Senyuman Maut Anies VS Makian Ahok


[PORTAL-ISLAM.ID]  Selama lima bulan di penjara, Ahok hampir khatam Al Quran.” Judul berita di beberapa media baru-baru ini cukup menarik dan mengundang rasa ingin tahu. Apakah Ahok muallaf dan menjadi seorang muslim?

Khatam dalam pengertian yang benar adalah berhasil menyelesaikan membaca 30 juz Al Quran dalam bahasa dan huruf arab. Di kalangan muslim saja, tidak banyak yang pernah khatam Al Quran. Jadi kalau benar Ahok hampir khatam, sungguh dahsyat.

Setelah dibaca lebih lanjut, ternyata Ahok mengaku membaca Al Quran terjemahan. Jadi dia membaca versi bahasa Indonesia, walaupun dia mengaku bisa sedikit-sedikit membaca Al Quran karena masa kecilnya di Belitung pernah belajar di sekolah Islam. Jadi penyebutan bahwa Ahok hampir khatam Al Quran tidak tepat. Bisa disimpulkan itu bahasa marketing yang secara sadar dikemas agar pembaca mempunyai impresi tertentu.

Yang tak kalah menarik Ahok juga mengaku sudah membaca surat Al Maidah, isinya menurutnya sangat baik. Gara-gara kepleset mengutip surat Al Maidah inilah Ahok terpaksa harus menjadi “santri” di rumah tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok. Dia dijatuhi hukuman selama dua tahun.

Dalam strategi pemasaran, berita yang mengutip penjelasan dari salah seorang penulis buku Ahok itu adalah sebuah upaya rebranding, alias sebuah upaya menciptakan image baru sebuah brand, produk. Tujuannya mengubah persepsi publik terhadap sebuah brand yang sudah dipersepsi buruk.

Keputusan memilih kosa kata “khatam” ini sungguh sangat cerdas dan berani. Apalagi ditambah dengan penjelasan bahwa Ahok sudah membaca surat Al Maidah yang isinya “sangat baik.”

Bagi Ahok, Al Maidah adalah sebuah bom, yang tengah coba dijinakkan.

Apakah ini sebuah kebetulan? Tentu saja bukan. Kunjungan 10 orang penulis ke tempat Ahok “nyantri” dalam ilmu manajemen disebut sebagai strategi turn around (memutar haluan). Membuat sebuah perusahaan/kapal yang karam, agar kembali terapung. Jika situasi sudah lebih stabil, perusahaan/kapal tersebut siap untuk berlayar kembali.

Dalam konteks Ahok sebagai politisi, maka ketika pada saatnya nanti keluar dari penjara, dia sudah siap untuk kembali bertarung dan terjun ke kancah politik dengan sebuah brand baru, dari seorang dengan label “penista” agama, menjadi seseorang yang sangat memahami Al Quran.

Manajemen turn around merupakan langkah besar yang memerlukan keberanian, kesungguhan, ketabahan, kejelian, dan kecermatan memahami pasar, terutama para pesaing.

Kampanye negatif

Sebagai sebuah brand, Ahok yang semula menjadi market leader berhasil dikalahkan oleh kompetitornya bernama Anies Baswedan. Sebagai Gubernur DKI, Anies lah yang sekarang menjadi menjadi market leader.

Agar persaingan tetap terjaga (the same playing field) maka Ahok dan timnya tampaknya tengah menerapkan beberapa strategi. Tidak hanya image building, berupa rebranding, namun mereka juga melakukan downgrading terhadap produk kompetitor, berupa strategi kampanye negatif (negative campaign).

Itulah yang menjelaskan mengapa ketika Anies menyebut kata “pribumi” dalam pidatonya langsung menimbulkan keriuhan yang tidak proporsional. Begitu juga dengan hebohnya para pedagang di Pasar Tanah Abang yang kembali berjualan di jalan, sampai soal Sandi Uno yang tidak memakai sepatu dan ikat pinggang sesuai surat edaran gubernur. Itu semua adalah bentuk strategi untuk membuat reputasi dan brand dari Anies menurun.

Harus diakui, tim yang bekerja untuk Ahok ini sangat terencana, sistematis, militan, dan didukung oleh kekuatan media, media sosial dan di belakangnya ada pemodal yang memiliki dana cukup besar. Mereka menerapkan sebuah strategi tombak kembar, image building sekaligus downgrading.

Rebranding dan negative campaign.

Tahap berikutnya, dan ini nampaknya yang akan menjadi senjata andalan, adalah strategi deferensiasi. Sebuah upaya membandingkan Ahok dengan Anies secara terbuka, dan kontras. Head to head. Tujuannya berupa penegasan atas posisitioning Ahok.

Salah satu jualan utama mereka adalah “ketegasan” Ahok. Isu ini akan coba dibenturkan dengan figur Anies sebagai seorang akademisi yang mereka asumsikan tidak mungkin berani tegas seperti Ahok. Dalam konteks inilah mengapa kemudian isu para pedagang Tanah Abang yang kembali berjualan di pinggir jalan digoreng secara besar-besaran di media, maupun media sosial.

Di situs video berbagi *Youtube* bahkan ada yang membuat visual berbagai perbedaan antara Anies dengan Ahok sejak hari pertama keduanya menjadi Gubernur DKI. Dalam berbagai tayangan video digambarkan bagaimana Ahok menyelesaikan berbagai persaoalan di Jakarta dengan cara yang tegas.

Opini publik akan digiring bahwa hanya Ahok yang berhasil mengelola Jakarta dengan baik. Ahok adalah pemimpin yang tegas dan berani. Warga Jakarta akan dibuat menyesal karena tidak memilih Ahok. Buktinya ketika Jakarta tidak lagi dipimpin Ahok, semua yang sudah tertata kembali berantakan.

Persepsi ini akan terus menerus dijejalkan dalam memori kolektif publik. Jangan kaget bila media massa dan media sosial akan dijejali berbagai isu model pedagang Tanah Abang dengan berbagai variannya. Gaya pemasaran semacam ini mengadopsi strategi repetisi dengan tujuan agar para konsumen (pemilih) mengingat produk tersebut. “Ahok adalah figur yang tegas, Anies adalah figur yang lemah.”

Menghadapi strategi kompetitor yang ofensif Ahok dan timnya, jawaban paling tepat adalah terus melakukan inovasi. Anies dan timnya juga harus terus menerus mengingatkan publik bahwa antara tegas dengan kasar itu dua hal yang berbeda

Gaya Ahok yang suka marah-marah, ngomong seenaknya bukanlah sebuah bentuk ketegasan.

Jejak digital berbagai aksi Ahok bertebaran dimana-mana. Tinggal dimunculkan kembali dan dibroadcast secara massif. Ini adalah sebuah pertempuran wacana mempengaruhi pikiran/persepi publik dengan tesa dan antitesa.

Anies juga harus menunjukkan kepada publik bahwa santun, lemah lembut, bersikap baik, dan memperlakukan warga yang dipimpinnya secara manusiawi, bukan berarti tidak tegas.

Sebagai seorang pria yang dibesarkan di Yogyakarta Anies tidak mungkin, dan tidak akan bersikap seenaknya model Ahok yang terbiasa marah-marah di depan publik.

Pengendalian diri yang kuat merupakan ciri dalam tradisi Jawa, terutama sub budaya Mataraman seperti Yogya. Mengumbar kemarahan, apalagi didepan publik, justru sebuah bentuk kelemahan dan menimbulkan antipati.

Kita pasti belum lupa dengan mantan Presiden Soeharto yang dikenal sebagai smilling general. Saat berbicara, termasuk ketika menyatakan kemarahan dan mengancam lawan politiknya, senyum dikulum tak pernah lepas dari wajah Soeharto.

Senyum yang sama juga tampak di wajahnya ketika sedang berbicara dengan para petani, atau warga masyarakat lainnya. Sangat sulit membedakan apakah dia sedang senang, atau sedang marah.

Sikap lemah lembut, senyum dikulum, bukan berarti tidak tegas. Dengan senyumnya yang menawan, Soeharto berhasil berkuasa selama 32 tahun dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya, tanpa harus mengumbar kemarahan di depan publik.

Senyum Anies kalau diperhatikan, kebetulan kok ada mirip-miripnya ya dengan Soeharto. Berhati-hatilah menafsirkan sebuah senyum, apalagi dikaitkan dengan ketegasan.

Penulis: Hersubeno Arief
Konsultan Media dan Politik
Baca juga :