sandi elektabilitasnya selalu berada di urutan terbawah.

Kunci kemenangan mereka terletak pada dukungan umat, dan ketiga partai tadi dinilai sebagai representasi umat.

Koalisi ini juga terbentuk atas desakan simpul-simpul umat yang ingin mengulang kembali kemenangan di Jakarta. Mereka secara aktif mendesak PKS untuk menceraikan Demiz karena berganti baju Demokrat.

Sikap Demiz meninggalkan Gerindra dan pindah ke Demokrat membuat simpul umat marah. Dia dianggap berkhianat, dan memecah soliditas PKS dengan Gerindra dan PAN. Secara syar’i “pernikahan” Demiz-Syaikhu harus dianggap batal.

Perhatikan pilihan nama “koalisi reuni” yang dipilih. Selain mengingatkan kembali publik pada Pilkada DKI, kata reuni asosiasinya juga sangat dekat Reuni Alumni 212 yang awal Desember lalu digelar secara besar-besaran di lapangan Monas, Jakarta.

Jadi pasangan ini tidak bisa dianggap remeh dan berpotensi besar kembali mengukir kemenangan. Mereka adalah koalisi yang menyimpan semangat perlawanan sangat kuat, militan.

Bagaimana dengan Ridwan Kamil? Sebagai kandidat yang sempat paling dijagokan, posisi RK masih belum menentu. Maju tidaknya RK akan sangat tergantung bagaimana Jokowi memandang posisinya dan peran apa yang harus dia mainkan.

Bila RK tetap dimajukan, dan PDIP juga mengajukan calon sendiri, maka ada empat kandidat yang berlaga. Kalkulasi politiknya akan merugikan Jokowi. Kubu pendukungnya terpecah tiga. Paling aman bila RK tetap maju di dukung PDIP, sehingga hanya ada tiga pasang kandidat.

Masalahnya sejak awal PDIP sudah menyatakan tidak akan mendukung RK. Dalam penilaian PDIP, kinerja RK tidak cukup cemerlang. Dia hanya kuat pencitraan di media sosial, tapi tidak didukung oleh fakta kinerja di lapangan.

Rumor lain yang beredar terbatas di kalangan elit pimpinan Parpol, RK terganjal persoalan moral. Hanya saja namanya rumor, masih belum ada bukti kuat yang mendukungnya.

Dengan berbagai kalkulasi politik tadi, pilkada Jabar akan sangat dinamis. Bagaimana bentuk koalisinya, siapa yang akan berlaga, dan siapa yang akan jadi pemenang? Sangat sulit diprediksi.

Pilkada Jabar adalah pertandingan group/zona penentu, dimana parpol dan para kandidat capres/cawapres ikut bermain untuk menentukan arah pertarungan di 2019.***

(28/12/2017)


Baca juga :