Media Kuno Belanda: Fanatisme Islam dan Khilafah, Akar Utama Perlawanan Nusantara


[PORTAL-ISLAM.ID]  Tulisan berikut bedah media massa kuno Belanda yang diterbitkan secara resmi oleh pemerintah Belanda. Perpustakaan Kerajaan Belanda telah merilis di internet surat kabar lama Belanda tahun 1618-1995. Surat kabar lama tersebut bisa memberikan informasi tentang peristiwa-peristiwa bersejarah yang ditulis pada saat peristiwa tersebut terjadi.

Deskripsi Belanda tentang perlawanan di Indonesia

Bertentangan dengan apa yang diklaim oleh buku-buku sejarah Belanda hari ini, Belanda menghadapi perlawanan secara terus-menerus selama periode 1859 – 1930. Mengenai kenyataan perlawanan ini, buku-buku sejarah ini mengklaim bahwa perlawanan di Indonesia disebabkan oleh nasionalisme. Dikatakan bahwa beberapa orang Indonesia menginginkan negara mereka sendiri dan karenanya memberontak melawan Belanda.

Namun klaim tersebut dibantah oleh apa yang diberitakan oleh surat kabar Belanda pada periode 1850 – 1930. Selama masa itu, pendapat umum yang muncul adalah Islam-lah yang menyebabkan Indonesia memberontak.

Misalnya surat kabar Algemeen Handelsblad mengatakan pada tahun 1859 mengenai pemberontakan di Bandjarmasin yang telah disebutkan di atas:

“Kami ingin mempertimbangkan kembali penyebab kejadian di Bandjarmasin, berkaitan dengan kejadian pemberontakan lainnya di wilayah lain. Kami telah melihat bahwa, menurut laporan yang diterima oleh mister Van Twist dari sumber yang sangat andal, pemberontakan di bagian tenggara Kalimantan dapat ditandai sebagai Mohammedan, atau anti-Eropa”.

Dengan kata lain, menurut surat kabar Algemeen Handelsblad, kesamaan antara pemberontakan di Bandjarmasin, pemberontakan di Kalimantan, dan pemberontakan di bagian lain Indonesia, adalah bahwa semuanya disebabkan oleh keIslaman orang Indonesia.

Ketika melihat kasus-kasus perlawanan Indonesia lainnya melawan penguasa kolonial Belanda, surat kabar-surat kabar Belanda juga menuduh Islam sebagai akar permasalahannya. Misalnya pada tahun 1864 surat kabar Algemeen Handelsblad menulis tentang pemberontakan di Tegal: “Troeno (…) mencoba untuk membuat orang-orang Tegal memberontak melawan peraturan Eropa. (…) Ternyata dia menggunakan fanatisme sebagai alat untuk ini”. Kata fanatisme dalam surat kabar pada waktu itu berarti Islam.

Pada tahun 1885 surat kabar Het Nieuws van den Dag bahkan mengatakan bahwa orang Indonesia memandang perlawanan mereka sendiri sebagai Jihad, sebuah motivasi yang murni Islam. Jihad diterjemahkan menjadi prang sabil dalam bahasa Indonesia: “Di Sukabumi, masyarakat sekarang memiliki lima tempat di mana kelompok-kelompok agama bisa berkumpul. (…) Orang-orang yang menjadi anggota kelompok ini, para fanatik, tetap bersama setelah sholat Jumat untuk membahas prang sabil, Perang Suci. (…) Lihat apa yang sedang terjadi di Sukabumi. Apakah ini tidak cukup berbahaya?”.

Sulit dibayangkan sebuah bukti yang lebih jelas yang menunjukkan bahwa perlawanan Indonesia melawan penjajahan Belanda dimotivasi oleh Islam.

[“Prang sabil” adalah headline di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 5 Juni 1906]

Pada tahun 1894 surat kabar Algemeen Handelsblad bahkan menyatakan bahwa tidak ada penjelasan lain selain Islam yang bisa menjelaskan perlawanan terhadap Belanda:

“Ras yang berkuasa sangat toleran terhadap orang lain, pemberontakan di Pulau Lombok kemungkinan besar, menurut mereka yang akrab dengan mereka seperti Mr. Willemsen, disebabkan oleh fanatisme Muhammad.”

Dan ketika surat kabar tersebut Het Nieuws van den Dag menulis adanya hubungan antara perlawanan orang Indonesia dan bulan Ramadhan, maka ini hanya bisa dipahami bahwa perlawanan umat Islam Indonesia dimotivasi oleh Islam mereka: “Kemarin (…) di dekat Anak-Guleng ( …) terjadi penembakan yang signifikan. (…) Puasa telah dimulai dan seorang jahat yang meninggal selama masa ini di prang sabil pasti akan masuk surga.” Belanda menggunakan istilah “jahat” (evil person) untuk Muslim yang mati syahid .

Selama bertahun-tahun, surat kabar Belanda terus menyalahkan Islam sebagai motivator perlawanan di Indonesia. Misalnya pada tahun 1904, surat kabar Het Nieuws van den Dag menulis:

“(…) Pada saat itu, seseorang memberi tahu dia bahwa benturan kekerasan telah terjadi di Sukabumi, yang menunjukkan kemiripan dengan pemberontakan di Sumedang dan Sidoarjo. Dia menganggap bahwa sumber dari pemberontakan ini adalah fanatisme.”

Dan di tahun yang sama surat kabar ini menulis tentang pemberontakan di tempat lain:

"Kekuatan disertai dengan fanatisme adalah sesuatu yang harus benar-benar kita pertimbangkan. (…) Akhir-akhir ini, kekuatan ini begitu besar, seperti yang bisa dilihat di Jambi, Korintji, Kepulauan Gaju. Tragedi di Tjilegon, seruan fanatisme di tempat lain, dan sekarang pemberontakan di Gedanggan, semuanya menjadi bukti. Keributan di Sidoarjo, yang pada dasarnya berada di bawah hidung dua pasukan kita, menunjukkan akan [berbahayanya] kekuatan ini."


[“Fanatisme di daerah Bantam” adalah berita utama di surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1907]


Pada tahun 1907, penyebab perlawanan tidak berbeda, menurut surat kabar Het Nieuws van den Dag:

“Di Serang, bahkan sebenarnya di seluruh wilayah Bantan, banyak orang yang bicara tentang pemberontakan yang terjadi baru-baru ini di Barong (…). Hal ini dapat dengan mudah dijelaskan, karena bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang ini mempraktikkan fanatisme dan bahwa tidak banyak yang dibutuhkan untuk memulai terjadinya gerakan perlawanan yang lain.”

Pada tahun 1908 juga sama:

“Sekarang kita tahu bahwa (…) lagi-lagi Sekte Mohammedan, Satria, yang berada di balik semua ini, yang sekali lagi memberikan bukti bahwa pemerintah Indonesia bertindak kurang begitu tegas terhadap fanatisme ini yang mendapat motivasi dari barat, yang merongrong kekuasaan kita, dan menyebabkan bahaya yang terus menerus terhadapnya. (…) Perang Suci melawan “kuffar” terus didakwahkan, dan hampir sama sekali tak terduga sebelumnya, pada pertengahan bulan ini lagi, sebuah perlawanan yang sangat serius meletus.”

Komentar-komentar di surat kabar Belanda mengenai kasus perlawanan di Indonesia memperjelas tentang adanya konsensus di Belanda bahwa keIslaman orang Indonesia adalah penyebab semua ini. Islam dipandang Belanda sebagai akar permasalahan. Mereka bahkan tidak menyebutkan tentang nasionalisme.

Ini berarti bahwa buku sejarah hari ini di Belanda tidak hanya meremehkan perlawanan—ketika mereka mengatakan bahwa perlawanan hanya terjadi secara sporadis—Tapi mereka juga menggambarkannya dengan tidak tepat saat mereka mengatakan bahwa sumber utama perlawanan adalah karena aspirasi nasionalistik. Dan hal yang sama dapat dikatakan mengenai buku sejarah Indonesia saat ini: mereka menggambarkan perlawanan Indonesia melawan kolonialisme Belanda secara tidak benar ketika mereka mengatakan ini berasal dari aspirasi nasionalistik.

Pandangan Belanda tentang perlawanan Indonesia: “Khilafah adalah penyebabnya”

Pada periode 1850 – 1930 sebagian besar analis di surat kabar Belanda berpendapat bahwa masalah orang Belanda di Indonesia dimulai dengan hajinya Muslim Indonesia ke Mekkah. Misalnya pada tahun 1859 seorang analis di surat kabar Algemeen Handelsblad menulis:

“Pendapat umum yang ada adalah bahwa penyebab pemberontakan sebagian besar dapat ditemukan di: (…) kedua, dalam peningkatan jumlah peziarah ke Mekkah, yang menyebabkan meningkatnya fanatisme, karena penduduk asli Indonesia termotivasi untuk memberontak melawan kekristenan dan dominasi Eropa.”

Dan pada tahun 1866 surat kabar De Locomotief menulis:

“Bahaya bagi keselamatan orang Jawa biasa meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah peziarah. Namun hal ini banyak diremehkan. Bahaya ini adalah sebuah fakta, tanpa bayangan keraguan.”

“Haji” menjadi headlibe surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, 12 Juli 1911. Sebagian besar peziarah yang tiba di Jeddah adalah orang Indonesia (“orang Jawa”).

Analis lain kemudian menjelaskan mengapa haji menjadi sumber semua masalah bagi Belanda di Indonesia. Surat kabar De Locomotief menulis pada tahun 1877:

“Semakin banyak jamaah haji pergi ke Mekkah, semakin meningkat fanatismenya.”

Dengan kata lain, Belanda melihat hubungan antara haji dan kekuatan keyakinan Islam di antara orang Indonesia. Ini karena haji, bagi jamaah haji, juga merupakan kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang Islam. Pada periode 1850 – 1924, Khilafah masih ada. Hijaz, daerah sekitar Mekkah dan Madinah yang dikunjungi para peziarah, masih merupakan bagian dari kekhalifahan.

Jadi ketika orang Indonesia pergi haji, dia pergi ke sebuah negara yang didirikan berdasarkan Islam, di mana studi tentang Islam memiliki kedudukan besar di masyarakat, dan di mana orang dimotivasi oleh negara untuk belajar tentang Islam. Orang Indonesia membawa apa yang mereka pelajari di sana ke Indonesia, dan berbagi dengan sesama Muslim di Indonesia.

Lalu, apa yang dikhawatirkan oleh Belanda tentang pengetahuan keIslaman di kalangan orang Indonesia?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah apa yang oleh Belanda disebut “pan-Islamisme”. Misalnya sebuah analisis di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant pada tahun 1915 mengatakan:

“Di masa lalu, mungkin saja kita khawatir dengan keinginan berlebihan orang-orang Mohammedan di Indonesia untuk pergi haji, karena berbagai alasan. (…) Beberapa di antara mereka mendapat pengaruh pan-Islamisme di sana, dan kemudian ketika mereka kembali, memiliki pengaruh atas orang-orang sebangsanya.”

Seorang analis yang menulis untuk surat kabar Het Nieuws van den Dag pada tahun 1911 mengatakan:

“Kita tidak perlu lagi membicarakan tentang fanatisme di antara sebagian besar peziarah yang kembali. Ini sudah sangat terkenal, bahkan lebih berbahaya lagi di zaman kita saat ini. Saat ini, pan-Islamisme (…) mencoba membuat terobosan di mana-mana.”

Dengan kata lain, ceramah tentang pan-Islamisme adalah masalah yang muncul dari pendidikan Islam di Mekkah dan Madinah. Apa yang dimaksud  dengan istilah pan-Islamisme? Pertanyaan ini dijelaskan oleh surat kabar Nieuw Tilburgsche Courant pada tahun 1900:

“Istilah pan-Islamisme dipahami oleh orang Eropa sebagai ‘aspirasi diantara umat Islam untuk bersatu dalam satu negara. (…) Dimanakah ide pan-Islamisme ini berakar? Dalam hukum Mohammedan ortodoks, (yang mengatakan) bahwa semua pengikut Mohammad (Mohammedan), terlepas dari bangsanya, terlepas dari bahasa yang digunakan, harus menjadi satu komunitas ideal; Dan bahwa semua penguasa Mohammedan harus mengakui satu penguasa tertinggi. (…) Apa akibatnya? Bahwa penguasa yang kafir, sebagai masalah prinsip, tidak akan pernah diterima oleh orang-orang Mohammed ortodoks sebagai penguasa mereka yang sah. (…) Ini adalah suatu bahaya yang tak terbantahkan, untuk negara Kristen mana pun yang menjadikan Islam sebagai subjeknya, dalam tingkat yang lebih rendah atau lebih tinggi.”

Atau seperti yang dikatakan oleh surat kabar Algemeen Handelsblad pada tahun 1910:

“Para penceramah menjelaskan bahwa bagi orang-orang Mohammedan hanya aturan Khalifah—Sultan Turki—yang merupakan aturan yang sah. Mereka melihat bahwa semua aturan lainnya tidak sah, termasuk aturan kita di Indonesia. Karena itu, ajaran tentang Khilafah adalah elemen yang sangat berbahaya.”


[“Bagi orang-orang Mohammedan hanya aturan Khalifah—Sultan Turki—yang merupakan peraturan yang sah” di surat kabar Algemeen Handelsblad, 2 Februari 1910]

Dengan kata lain, Belanda menyadari bahwa Khilafah adalah pilar Islam. Dan Belanda menyadari bahwa pilar Islam ini memotivasi umat Islam Indonesia untuk terus menerus melawan penjajahan Belanda. Inilah yang dikatakan oleh surat kabar Het Nieuws van den Dag pada tahun 1897:

“Pemerintah kita bisa mendapat banyak masalah dari ini. Karena, bagi kita, pan-Islamisme juga adalah musuh terbesar dan terhebat bagi perdamaian di wilayah koloni kita, sama seperti untuk semua negara Eropa lainnya yang menjadikan orang-orang Mohammedan sebagai subjek atau pihak yang mereka tundukkan.”

Sumber: Seraamedia


Baca juga :